Sabtu, 19 Juli 2014

Pagar Api Lembaga Survei

                                       Pagar Api Lembaga Survei

Agus Sudibyo  ;   Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
KORAN TEMPO,  17 Juli 2014
                                                


Untuk pertama kalinya, pelaksanaan hitung cepat (quick count) pemilu berujung pada perselisihan yang meruncing. Lembaga survei terbelah menjadi dua. Ada yang mendeklarasikan kemenangan Jokowi-JK, ada yang mendeklarasikan kemenangan Prabowo-Hatta. Dua kandidat presiden pun sama-sama mengklaim kemenangan masing-masing berdasarkan proses hitung cepat yang berbeda itu. Kontroversi berlangsung berlarut-larut sehingga masyarakat terombang-ambing dalam kebingungan.

Kontroversi tersebut menyingkap masalah serius dalam praktek lembaga survei di Indonesia. Masalah tersebut menunjukkan bahwa kegiatan riset sering tumpang-tindih dengan kegiatan pemenangan pemilu. Lembaga survei bukan hanya menangani pekerjaan survei dan hitung cepat, tapi juga pengadaan atribut-atribut kampanye, media relations, pencitraan, pemasangan iklan, hingga kegiatan mobilisasi pemilih. Kegiatan survei atau hitung cepat tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian integral dari "jasa" yang disediakan lembaga survei untuk klien politik: kandidat bupati, wali kota, gubernur, caleg, partai politik, serta calon presiden.

Tentu tidak semua lembaga survei terjebak dalam praktek tumpang-tindih ini, tapi pasti cukup banyak lembaga survei yang diam-diam mempraktekkannya. Proyek pemenangan pemilu jauh lebih menjanjikan secara ekonomi dan politik daripada sekadar proyek penelitian terhadap opini publik. Persoalannya, hasil survei kemudian bukan hanya diperlakukan sebagai data tertutup untuk merancang strategi kampanye dan pemenangan, tapi juga data yang diumumkan kepada masyarakat. Para klien politik bukan hanya membutuhkan data dan pemetaan, tapi juga menuntut publisitas yang kondusif bagi pencalonan mereka.

Yang terjadi kemudian adalah pengabaian prinsip etis bahwa survei-survei pesanan semestinya tidak dipublikasikan secara terbuka. Survei pesanan sesungguhnya bukan "barang haram" bagi lembaga survei. Lembaga survei umumnya adalah perseroan terbatas yang hidup dari jasa penelitian dan konsultasi yang mereka tawarkan. Namun semestinya hasil survei pesanan hanya diberikan kepada klien dan tidak dipublikasikan secara terbuka. Masalah menjadi semakin serius ketika klien tidak sekadar menginginkan publisitas, tapi juga publisitas yang positif tentang pencalonannya. Maka angka elektabilitas yang kurang mendukung pun sering diminta untuk diubah-ubah sebelum dipublikasikan.

Ketika kegiatan survei tumpang-tindih dengan kerja pemenangan pemilu, bukan perkara mudah untuk mengelak dari permintaan yang tidak rasional seperti ini. Demikian juga ketika kegiatan hitung cepat menjadi bagian dari proyek pemenangan kandidat, patlugipat hasil hitung cepat mungkin saja terjadi, baik karena tuntutan klien politik maupun inisiatif penyelenggara guna menstimulasi proyek-proyek selanjutnya.

Analog dengan pagar api dalam jurnalisme yang memisahkan secara tegas urusan berita (ruang publik) dengan urusan iklan dan sponsorship (ruang privat), dan garis tegas yang memisahkan survei opini publik sebagai kegiatan ilmiah dengan kegiatan pemenangan pemilu, adalah suatu kemutlakan. Pagar api ini akan menjaga independensi lembaga survei sekaligus informasi yang mereka hasilkan.

Persoalan berikutnya adalah transparansi penyandang dana kegiatan survei atau hitung cepat. Rata-rata lembaga survei di Indonesia enggan mengatakan secara jujur siapa penyandang dana mereka. Ambil contoh, beberapa lembaga survei mengklaim mendanai sendiri kegiatan hitung cepat pada pilpres kemarin. Padahal kegiatan hitung cepat pilpres membutuhkan dana besar, yakni Rp 1,3-2 miliar. Ini tak rasional dan justru bisa menimbulkan kecurigaan. Tentu dengan pengecualian lembaga seperti Litbang Kompas atau RRI, yang biaya hitung cepatnya didanai oleh perusahaan dan institusi resmi.

Transparansi pendanaan kegiatan survei atau hitung cepat adalah suatu keharusan, kecuali jika hasilnya tidak dipublikasikan secara luas. Yang tidak kalah penting adalah transparansi tentang metode penelitian dan mekanisme kerja. Transparansi ini penting untuk memastikan bahwa survei atau hitung cepat telah dilakukan dengan benar oleh pihak yang kompeten, berpengalaman, dan bertanggung-jawab. Namun persoalannya, sebagaimana transparansi pendanaan tadi, transparansi metode penelitian dan mekanisme kerja ini juga belum terlembaga di Indonesia.

Yang tidak kalah penting adalah kehati-hatian media dalam mempublikasikan hasil survei. Tanpa publikasi media, tak akan ada kontroversi tentang survei dan hitung cepat. Masalahnya, media sering tidak kritis terhadap apa yang disampaikan lembaga survei. Media cenderung asal kutip dan asal cepat tanpa memperhatikan kelayakan metodologi dan kemungkinan konflik kepentingan dari lembaga survei. Kutipan media atas hasil survei juga sering tak akurat atau hiperbolis sehingga mengaburkan realitas yang sesungguhnya. Begitu kontroversi muncul, media kemudian berlagak seakan-akan mereka tidak berkontribusi sama sekali atas kontroversi tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar