Sabtu, 19 Juli 2014

Presiden Lawan Kartel

                                             Presiden Lawan Kartel

Bambang Soesatyo  ;   Anggota Komisi III DPR,
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
SUARA MERDEKA,  18 Juli 2014
                                                


KITA masih menunggu Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil Pilpres 2014 pada 22 Juli 2014 untuk mengetahui presiden dan wakil presiden terpilih. Namun dalam debat capres/cawapres terungkap bahwa praktik kartel dalam perekonomian nasional bukan lagi berstatus dugaan melainkan sudah terkonfirmasi. Adalah cawapres Hatta Rajasa yang berjanji membongkar peran mafia komoditas atau kartel itu. Kini, rakyat menunggu respons penegak hukum. Janji itu secara tak langsung memberi konfirmasi praktik kartel, karena diungkap oleh Hatta. Bila seorang mantan menko Perekonomian berniat membongkar praktik bisnis yang merugikan banyak orang, publik bisa mengasumsikan ia tahu banyak. ”Nanti kita bongkar semuanya, siapa sesungguhnya mafia tersebut,” kata Hatta ketika berkampanye di Tasikmalaya (3/7/14), memperkuat penegasannya ketika debat.

Sepak terjang kartel —beberapa kalangan menyebutnya mafia komoditas— dalam perekonomian Indonesia sudah lama tercium publik. Memprihatinkan dan juga tidak berkeadilan karena para mafioso itu ’’memainkan’’sejumlah komoditas yang berkait langsung dengan hajat hidup rakyat. Publik telah lama mengendus sepak terjang beberapa kartel. Ada kartel atau mafia minyak, kartel gula, kartel daging sapi, dan kartel benih, dan kartel kedelai. Dua ekonom, Emil Salim dan Faisal Basri, baru-baru ini membenarkan sekaligus mempertajam pemahaman publik tentang modus kartel minyak. Menurut Emil yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, kartel minyak sangat ingin agar ada subsidi BBM karena makin menguntungkan kartel itu. Senada dengan Emil, Faisal Basri mengungkapkan, kartel minyak senang jika Indonesia makin banyak impor minyak dan tidak membangun kilang minyak. Meningkatnya volume anggaran subsidi BBM sangat diharapkan oleh kartel dan jaringannya. ’’Semua orang di perminyakan pasti tahu. Mereka itu importir minyak, dan senang kalau Indonesia terus-terusan impor minyak, senang kalau ada subsidi BBM,” kata Faisal.

Di dalam kartel, ada unsur oknum penguasa, pebisnis, dan calo. Adapun hak memonopoli itu didapat dari pemerintah selaku regulator. Melalui instrumen atau saluran resmi pada institusi pemerintah, kartel akan mengemukakan alasan-alasan yang kedengarannya masuk akal tentang urgensi impor komoditas tertentu. Mereka juga dominan mengatur permintaan dan penawaran di pasar. Ironisnya, ketika harga komoditas impor itu menjadi sangat mahal, pemerintah selaku regulator seperti tak berdaya, bahkan cenderung tak peduli. Contohnya pada kasus harga daging sapi. Mestinya, bersamaan dengan penerbitan izin impor, selayaknya ada perjanjian antara pemerintah dan importir. Perjanjian itu menetapkan komoditas impor tersebut harus dijual di pasar lokal pada tingkat harga terjangkau oleh konsumen kebanyakan.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, sepak terjang kartel dalam pengelolaan bahan pangan makin menjadi-jadi. Per Februari 2013, Komite Ekonomi Nasional (KEN) menyatakan ada indikasi kartel pangan. Lalu. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga punya indikasi peran kartel dalam pengadaan kedelai dan bawang putih. Bahkan, KPPU menilai Kemendag berperan signifikan dalam kasus lonjakan harga kedelai. Menurut BPS, Indonesia masih mengimpor kentang, singkong, garam, daging ayam, gula pasir, tepung terigu, biji gandum dan meslin, kedelai, jagung dan beras. Pada komoditas itulah kartel memainkan pengaruh.

Isu tentang praktik kartel komodotas pangan memuncak pada kasus suap impor daging sapi dan beberapa kali heboh karena kelangkaan sejumlah komoditas, seperti kedelai, cabai, dan bawang putih. Dalam kasus daging sapi, impor harus dilakukan karena terjadi kelangkaan di pasar dalam negeri. Namun, daging impor itu ’’harus’’ dijual dengan harga sangat mahal supaya semua pihak yang ìberjasaî menggolkan kebijakan impor daging sapi mendapatkan rente. Para pihak itu bersekutu dalam kartel impor daging sapi.

Tambah Kuota

Adapun kartel minyak fokus pada tingginya kebutuhan impor BBM dan anggaran subsidi BBM. Intensitas pencurian BBM terbilang tinggi. Tetapi berkat peran dan kekuasaan kartel, hanya segelintir kasus pencurian yang terungkap. Kartel minyak memperoleh untung sangat besar dari konspirasi ’’menggoreng’’anggaran subsidi BBM. Caranya, dimunculkan data tentang risiko jebolnya kuota BBM bersubsidi akibat tingginya konsumsi masyarakat. Bersamaan dengan memunculkan data dan asumsi itu, diwacanakan kebijakan menambah kuota BBM bersubsidi. Jadi, pemerintah bukannya memerangi pencurian BBM dan mengelola subsidi BBM agar tepat sasaran, melainkan justru mengambil jalan pintas dengan menambah kuota BBM bersubsidi dalam APBN-P. Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan sekitar 30% BBM bersubsidi tidak sampai sasarannya karena dicuri atau diselundupkan. Angka 30% tak bisa dibilang kecil dalam konteks nilai subsidi. Misalnya pada APBN-P2013 yang menetapkan besaran subsidi BBM Rp 199,85 triliun. Artinya, jangankan 30%, 10% saja dari jumlah itu dicuri atau diselundupkan, nilai kerugian negara sudah puluhan triliun rupiah hanya dalam setahun anggaran.

Pihak yang diuntungkan tentu saja kartel dan jaringannya. Sambil menunggu tindak lanjut dari inisiatif Hatta, dan menanti presiden-wakil presiden terpilih dari KPU, idealnya penegak hukum mulai mengambil prakarsa mendalami kejahatan di sektor ekonomi. Praktik kartel tidak hanya merugikan negara tapi juga makin menyengsarakan rakyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar