Menatap
Gaza dari Anak-anaknya
Husein Ja’far Al Hadar ;
Esais
|
KORAN
TEMPO, 18 Juli 2014
Gaza
juga adalah tentang anak-anak. Yang pertama, tentu tentang keprihatinan
kepada anak-anak Gaza yang tak luput dari serangan Israel. Padahal, dalam
ketentuan seluruh agama maupun International
Humanitarian Law, anak-anak (bersama wanita dan warga sipil) adalah
golongan yang harus dilindungi dalam perang, alih-alih diserang secara
membabi buta tanpa mempertimbangkan keberadaan mereka.
Kedua,
tentang kejernihan dan keberanian anak-anak Gaza. Setidaknya ada nama
populer, Ahed Tamimi (13 tahun, yang hendak memukul tentara Israel) dan Faris
Audah (11 tahun, yang menghadang tank Israel), anak-anak Gaza yang memandang
masalah Palestina-Israel secara jernih, serta melawan Israel dengan berani.
Anak-anak itu memandang persoalan Palestina-Israel dengan imajinasinya, bukan
dengan rasionya.
Mereka
mengimajinasikan tentang Palestina yang damai, tanpa ada lagi darah yang
tumpah atau nyawa yang melayang. Mereka dengan jernih meletakkan hal itu di
atas segalanya, apalagi sekadar politik. Dengan demikian, mereka dengan tulus
dan berani melawan tentara Israel itu, sebisa mereka. Tak ada ketakutan dan
keraguan sedikit pun. Sebab, imajinasi mereka tak menerima penjajahan dan
kekejaman di tanah airnya sendiri itu. Dengan begitu, tak mengherankan jika
Henry Corbin, filsuf eksistensialis Prancis, menyebut imajinasi sebagai rasio
yang terspiritualitaskan atau spiritualitas yang terasionalisasikan. Hal ini
berlawanan dengan Israel, yang berdiri di atas apa yang disebut filsuf
Herbert Marcuse sebagai rasio bermasalah (rasio instrumental), yakni rasio
yang dibangun secara manipulatif untuk melegitimasi kepentingan
imperialisnya.
Ketiga,
saat penulis berbincang dengan Prof Izzeldin Abuelaish, dokter asal
Palestina, dalam kunjungannya ke Indonesia pada akhir 2011, ia yang kehilangan
tiga putri kecilnya karena serangan rudal Israel justru menyebut anak-anaknya
dan anak-anak Palestina sebagai sumber inspirasi. Ketiga putrinya adalah
sumber inspirasinya dalam menatap masalah Palestina-Israel yang diabadikannya
dalam karyanya, I Shall Not Hate
(2011). Karena itu, ia mengabadikan foto ketiga putrinya dalam sampul bukunya
tersebut.
Sebagaimana
terangkum dalam judulnya, dalam karya itu secara umum ditulis bahwa ia tak
pernah dan tak boleh marah, apalagi membenci. Sebab, selain karena kemarahan
dan kebencian hanya akan menjadi celah bagi Israel untuk terus memojokkan
Palestina, ia juga menilai kemarahan dan kebencian bukanlah perasaan dan
sikap yang eksistensial. Sebab, keduanya tak akan pernah bisa menyelesaikan
masalah. Islam pun tak pernah mengajarkannya.
Nelson
Mandela justru menyebut penjara sejati adalah kebencian dan kemerdekaan
sejati adalah cinta kasih. Izzeldin menginginkan agar rakyat Palestina sudah
cukup terpenjara secara fisik oleh penjajahan Israel, tapi jangan sampai juga
terpenjara secara mental dan spiritual oleh kebencian dalam hati dan jiwanya.
Ia menginginkan agar rakyat Palestina tak membangun cita-cita perdamaian
dengan berbasis dan berkonsentrasi pada rasa benci terhadap Israel, melainkan
kecintaan kepada saudara dan tanah airnya sendiri. Sebab, sebagaimana
dilakukan Mahatma Gandhi atas imperialisme Inggris di India, kecintaan itulah
yang nantinya diharapkan menumbuhkan kedamaian dalam hati rakyat Palestina
dan secara tak langsung menginspirasi gerakan yang akan sukses mengusir
imperialisme Israel. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar