Pagar
Api Lembaga Survei
Agus Sudibyo ;
Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 17 Juli 2014
Untuk
pertama kalinya, pelaksanaan hitung cepat (quick count) pemilu berujung pada perselisihan yang meruncing.
Lembaga survei terbelah menjadi dua. Ada yang mendeklarasikan kemenangan
Jokowi-JK, ada yang mendeklarasikan kemenangan Prabowo-Hatta. Dua kandidat
presiden pun sama-sama mengklaim kemenangan masing-masing berdasarkan proses
hitung cepat yang berbeda itu. Kontroversi berlangsung berlarut-larut
sehingga masyarakat terombang-ambing dalam kebingungan.
Kontroversi
tersebut menyingkap masalah serius dalam praktek lembaga survei di Indonesia.
Masalah tersebut menunjukkan bahwa kegiatan riset sering tumpang-tindih
dengan kegiatan pemenangan pemilu. Lembaga survei bukan hanya menangani
pekerjaan survei dan hitung cepat, tapi juga pengadaan atribut-atribut
kampanye, media relations, pencitraan, pemasangan iklan, hingga kegiatan
mobilisasi pemilih. Kegiatan survei atau hitung cepat tidak berdiri sendiri,
melainkan menjadi bagian integral dari "jasa" yang disediakan
lembaga survei untuk klien politik: kandidat bupati, wali kota, gubernur,
caleg, partai politik, serta calon presiden.
Tentu
tidak semua lembaga survei terjebak dalam praktek tumpang-tindih ini, tapi
pasti cukup banyak lembaga survei yang diam-diam mempraktekkannya. Proyek
pemenangan pemilu jauh lebih menjanjikan secara ekonomi dan politik daripada
sekadar proyek penelitian terhadap opini publik. Persoalannya, hasil survei
kemudian bukan hanya diperlakukan sebagai data tertutup untuk merancang
strategi kampanye dan pemenangan, tapi juga data yang diumumkan kepada
masyarakat. Para klien politik bukan hanya membutuhkan data dan pemetaan,
tapi juga menuntut publisitas yang kondusif bagi pencalonan mereka.
Yang
terjadi kemudian adalah pengabaian prinsip etis bahwa survei-survei pesanan
semestinya tidak dipublikasikan secara terbuka. Survei pesanan sesungguhnya
bukan "barang haram" bagi lembaga survei. Lembaga survei umumnya
adalah perseroan terbatas yang hidup dari jasa penelitian dan konsultasi yang
mereka tawarkan. Namun semestinya hasil survei pesanan hanya diberikan kepada
klien dan tidak dipublikasikan secara terbuka. Masalah menjadi semakin serius
ketika klien tidak sekadar menginginkan publisitas, tapi juga publisitas yang
positif tentang pencalonannya. Maka angka elektabilitas yang kurang mendukung
pun sering diminta untuk diubah-ubah sebelum dipublikasikan.
Ketika
kegiatan survei tumpang-tindih dengan kerja pemenangan pemilu, bukan perkara
mudah untuk mengelak dari permintaan yang tidak rasional seperti ini.
Demikian juga ketika kegiatan hitung cepat menjadi bagian dari proyek
pemenangan kandidat, patlugipat hasil hitung cepat mungkin saja terjadi, baik
karena tuntutan klien politik maupun inisiatif penyelenggara guna
menstimulasi proyek-proyek selanjutnya.
Analog
dengan pagar api dalam jurnalisme yang memisahkan secara tegas urusan berita
(ruang publik) dengan urusan iklan dan sponsorship
(ruang privat), dan garis tegas yang memisahkan survei opini publik sebagai
kegiatan ilmiah dengan kegiatan pemenangan pemilu, adalah suatu kemutlakan.
Pagar api ini akan menjaga independensi lembaga survei sekaligus informasi yang
mereka hasilkan.
Persoalan
berikutnya adalah transparansi penyandang dana kegiatan survei atau hitung
cepat. Rata-rata lembaga survei di Indonesia enggan mengatakan secara jujur
siapa penyandang dana mereka. Ambil contoh, beberapa lembaga survei mengklaim
mendanai sendiri kegiatan hitung cepat pada pilpres kemarin. Padahal kegiatan
hitung cepat pilpres membutuhkan dana besar, yakni Rp 1,3-2 miliar. Ini tak
rasional dan justru bisa menimbulkan kecurigaan. Tentu dengan pengecualian
lembaga seperti Litbang Kompas atau RRI, yang biaya hitung cepatnya didanai
oleh perusahaan dan institusi resmi.
Transparansi
pendanaan kegiatan survei atau hitung cepat adalah suatu keharusan, kecuali
jika hasilnya tidak dipublikasikan secara luas. Yang tidak kalah penting adalah
transparansi tentang metode penelitian dan mekanisme kerja. Transparansi ini
penting untuk memastikan bahwa survei atau hitung cepat telah dilakukan
dengan benar oleh pihak yang kompeten, berpengalaman, dan bertanggung-jawab.
Namun persoalannya, sebagaimana transparansi pendanaan tadi, transparansi
metode penelitian dan mekanisme kerja ini juga belum terlembaga di Indonesia.
Yang
tidak kalah penting adalah kehati-hatian media dalam mempublikasikan hasil
survei. Tanpa publikasi media, tak akan ada kontroversi tentang survei dan
hitung cepat. Masalahnya, media sering tidak kritis terhadap apa yang
disampaikan lembaga survei. Media cenderung asal kutip dan asal cepat tanpa
memperhatikan kelayakan metodologi dan kemungkinan konflik kepentingan dari
lembaga survei. Kutipan media atas hasil survei juga sering tak akurat atau
hiperbolis sehingga mengaburkan realitas yang sesungguhnya. Begitu
kontroversi muncul, media kemudian berlagak seakan-akan mereka tidak
berkontribusi sama sekali atas kontroversi tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar