Selasa, 01 Juli 2014

Puasa Ramadan Hikmah Menjelang Pilpres

Puasa Ramadan Hikmah Menjelang Pilpres

Azyumardi Azra  ;  Guru Besar Sejarah,
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta Laurate Fukuoka Prize 2014
MEDIA INDONESIA, 30 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
“Hai, orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.“
(QS Al Baqarah/2: 183)                                   

“Puasa itu setengah kesabaran. Kesabaran itu setengah iman.“
(Hadis riwayat Tirmidzi, Abu Na'im, dan Abu Mas'ud)

IBADAH puasa wajib sepanjang Ramadan ialah salah satu ben tuk jihad akbar, jihad yang sebesar-besarnya. Seperti ditegaskan Rasulullah SAW dalam sebuah hadisnya, jihad yang sesungguhnya bagi umat Islam ialah jihad melawan hawa nafsu dalam diri. Perang fisik di medan perang melawan musuh yang agresif demi membela agama Allah dan mempertahankan kehidupan kaum muslimin disebutkan hanyalah jihad asghar, jihad kecil.

Kenapa demikian? Tidak lain karena puasa pada intinya merupakan ibadah untuk pengendalian diri dari hawa nafsu yang dapat bernyala-nyala dalam diri manusia. Hawa nafsu itu mencakup syahwat jasmaniah berupa seks, makan dan minum, syahwat memiliki harta benda, dan meraih kekuasaan politik yang biasa juga disebut di Tanah Air Indonesia sebagai syahwat politik.

Jihad menuju takwa

Jihad diri melawan berbagai macam hawa nafsu bertujuan mencapai derajat takwa, yang merupakan salah satu tingkat spiritualitas keislaman yang tertinggi. Ibadah puasa wajib Ramadan ialah salah satu cara paling pokok untuk mencapai derajat takwa tersebut. Berbagai ibadah sepanjang Ramadan yang dikerjakan dengan ikhlas dan sabar bisa membentuk manusia bertakwa, seperti dikemukakan ayat Alquran, bahwa puasa bertujuan `agar kamu bertakwa' (QS Al-Baqarah/2:183).

Kata `takwa' banyak disebut dalam ayat Alquran yang sering diartikan sebagai `takut kepada Allah'; tetapi bukan takut dalam arti biasa. Orangorang yang `takut' kepada Allah (al-muttaqun) sering diidentikkan dengan mereka yang menegakkan amar ma'ruf dan nahy munkar (melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya). Karena itu, Maulana Muhammad Ali, misalnya, dalam tafsir The Holy Quran, mengartikan almuttaqun sebagai `orang-orang yang memenuhi kewajiban, menjaga diri dan terpelihara dirinya dari kejahatan'.
Kata al-muttaqun berasal dari kata waqa, yang berarti `menyelamatkan, menjaga, atau melindungi'. Dengan kata lain, al-muttaqun berarti `orang yang menghormati atau menepati kewajiban; orang yang menjaga diri dari kejahatan'; dan `orang yang berhati-hati'. Makna almuttaqun ini sejalan dengan esensi puasa, yaitu mengendalikan diri dari berbagai bentuk hawa nafsu lahir dan batin. Karena itu, bila orang berpuasa dengan sungguh-sungguh, ia bakal dapat mengendalikan diri, yang merupakan salah satu ciri pokok orang bertakwa.

Mereka yang bertakwa sekaligus memiliki kesehatan lahir dan batin. Hati yang sehat akan dipenuhi cahaya ketakwaan, kesabaran, kejujuran dan ketaatan.
Alquran memberi petunjuk, untuk menjaga hati agar tetap bersih bagaikan cermin yang berkilau, seseorang harus banyak mengingat (dzikir) kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Allah berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram (QS Al-Ra'd/13: 28).“

Namun, karena bisikan dan godaan hawa nafsu, orang kadang dan bahkan sering lalai mengingat Allah, yang dapat menjadikan hatinya jauh daripada bersih, baik, dan tenteram. Ia tidak mampu mengendalikan diri dari nafsu setan yang mengotori hatinya. Lupa kepada Allah memberi kesempatan kepada hawa nafsu dan setan menaburkan kotoran dan penyakit ke dalam hatinya. Kotoran atau penyakit hati, seperti dendam, dengki, durhaka, durjana, bohong, khianat, tipu daya, dan angkuh, semakin mempertebal keburukan di dalam hatinya.

Ketidaksabaran jelang pilpres

Ibadah puasa juga merupakan latihan kesabaran. Inilah mutiara kehidupan yang agaknya sudah mulai pudar dari diri manusia-manusia di Tanah Air tercinta ini. Ketidaksabaran merajalela dalam masyara kat kita dan tampaknya su lit diatasi. Ketidaksabaran membuat memudarnya keadaban publik (public civility) sehingga yang terlihat hanyalah manusia-manusia yang hanya memperturutkan hawa nafsu; menempuh jalan pintas un tuk mencapai tujuan dan kepentingan masing-masing.

Menjelang pilpres 9 Juli 2014 ketidaksabaran misalnya terlihat dari syah wat politik ber nyala-nyala untuk mem perebutkan dukungan massa yang kemudian diharapkan memberikan suara pada waktu mencoblos nanti. Karena ketidaksabaran, berbagai cara yang melanggar ajaran agama, ketentuan hukum, dan keadaban publik dipertontonkan secara telanjang. Kampanye hitam yang berisi fitnah (smear campaign) merajalela di mana-mana melalui bermacam media. Fenomena semacam itu tidak lain hanya mencemarkan demokrasi dan mencederai kehidupan berbangsa dan bernegara, yang bisa menimbulkan luka sosial-politik dalam masyarakat.

Tanpa kesabaran, yang ada hanyalah kerugian baik secara pribadi maupun bernegara-berbangsa. Kerugian bisa datang sekarang juga atau datang belakangan yang menghasilkan penyesalan. Padahal, Allah SWT memperingatkan di dalam Alquran, “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang beriman dan beramal saleh, dan saling mengingatkan (menasihati) tentang kebenaran dan kesabaran (QS Al-'Ashr/103:1-3).“

Kesabaran diperlukan tidak hanya dalam amar ma'ruf dan nahy munkar, tapi juga dalam mewujudkan kebenaran. Kebenaran, kebaikan, dan perubahan (islah) yang ingin diwujudkan melalui kekuasaan tidak dengan sendirinya membolehkan ketidaksabaran yang bertentangan dengan kebenaran dan kebaikan.

Puasa adalah latihan mengendalikan dan menguasai diri untuk membangun kesabaran. Ibadah puasa dengan esensi pengendalian diri dapat mengantarkan seseorang untuk terbiasa dengan kesa baran. Setiap hari dalam bu lan puasa merupakan latihan pengendalian terhadap hawa nafsu dan insting angkara murka yang inheren dalam eksistensi manusia yang menjadi pusat ketidak sabaran.

Dorongan hawa nafsu dan insting yang bisa begitu kuat dan tidak terkendali dalam diri manusia, menurut Profesor Ismail al-Faruqi dari Temple University, dapat mengganggu stabilitas individu dan sosial. Karena itu, hawa nafsu merupakan entitas paling sensitif dalam kehidupan manusia, yang mesti dikendalikan; jika tidak, dapat menjadi ancaman bagi individu dan masyarakat.

Sebab itu, kebebasan tanpa batas bagi hawa nafsu hanya mendatangkan kerusakan dan bencana bagi umat manusia. Kebebasan yang kebablasan sering kali tidak bisa dikendalikan dan berujung pada kekacauan dan anarki; akibatnya, dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Filsuf sosial, sosiolog, dan psikoanalisis semacam Karl Marx, Sigmund Freud, dan Erich Fromm telah mengemukakan berbagai teori tentang hawa nafsu dan insting tersebut.

Islam tidak melarang pemenuhan hawa nafsu dan insting secara halal.
Sebab itu, asketisme--menjauhi dan membatasinya secara amat ketat-tidak dibenarkan dalam Islam. Sebaliknya, Islam juga tidak membenarkan kebebasan hawa nafsu tanpa batas. Islam mengajarkan pengendalian; hawa nafsu seks dikendalikan melalui perkawinan sah, dan hawa nafsu makan minum dikendalikan--antara lain--dengan prinsip `berhentilah makan sebelum kamu kenyang' (hadis Nabi Muhammad SAW.)

Lebih dari itu, pengendalian hawa nafsu dan insting dapat dilakukan secara efektif melalui puasa. Dengan puasa, sejak imsak sampai iftar (berbuka), kaum muslimin dilatih mengendalikan hawa nafsunya. Kaum muslimin diperintahkan melakukan distansi terhadap hawa nafsu. Dengan distansi, mereka sekaligus berkesempatan melakukan refleksi diri (self-reflection) yang dapat menghasilkan pencerahan dan kebangkitan rohani (spiritual enlightenment).

Puasa dengan demikian dapat melahirkan manusia-manusia yang secara rohani telah tercerahkan. Mereka yang telah tercerahkan mampu melihat dunia dengan perasaan optimistis, lebih tawakkul, percaya kepada kasih Tuhan, yang tidak akan membiarkan manusia dalam kenestapaan yang seolah-olah tanpa ujung. Dengan manusia yang tercerahkan akan lebih memiliki kesabaran dalam melakukan upaya untuk meraih kekuasaan.

Di tengah hiruk pikuk kampanye yang terus cenderung kebablasan (out of control) sekarang ini, filsafat puasa memberikan perspektif sangat dalam dan bermakna. Perspektif itu, menurut Annema rie Schimmel, ahli dan otoritas tasawuf, akan membawa muslim untuk takhalaqu bi akhlaq Allah, bertingkah laku dan berakhlak dengan akhlak Tuhan; akhlak yang penuh kesempurnaan.
Kesabaran, sebagai salah satu akhlak Tuhan, seharusnya dimiliki setiap dan seluruh orang berpuasa; dan kesabaran sangat dibutuhkan dalam masa menjelang pilpres 9 Juli yang tinggal beberapa hari lagi.

Pengendalian diri yang dilatih melalui ibadah puasa Ramadan dapat mengantarkan kaum muslimin kepada sikap dan perilaku kesabaran yang merupakan salah satu akhlak Allah. Kesabaran seperti disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad di atas, bahkan dinyata kan sebagai separuh dari keimanan.

Dengan demikian, ke sabaran yang dicapai me lalui ibadah puasa, dapat mengangkat tingkat keimanan seseorang. Kesabaran juga dapat menolong pemimpin atau mereka yang ingin menjadi pemimpin puncak negara ini untuk menyelesaikan berbagai masalah kehidupan berbangsa dan bernegara baik pramaupun pascaterpilihnya kepemimpinan nasional baru dalam pilpres 9 Juli 2014. Sekali lagi, jika ketidaksabaran yang menguasai mereka, niscaya hanyalah kenestapaan yang akan melanda negara-bangsa Indonesia. Wallâhu a'lam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar