Sabtu, 19 Juli 2014

Seniman, Apresiasi, Salam Dua Jari

                          Seniman, Apresiasi, Salam Dua Jari

Agus Dermawan T  ;   Pengamat Budaya
KORAN TEMPO,  18 Juli 2014
                                                


"Seniman adalah pengetuk hati politikus. Negara banyak berutang kepada seniman. Negara harus memberikan penghargaan kepada seniman," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Apa yang dikatakan SBY berbuntut. Sejak beberapa tahun lalu negara berupaya memberikan penghargaan kepada para seniman yang memiliki kontribusi spesial. Lewat Panitia Penghargaan, nama-nama besar pun diusulkan. Sejumlah piagam dan medali pun diserahkan.

Meskipun demikian, tak berarti pengusulan nama-nama kandidat selalu memperoleh jalan lempang. Musababnya, seleksi ternyata tidak sepenuhnya menjadi otoritas para penilai yang memahami jagat kesenian. Tapi hal ini juga menjadi otoritas politikus, yang berlindung di bawah atap birokrasi. Persoalan semakin bengkok ketika semuanya diimbuhi pasal-pasal formal, yang berkaitan dengan nomenklatur lembaga negara. Akibatnya, banyak seniman hebat yang gugur dalam proses pengajuan. Kasus pelukis tamu agung I.B. Said (80 tahun) adalah salah satu amsalnya.

Atas permintaan negara, pelukis ini menggubah potret suami-istri presiden atau perdana menteri sekitar 220 negara. Dan karyanya menghiasi Jakarta dan Istana Presiden sejak 1960 sampai 2005. Karena itu, muncul usul agar Istana Negara memberi anugerah kepada Said. Namun pihak Istana mengatakan bahwa penghargaan itu seharusnya datang dari DKI Jakarta. Sementara itu, pihak DKI Jakarta menimbang: betapa itu lebih cocok diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Adapun pihak Kemendikbud menyebut: adalah lebih pas apabila Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang menganugerahkan. Nama I.B. Said lalu saya bawa ke Kemenparekraf lima bulan lalu. Ditolak, karena itu dianggap kewajiban Istana Negara.

Dari perkara lempar-melempar tersebut akhirnya tersimpul bahwa sesungguhnya negara masih setengah hati untuk memberikan bintang jasa kepada seniman. Atas ihwal ini seniman bisa saja kecewa, meski sesungguhnya mereka tidak terlalu memikirkannya.

"Seniman tak usah mengharap penghargaan dari negara, yang notabene ditentukan oleh politikus," kata budayawan dan mantan menteri Daoed Joesoef. Sebab, pada hakikatnya, seniman bekerja dengan kemurnian gerak hati-pikirnya sendiri, yang oleh Marshall McLuhan diyakini sebagai antena sosial, penangkap sinyal keluhuran. Seniman bekerja tanpa pamrih, meski yang dihasilkan akhirnya bisa berdampak besar terhadap medan sosial serta hutan politik.

Gerakan seniman yang menggagas konser "Salam Dua Jari" guna mendukung calon presiden Joko Widodo pada 5 Juli adalah contohnya. Dengan antena sosialnya, para seniman bekerja spontan, disertai spirit untuk mengobarkan kecerahan harapan. Hasilnya, konser itu menggerakkan jiwa jutaan orang Indonesia. Gema konser menghaturkan magma politik yang luar biasa. Para seniman "Salam Dua Jari" sungguh tak mengharapkan imbalan apa pun. Namun, meski tidak meminta penghargaan apa-apa, negara yang bakal dipimpin oleh Presiden Joko Widodo tak boleh melupakan gerakan "Salam Dua Jari". Sepanjang masa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar