Selasa, 01 Juli 2014

Kenaikan TDL bagi Perekonomian Rakyat

Kenaikan TDL bagi Perekonomian Rakyat

Sutrisno  ;  Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
KORAN JAKARTA, 30 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Sebuah kabar yang tidak mengenakkan bagi konsumen listrik. DPR telah menyetujui usulan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) untuk enam golongan pelanggan mulai 1 Juli 2014. Kenaikan tarif akan diberlakukan setiap dua bulan sekali dengan besaran antara 5,36–11,57 persen. Setelah 1 Juli, kenaikan akan diberlakukan 1 September dan terakhir 1 November 2014.

Keenam golongan yang terkena kenaikan tarif listrik adalah rumah tangga R1 (1.300 VA) secara bertahap rata-rata 11,36 persen setiap dua bulan dengan penghematan 1,84 triliun rupiah. Golongan rumah tangga R1 (2.200 VA) naik secara bertahap rata-rata 10,43 persen setiap dua bulan dengan nilai penghematan 0,99 triliun rupiah. Golongan rumah tangga R2 (3.500-5.500 VA) naik bertahap rata-rata 5,7 persen setiap dua bulan dengan penghematan 370 miliar rupiah.

Golongan pelanggan industri I3 non terbuka dengan kenaikan secara bertahap rata-rata 11,57 persen setiap dua bulan dengan penghematan subsidi 4,78 triliun ruupiah. Golongan penerangan jalan umum P3 melalui kenaikan tarif secara bertahap rata-rata 10,69 persen setiap dua bulan dengan nilai penghematan 430 miliar rupiah. Terakhir, pemerintah P2 (di atas 200 kVA) naik bertahap rata-rata 5,36 persen setiap dua bulan dengan penghematan 100 miliar rupiah (antaranews.com, 11/6/2014).

Dari kenaikan TDL tersebut, negara menghemat 8,51 triliun rupiah atau anggaran subsidi listrik bisa berkurang dari 95,35 triliun rupiah menjadi 86,84 triliun rupiah. Pemerintah menegaskan kenaikan TDL itu hanya dikenakan pada kalangan yang mampu. Karena itu, sesuai Undang-Undang (UU) Ketenagalistrikan, subsidi listrik hanya diberikan kepada golongan masyarakat tidak mampu, seperti pelanggan berdaya 450 dan 900 VA (Koran Jakarta, 19/6). Apa pun alasannya, kenaikan TDL tersebut tetap akan berdampak bagi perekonomian rakyat. Efisiensi anggaran yang mengorbankan subsidi bagi rakyat seperti ini kelihatannya telah menjadi “resep” rutin pemerintah manakala sektor vital perekonomian didera “penyakit”.

Kenaikan TDL secara bertahap tetap akan menyengat rakyat miskin. Dampak kenaikan TDL tersebut tentu akan berpengaruh kepada membengkaknya harga-harga kebutuhan lainnya. Biasanya pihak industri, baik industri besar, menengah, kecil, maupun industri rumah tangga, akan menanggungkan pembengkakan biaya produksi akibat naiknya TDL kepada konsumen melalui naiknya harga jual produk. Maka, tidak bisa tidak, rakyat kecil juga akan terimbas dengan naiknya TDL tersebut yaitu dengan naiknya harga-harga kebutuhan primer.

Industri lain pun akan terdorong untuk menaikkan harga. Biaya produksi yang meningkat di berbagai industri tentu akan semakin menekan daya saing sektor industri dan menekan tingkat pertumbuhan industri yang terus melambat. Efek bergandanya ini akan menimbulkan PHK massal, perusahaan besar ramai-ramai akan eksodus ke negara yang menawarkan iklim investasi lebih baik.

Apalagi Indonesia tengah menghadapi gempuran produk-produk murah dari Tiongkok. Tambahan biaya akibat kenaikan TDL akan berdampak sangat signifikan. Apalagi pemerintah gagal untuk renegosiasi 228 pos tarif dalam kerja sama ASEAN China Free Trade Area. Dampak kegagalan ini sangat besar bagi industri tekstil, alas kaki, mainan anak, dan elektronik karena lebih dari tiga per empat pos tarif yang gagal direnegosiasi ada pada sektor ini.

Selama ini, pembengkakan biaya PT PLN disinyalir bersumber dari pemakaian bahan bakar pembangkit listrik. Penggunaan solar sebagai bahan bakar pembangkit listrik, selama ini, menjadi akar masalah tingginya biaya pokok produksi listrik oleh PT PLN. Biaya pokok tersebut lebih tinggi hingga empat kali lipat dibanding menggunakan gas dan batu bara. Harga jual listrik ke rakyat saat ini adalah 700 rupiah per kWh. Nah, masalahnya saat ini pemerintah masih mengandalkan BBM sebagai bahan baku listrik. Akibatnya, menurut hitungan-hitungan kasar, HPP listrik berbahan baku BBM mencapai 3.500 rupiah per kWh.

Bandingkan jika pemerintah berani melakukan konversi ke bahan baku lain: batu bara dan gas (BBG). Hitungan pengamat energi, Kurtubi, menyebutkan kalau pemerintah menggunakan bahan baku batu bara, maka HPP listrik hanya berkisar 500–600 rupiah per kWh, sedangkan penggunaan bahan baku gas (BBG) hanya menghasilkan HPP listrik sebesar 400– 500 rupiah per kWh. Artinya, dengan harga listrik sekarang 700 rupiah per kWh, jika pemerintah melakukan konversi bahan baku, maka penjualan listrik pemerintah ke rakyat sudah untung. Sayang, pemerintah tidak punya politik energi yang baik. Dua jenis bahan bakar itu, batu bara dan gas, lebih banyak diekspor dengan harga murah ke luar negeri.

Untuk meminimalisasi pembengkakan biaya, pemerintah seharusnya lebih dulu fokus menata ulang penggunaan bahan bakar pembangkit listrik yang selama ini masih bergantung pada solar bersubsidi. Dalam hal ini, sebaiknya dilakukan migrasi dari bahan bakar solar dengan bahan bakar gas dan batu bara.

Hal itu sejalan dengan program National Mixed Energy 2025 yang menargetkan peningkatan kapasitas batu bara dan gas alam sebagai pengganti minyak bumi, sedangkan dalam pencarian sumber energi, seperti batu bara, gas, panas bumi, dan berbagai energi terbarukan sebenarnya sangat berpeluang dilakukan. Dalam skala kecil misalnya, teknologi mikrohidro atau biogas sudah banyak dilakukan di berbagai tempat. Penggunaan batu bara, penggalian potensi gas dan panas bumi masih terbuka untuk digunakan sebagai sumber energi listrik.

Saat ini, 90 persen industri gas alam Indonesia dikelola oleh enam perusahaan asing (International Energy Agency, 2008). Dan yang lebih membuat miris, 52 persen dari produksi 9 juta kaki kubik gas alam per hari ditujukan bagi pasar internasional alias diekspor. Hanya 48 persen yang dialokasikan bagi kebutuhan domestik. Itu pun harus dibagi-bagi lagi di antara beberapa pemangku kepentingan, seperti industri swasta nasional, produsen LPG, PLN, dan sebagainya. Hal serupa dapat kita lihat juga dari industri batu bara.

Dominasi peran swasta nasional yang profit oriented dalam industri batubara (71 persen) menyebabkan terjadinya ekspor “ugal-ugalan” komoditas batu bara Indonesia. Data Kementerian ESDM memperlihatkan dari total produksi batu bara nasional, sekitar 80 persen diekpor ke luar negeri. Sementara pengusaha batu bara hanya diwajibkan menyuplai 35 persen hasil produksinya untuk kebutuhan domestik, seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM No 34/2009.

Fakta-fakta itu memperlihatkan bahwa negara ini tidak memiliki kedaulatan energi. Hal inilah yang menjadi akar permasalahan penyediaan listrik bagi kebutuhan rakyat. Dan, solusinya bukanlah pencabutan atau pengurangan subsidi, melainkan menegosiasi ulang seluruh kontrak migas yang merugikan negara, hingga akhirnya tercapai kesepakatan yang menguntungkan kepentingan nasional. Demikian juga dalam sektor industri batu bara: negara harus mengambil peran dominan dalam pengelolaan maupun alokasi komoditas yang lebih berpihak pada kebutuhan domestik dengan harga yang efisien (www.berdikarionline.com, Hiski Darmayana, 2012).

DPR semestinya memprioritaskan untuk menekan pemerintah melakukan perubahan kebijakan agar dapat memberikan jaminan pasokan energi yang lebih murah bagi PLN. Perubahan kebijakan ini akan dapat menekan besaran subsidi yang harus dialokasikan dalam APBN. Bila kondisi ini dibiarkan, tingginya biaya produksi seolah tidak ada solusi. PLN juga seolah tidak bisa diminta untuk bertanggung jawab atas pemborosan yang terjadi karena semua tergantung kebijakan energi pemerintah.

Efisiensi sebagai poin penting dalam skema pengurangan subsidi tidak pernah dilakukan secara bersungguh-sungguh. Efisiensi bersama dengan janji peningkatan pelayanan hanya lips service. Setiap orang, pemerintah, parlemen, dan bidang terkait mengobral janji efisiensi. Faktanya, jarang terdengar upaya sistematis yang berhasil mengurangi tingkat pemborosan di kalangan birokrat. Hal itu mengakibatkan tingginya biaya produksi dan akhirnya sama sekali tidak membantu menurunkan rentang perbedaan “keekonomian” dengan harga jual. Tanpa efisiensi, nilai keekonomian tidak akan bisa diturunkan.

Selanjutnya, DPR dan pemerintah harus mendesak PLN untuk memperbaiki manajemennya. Secara nyata, banyak kelemahan dalam manajemen PLN yang berpotensi mendorong meningkatnya biaya produksi dan mengakibatkan potensi hilangnya pendapatan. Selain karena susut energi juga masih sangat banyak tunggakan pembayaran listrik dari para pelanggan besar. Sangat banyak pekerjaan rumah besar bagi pemerintah dan DPR dalam meningkatkan pelayanan listrik bagi masyarakat dan penyediaan listrik bagi industri. Bila pekerjaan rumah tersebut tidak dikerjakan, setiap tahun hanya akan terjadi tawar-menawar besaran subsidi listrik,tetapi tetap menutup mata terhadap masalah pokoknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar