Selasa, 01 Juli 2014

Agenda Pembangunan Pendidikan (2)

SUMBANGAN PEMIKIRAN PILPRES 2014

Agenda Pembangunan Pendidikan (2)

Amich Alhumami  ;  Antropolog; Meraih PhD dari The University of Sussex, Inggris
MEDIA INDONESIA, 30 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PADA abad ke-21 bangsa Indonesia menghadapi tantangan berat seba gai dampak dari arus kuat globalisasi, yang menciptakan kompetisi antarbangsa yang ketat. Untuk dapat bersaing di era global, syarat mutlak yang harus dipenuhi ialah sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Dalam upaya membangun SDM berkualitas, posisi perguruan tinggi sangat sentral bahkan menjadi tumpuan utama. Penguatan perguruan tinggi menjadi keharusan untuk menghadapi berbagai macam tantangan global, yang menuntut kemampuan daya saing tinggi. 

Kemampuan daya saing ditentukan profesionalisme baik pada tingkat manajemen kelembagaan perguruan tinggi, mutu tenaga akademik, maupun kualitas lulusan. Daya saing nasional juga ditentukan kemampuan bangsa Indonesia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, melakukan inovasi teknologi, dan mendorong program research and development untuk melahirkan penemuan-penemuan baru.

Agenda 3: pendidikan tinggi

Namun, angka pengangguran terdidik masih cukup tinggi yang menunjukkan relevansi dan daya saing pendidikan tinggi masih rendah dan ketidakselarasan antara perguruan tinggi dan dunia kerja. Pengangguran terdidik memberi indikasi bahwa program-program studi yang dikembangkan di perguruan tinggi mengalami kejenuhan karena peningkatan jumlah lulusan tidak sebanding dengan pertumbuhan pasar kerja.

Bagi lulusan perguruan tinggi yang terserap di pasar kerja, sebagian besar (60%) bekerja di bidang pekerjaan yang termasuk kategori white-collar jobs (manajer, profesional), yang menuntut keahlian tinggi dan penguasaan ilmu khusus (insinyur, dokter, guru). Namun, sebagian dari mereka (30%) juga ada yang bekerja di bidang pekerjaan yang bersifat semiterampil (tenaga administrasi, tenaga pemasaran), bahkan ada juga yang berketerampilan rendah (10%) sehingga harus bekerja di bagian produksi (blue-collar jobs) (Bank Dunia 2013).

Gejala itu memberi gambaran bahwa program akademik, bidang keilmuan, dan kurikulum yang dikembangkan di perguruan tinggi kurang memiliki relevansi dan tidak sesuai dengan kebutuhan dunia usaha/dunia industri. Perguruan tinggi juga belum sepenuhnya dapat melahirkan lulusan-lulusan berkualitas yang memiliki daya saing mumpuni. Relevansi dan daya saing lulusan perguruan sangat ditentukan penguasaan tiga hal, yaitu 1) academic skills yang berhubungan langsung dengan bidang ilmu yang ditekuni di perguruan tinggi, 2) generic/life skills yang merujuk pada jenis-jenis keterampilan yang diperoleh selama menempuh pendidikan yang dapat diaplikasikan di lapangan kerja (seperti berpikir kritis/kreatif, pemecahan masalah, komunikasi, negosiasi, kerja dalam tim, kepemimpinan), dan 3) technical skills yang berkaitan dengan profesi spesifik yang mensyaratkan pengetahuan dan keahlian agar berkinerja bagus di suatu bidang pekerjaan (Bank Dunia 2013). Untuk itu, peningkatan mutu pendidikan tinggi mutlak dilakukan untuk membangun daya saing nasional dalam menghadapi kompetisi antarbangsa.

Agenda 4: pendidikan guru-reformasi LPTK

Penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas sangat bergantung pada ketersediaan guru-guru bermutu, yang punya kompetensi tinggi. Namun, justru itulah yang menjadi salah satu masalah utama pembangunan pendidikan di Indonesia. Secara nasional, jumlah guru sudah mencukupi seperti tecermin pada rasio guru murid yang rendah (jenjang SD/MI 1:16 dan SMP/MTs 1:14). Namun, yang menjadi masalah ialah jumlah guru tidak tersebar merata di seluruh daerah. 

Guru lebih banyak terkonsentrasi di wilayah perkotaan sehingga terjadi kelebihan guru di daerah-daerah tersebut, sedangkan di daerahdaerah lain justru kekurangan guru. Di era otonomi daerah, ketidakmerataan sebaran guru ini makin sulit diatasi karena kewenangan mengelola guru sepenuhnya berada di bawah pemerintah kabupaten/kota.

Peran LPTK sangat sentral sebagai institusi yang bertanggung jawab untuk melahirkan guru-guru yang bermutu. Namun, LPTK dinilai belum mampu mendidik calon-calon guru yang menguasai ilmu pedagogi sekaligus bidang ilmu yang nanti akan diampu. Karena itu, reformasi LPTK menjadi tak terelakkan yang dapat ditempuh dengan melakukan reorientasi program pre-service education melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG). PPG harus diselenggarakan dengan mengubah pola pendidikan keguruan yang bertumpu pada kombinasi dua pendekatan; research-based teacher education dan schoolbased teaching experience.

Pendekatan demikian diperlukan agar para guru terbiasa melakukan riset dan mengajar dengan berbasis pada pengalaman praktik di sekolah, untuk mendukung peningkatan kualitas proses pembelajaran di kelas. Selama ini, ada dua hal penting yang hilang dalam proses pembelajaran, critical thinking dan analytical skills, karena guru cenderung menerapkan expository learning method dalam bentuk ceramah. Metode pembelajaran itu sama sekali tidak membuka ruang bagi para siswa untuk berdiskusi, melakukan investigasi, dan mengembangkan pikiran.

Proses pembelajaran demikian jelas tidak akan mampu menumbuhkan kreativitas siswa, membangkitkan daya kritis dalam berpikir dan kemampuan analisis, suatu kompetensi yang justru sangat vital yang harus dimiliki siswa. Proses pembelajaran yang baik hanya dapat berlangsung bilamana guru menerapkan discovery learning method untuk menggantikan expository learning method.

Sejalan dengan hal itu, Ditjen Pendidikan Tinggi harus menunjuk LPTK tertentu saja untuk menyelenggarakan PPG, sekaligus mengendalikan pertumbuhan LPTK dan jumlah mahasiswa dengan menjaga keseimbangan antara penawaran dan permintaan. Calon-calon mahasiswa yang diterima di LPTK harus lulusan-lulusan sekolah menengah dengan prestasi akademik cemerlang yang punya passion untuk menekuni profesi guru, seperti yang dilakukan di Finlandia, Korea Selatan, Malaysia, dan Singapura. Untuk itu, LPTK seyogianya tidak berorientasi pada peningkatan jumlah mahasiswa, tetapi lebih kepada peningkatan mutu program akademik. LPTK perlu didorong agar lebih fokus pada peningkatan kualitas pendidikan guru yang mampu menguasai dua kompetensi sekaligus; subject content knowledge dan pedagogical content knowledge. Selain itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus punya political will untuk menata ulang LPTK dan dapat menggunakan wewenangnya untuk melakukan penggabungan bahkan bila perlu menutup LPTK yang berkinerja buruk.

Agenda 5: pembiayaan pendidikan

Sesuai dengan amanat konstitusi, negara telah me menuhi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN. Pada 2013, total anggaran untuk pendidikan mencapai Rp336,85 triliun, yang dialokasikan melalui pemerintah pusat sebesar Rp117,78 triliun, melalui transfer daerah sebesar Rp214,07 triliun, dan dana abadi sebesar Rp5 triliun. Dengan anggaran sedemikian besar, isu yang kerap muncul ialah the quality of public spending yang terkait dengan dua hal; 1) efektivitas dan efisiensi dalam pemanfaatan anggaran dan 2) dampak anggaran besar terhadap peningkatan mutu pendidikan.

Namun, pemanfaatan belanja publik untuk pendidikan yang tidak efisien menjadi problem krusial. Ketidakefisienan pemanfaatan anggaran bisa dalam bentuk misalokasi dan penyelewengan. Studi Bank Dunia (2012) menunjukkan anggaran pendidikan tidak efisien terutama karena sekitar 47% dialokasikan untuk membayar gaji dan tunjangan profesi guru, dengan rasio guru-murid yang sangat rendah dan tidak semua guru memenuhi kewajiban jam mengajar sesuai ketentuan. Selain itu, pemberian tunjangan profesi guru dan berbagai pelatihan terkait dengan program sertifikasi kompetensi guru, yang mengambil porsi anggaran sangat besar, ternyata belum berdampak pada peningkatan mutu pembelajaran dan kualitas hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa sebagai cerminan prestasi akademik yang ditempuh melalui proses pembelajaran tidak sepadan dengan alokasi anggaran yang sangat besar.

Lima agenda pembangunan pendidikan yang diuraikan di atas perlu mendapat perhatian serius dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Dengan demikian, upaya kolektif bangsa ini untuk meningkatkan mutu pendidikan dan usaha bersama untuk memperbaiki kinerja penyelenggaraan pendidikan nasional dapat tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar