Presiden
Lawan Kartel
Bambang Soesatyo ;
Anggota Komisi III DPR,
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017, Wakil Ketua
Umum Kadin Indonesia
|
SUARA
MERDEKA, 18 Juli 2014
KITA
masih menunggu Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil Pilpres 2014
pada 22 Juli 2014 untuk mengetahui presiden dan wakil presiden terpilih.
Namun dalam debat capres/cawapres terungkap bahwa praktik kartel dalam
perekonomian nasional bukan lagi berstatus dugaan melainkan sudah
terkonfirmasi. Adalah cawapres Hatta Rajasa yang berjanji membongkar peran
mafia komoditas atau kartel itu. Kini, rakyat menunggu respons penegak hukum.
Janji itu secara tak langsung memberi konfirmasi praktik kartel, karena
diungkap oleh Hatta. Bila seorang mantan menko Perekonomian berniat
membongkar praktik bisnis yang merugikan banyak orang, publik bisa
mengasumsikan ia tahu banyak. ”Nanti
kita bongkar semuanya, siapa sesungguhnya mafia tersebut,” kata Hatta
ketika berkampanye di Tasikmalaya (3/7/14), memperkuat penegasannya ketika
debat.
Sepak
terjang kartel —beberapa kalangan menyebutnya mafia komoditas— dalam
perekonomian Indonesia sudah lama tercium publik. Memprihatinkan dan juga
tidak berkeadilan karena para mafioso itu ’’memainkan’’sejumlah komoditas
yang berkait langsung dengan hajat hidup rakyat. Publik telah lama mengendus
sepak terjang beberapa kartel. Ada kartel atau mafia minyak, kartel gula,
kartel daging sapi, dan kartel benih, dan kartel kedelai. Dua ekonom, Emil
Salim dan Faisal Basri, baru-baru ini membenarkan sekaligus mempertajam
pemahaman publik tentang modus kartel minyak. Menurut Emil yang juga Ketua
Dewan Pertimbangan Presiden, kartel minyak sangat ingin agar ada subsidi BBM karena
makin menguntungkan kartel itu. Senada dengan Emil, Faisal Basri
mengungkapkan, kartel minyak senang jika Indonesia makin banyak impor minyak
dan tidak membangun kilang minyak. Meningkatnya volume anggaran subsidi BBM
sangat diharapkan oleh kartel dan jaringannya. ’’Semua orang di perminyakan pasti tahu. Mereka itu importir minyak,
dan senang kalau Indonesia terus-terusan impor minyak, senang kalau ada
subsidi BBM,” kata Faisal.
Di
dalam kartel, ada unsur oknum penguasa, pebisnis, dan calo. Adapun hak
memonopoli itu didapat dari pemerintah selaku regulator. Melalui instrumen
atau saluran resmi pada institusi pemerintah, kartel akan mengemukakan
alasan-alasan yang kedengarannya masuk akal tentang urgensi impor komoditas
tertentu. Mereka juga dominan mengatur permintaan dan penawaran di pasar.
Ironisnya, ketika harga komoditas impor itu menjadi sangat mahal, pemerintah
selaku regulator seperti tak berdaya, bahkan cenderung tak peduli. Contohnya
pada kasus harga daging sapi. Mestinya, bersamaan dengan penerbitan izin
impor, selayaknya ada perjanjian antara pemerintah dan importir. Perjanjian
itu menetapkan komoditas impor tersebut harus dijual di pasar lokal pada
tingkat harga terjangkau oleh konsumen kebanyakan.
Dalam
beberapa tahun belakangan ini, sepak terjang kartel dalam pengelolaan bahan
pangan makin menjadi-jadi. Per Februari 2013, Komite Ekonomi Nasional (KEN)
menyatakan ada indikasi kartel pangan. Lalu. Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) juga punya indikasi peran kartel dalam pengadaan kedelai dan bawang
putih. Bahkan, KPPU menilai Kemendag berperan signifikan dalam kasus lonjakan
harga kedelai. Menurut BPS, Indonesia masih mengimpor kentang, singkong,
garam, daging ayam, gula pasir, tepung terigu, biji gandum dan meslin,
kedelai, jagung dan beras. Pada komoditas itulah kartel memainkan pengaruh.
Isu
tentang praktik kartel komodotas pangan memuncak pada kasus suap impor daging
sapi dan beberapa kali heboh karena kelangkaan sejumlah komoditas, seperti
kedelai, cabai, dan bawang putih. Dalam kasus daging sapi, impor harus
dilakukan karena terjadi kelangkaan di pasar dalam negeri. Namun, daging
impor itu ’’harus’’ dijual dengan harga sangat mahal supaya semua pihak yang
ìberjasaî menggolkan kebijakan impor daging sapi mendapatkan rente. Para pihak
itu bersekutu dalam kartel impor daging sapi.
Tambah Kuota
Adapun
kartel minyak fokus pada tingginya kebutuhan impor BBM dan anggaran subsidi
BBM. Intensitas pencurian BBM terbilang tinggi. Tetapi berkat peran dan
kekuasaan kartel, hanya segelintir kasus pencurian yang terungkap. Kartel
minyak memperoleh untung sangat besar dari konspirasi ’’menggoreng’’anggaran
subsidi BBM. Caranya, dimunculkan data tentang risiko jebolnya kuota BBM
bersubsidi akibat tingginya konsumsi masyarakat. Bersamaan dengan memunculkan
data dan asumsi itu, diwacanakan kebijakan menambah kuota BBM bersubsidi.
Jadi, pemerintah bukannya memerangi pencurian BBM dan mengelola subsidi BBM
agar tepat sasaran, melainkan justru mengambil jalan pintas dengan menambah
kuota BBM bersubsidi dalam APBN-P. Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan
sekitar 30% BBM bersubsidi tidak sampai sasarannya karena dicuri atau
diselundupkan. Angka 30% tak bisa dibilang kecil dalam konteks nilai subsidi.
Misalnya pada APBN-P2013 yang menetapkan besaran subsidi BBM Rp 199,85
triliun. Artinya, jangankan 30%, 10% saja dari jumlah itu dicuri atau
diselundupkan, nilai kerugian negara sudah puluhan triliun rupiah hanya dalam
setahun anggaran.
Pihak
yang diuntungkan tentu saja kartel dan jaringannya. Sambil menunggu tindak
lanjut dari inisiatif Hatta, dan menanti presiden-wakil presiden terpilih
dari KPU, idealnya penegak hukum mulai mengambil prakarsa mendalami kejahatan
di sektor ekonomi. Praktik kartel tidak hanya merugikan negara tapi juga
makin menyengsarakan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar