Sabtu, 19 Juli 2014

Revisi UU MD3 Perburuk Kinerja Parlemen

              Revisi UU MD3 Perburuk Kinerja Parlemen

Moh Yamin  ;   Dosen di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Banjarmasin
SINAR HARAPAN,  18 Juli 2014
                                                


Sebelum 9 Juli ketika hari pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) atau tepatnya tanggal 8 Juli, sehari sebelum pilpres, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan revisi Undang-Undang (UU) No 272009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (RUU MD3). Tentu itu bersamaan dengan kesibukan rakyat Indonesia yang sedang mempersiapkan diri memilih pemimpin baru Indonesia.

Ada kesan yang muncul di tengah publik, ini memang menjadi strategi untuk mengecoh perhatian publik agar tidak mengamati yang sedang dikerjakan DPR untuk kepentingan tertentu. Publik hanya tertuju semata kepada pilpres.

Terdapat sejumlah poin penting yang kemudian diubah dalam UU tersebut, sebut saja ketentuan kuorum untuk hak menyatakan pendapat, dari tiga perempat menjadi dua pertiga saja.

Anggota DPR pun tidak bisa dipanggil untuk diperiksa guna penyidikan tindak pidana, termasuk kasus korupsi, tanpa sepengetahuan dan izin Mahkamah Kehormatan DPR. Partai pemenang suara terbanyak tidak lagi menjadi ketua DPR, namun dipilih dengan suara terbanyak. Ada juga ketentuan lain tentang keterwakilan perempuan yang dihapus, khususnya terkait alat kelengkapan DPR (AKD).

Selanjutnya muncul dugaan sementara, perubahan-perubahan poin tersebut mengarah kepada kepentingan untuk menjadikan DPR sebagai kekuatan luar biasa secara politik dan tidak ada yang menandingi. Mari dianalisisis satu per satu. Pertama, ketentuan tentang kuorum menyatakan hak pendapat dari tiga perempat menuju dua pertiga sudah sangat jelas bertujuan mempercepat proses dan pengesahan UU atau kebijakan-kebijakan tertentu yang ingin dicapai DPR. Ini sangat jelas menjadi bentuk penghancuran demokrasi.

Suara kemudian sangat mudah diperjualbelikan. Walaupun kuorum tidak mencapai 5+1 untuk diteruskan dalam sidang rapat tertentu, itu bisa dilanjutkan. Prinsipnya, hasilnya adalah dua pertiga sudah bisa diputus apakah dilanjutkan ataukah tidak. Ini merupakan sebuah ironi. Ketika demokrasi sudah mulai berkembang biak dengan cemerlang di republik ini pasca-Reformasi 1998, justru anggota DPR tidak menghendaki itu.

Kedua, ketentuan anggota DPR tidak bisa dipanggil untuk diperiksa guna penyidikan tindak pidana, termasuk kasus korupsi, tanpa sepengetahuan dan izin Mahkamah Kehormatan DPR juga persoalan lain yang harus membuat rakyat mengelus dada. Bisa dibayangkan ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ingin meminta anggota dewan tertentu guna keterangan terkait kasus korupsi tertentu, kemudian terhambat oleh ketentuan tersebut. Bisa jadi, ke depannya pemberantasan korupsi semakin sulit dilakukan dengan sedemikian berhasil.

Dengan kata lain, semakin banyak pintu untuk memeroleh izin pemanggilan anggota DPR, penegakan hukum akan semakin lama perjalanannya untuk mencapai tujuan. Akhirnya, yang terjadi adalah kegagalan pemberantasan korupsi.

DPR dalam konteks ini sepertinya memang sengaja ingin melemahkan KPK dalam konteks pemberantasan korupsi. Ketentuan perubahan dalam UU MD3 tersebut semakin memberikan legitimasi, ternyata banyak anggota dewan yang tidak suka terhadap KPK. Kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK membuat DPR harus membuat jurus baru dalam rangka melumpuhkan kekuatannya.

Ketiga, poin ketika partai pemenang suara terbanyak tidak lagi menjadi ketua DPR, namun dipilih dengan suara terbanyak. Ini juga menjadi skenario lain dalam rangka melahirkan ketua DPR yang sesuai kepentingan tertentu.

Tak hanya itu. Keempat, ketentuan lain tentang keterwakilan perempuan dihapus, khususnya terkait alat kelengkapan DPR (AKD). Hal tersebut juga menegaskan, DPR di periode ke depan sudah tidak lagi memberikan ruang kepada perempuan untuk berkiprah dalam politik perjuangan bagi publik.

Apalagi, AKD tersebut berkaitan erat dengan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) yang bertugas menelaah temuan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang disampaikan ke DPR; menyampaikan hasil penelaahan kepada komisi; menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK atas permintaan komisi; dan memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksa tahunan, hambatan pemeriksaan serta penyajian dan kualitas laporan.

Kini, genderang kehancuran keberadaan DPR yang seharusnya mampu bekerja untuk kepentingan publik semakin dipertanyakan. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) membeberkan, rapor legislasi DPR sangat buruk.

Tahun 2010, dari 64 RUU yang masuk program legislasi nasional (prolegnas), DPR hanya bisa mengesahkan delapan menjadi UU. Pada 2011, dari 93 RUU yang ditargetkan, DPR hanya bisa menyelesaikan 18 di antaranya. Sementara itu, tahun 2012, dari target 64 RUU, hanya berhasil dituntaskan 10 buah. Pada 2013, target legislasi juga tidak banyak berbuah, dari 75 RUU, realiasinya hanya 10 yang berhasil disahkan.

Tentu ketika berbicara legislasi saja sudah kacau balau maka kondisi ini juga tidak akan jauh berbeda dengan kinerjanya dalam membangun bangsa yang bersih dari korupsi, serta melahirkan pemerintahan yang bersih.

Menuju Parlemen Korup

Rakyat tentunya akan semakin berpandangan bahwa walaupun pemerintahannya baru kemudian tidak diikuti parlemen yang baik dan konstruktif, sampai kapan pun bangsa ini tetap berada dalam keterpurukan. Pelbagai bencana bangsa terkait perampokan uang negara akan terus merajalela.

Dengan kata lain, korupsi tetap masih berlangsung dengan sedemikian rupa. Konspirasi mengamankan kepentingan masing-masing agar tidak mudah diketahui publik serta penegak hukum, sebut saja KPK, akan terus-menerus dilancarkan dengan sedemikian rupa. Kongkalingkong guna menghancurkan kepentingan publik tentunya juga diberlakukan nyata dan jelas di hadapan rakyat Indonesia.

Di balik revisi UU MD3, ada dugaan sementara, alasan pengesahan revisi UU tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena ada kepentingan yang lebih besar untuk menghambat kerja pemerintahan baru apabila Joko Widodo-Jusuf Kalla terpilih sebagai presiden dan wakil presiden.

 Dengan kata lain, apabila Prabowo Subianto-Hatta Rajasa tidak terpilih sebagai presiden dan wakil presiden, yang dilakukan adalah dengan membentuk koalisi permanen di parlemen. Ini kemudian digunakan untuk menjegal segala bentuk program dan kebijakan yang hendak dilakukan pemerintah.

Parlemen sebagai partner kerja eksekutif tentunya ikut berkewenangan mengamini atau tidak mengamini inisiatif-inisiatif eksekutif. Di sinilah sebetulnya persoalan mendasar yang menjadi akar segala akar revisi UU MD3. Namun, apa pun yang terjadi dalam pemerintahan baru ke depan, semoga penyelenggara negar—baik di eksekutif maupun legislatif—tetap memiliki nurani untuk mau memikirkan rakyat.

Itu sesungguhnya permintaan rakyat. Mereka boleh saja berdebat dan mendebatkan persoalan rakyat, namun harus menggunakan kacamata kepentingan publik, bukan kepentingan kekuasaan tertentu yang bersifat hegemonik dan koruptif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar