Kenaikan
TDL bagi Perekonomian Rakyat
Sutrisno
; Mahasiswa
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
|
KORAN
JAKARTA, 30 Juni 2014
Sebuah
kabar yang tidak mengenakkan bagi konsumen listrik. DPR telah menyetujui
usulan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) untuk enam golongan
pelanggan mulai 1 Juli 2014. Kenaikan tarif akan diberlakukan setiap dua
bulan sekali dengan besaran antara 5,36–11,57 persen. Setelah 1 Juli,
kenaikan akan diberlakukan 1 September dan terakhir 1 November 2014.
Keenam
golongan yang terkena kenaikan tarif listrik adalah rumah tangga R1 (1.300
VA) secara bertahap rata-rata 11,36 persen setiap dua bulan dengan
penghematan 1,84 triliun rupiah. Golongan rumah tangga R1 (2.200 VA) naik
secara bertahap rata-rata 10,43 persen setiap dua bulan dengan nilai
penghematan 0,99 triliun rupiah. Golongan rumah tangga R2 (3.500-5.500 VA)
naik bertahap rata-rata 5,7 persen setiap dua bulan dengan penghematan 370
miliar rupiah.
Golongan
pelanggan industri I3 non terbuka dengan kenaikan secara bertahap rata-rata
11,57 persen setiap dua bulan dengan penghematan subsidi 4,78 triliun
ruupiah. Golongan penerangan jalan umum P3 melalui kenaikan tarif secara
bertahap rata-rata 10,69 persen setiap dua bulan dengan nilai penghematan 430
miliar rupiah. Terakhir, pemerintah P2 (di atas 200 kVA) naik bertahap
rata-rata 5,36 persen setiap dua bulan dengan penghematan 100 miliar rupiah
(antaranews.com, 11/6/2014).
Dari kenaikan
TDL tersebut, negara menghemat 8,51 triliun rupiah atau anggaran subsidi
listrik bisa berkurang dari 95,35 triliun rupiah menjadi 86,84 triliun
rupiah. Pemerintah menegaskan kenaikan TDL itu hanya dikenakan pada kalangan
yang mampu. Karena itu, sesuai Undang-Undang (UU) Ketenagalistrikan, subsidi
listrik hanya diberikan kepada golongan masyarakat tidak mampu, seperti
pelanggan berdaya 450 dan 900 VA (Koran Jakarta, 19/6). Apa pun alasannya,
kenaikan TDL tersebut tetap akan berdampak bagi perekonomian rakyat.
Efisiensi anggaran yang mengorbankan subsidi bagi rakyat seperti ini
kelihatannya telah menjadi “resep” rutin pemerintah manakala sektor vital
perekonomian didera “penyakit”.
Kenaikan
TDL secara bertahap tetap akan menyengat rakyat miskin. Dampak kenaikan TDL
tersebut tentu akan berpengaruh kepada membengkaknya harga-harga kebutuhan
lainnya. Biasanya pihak industri, baik industri besar, menengah, kecil,
maupun industri rumah tangga, akan menanggungkan pembengkakan biaya produksi
akibat naiknya TDL kepada konsumen melalui naiknya harga jual produk. Maka,
tidak bisa tidak, rakyat kecil juga akan terimbas dengan naiknya TDL tersebut
yaitu dengan naiknya harga-harga kebutuhan primer.
Industri
lain pun akan terdorong untuk menaikkan harga. Biaya produksi yang meningkat
di berbagai industri tentu akan semakin menekan daya saing sektor industri
dan menekan tingkat pertumbuhan industri yang terus melambat. Efek
bergandanya ini akan menimbulkan PHK massal, perusahaan besar ramai-ramai
akan eksodus ke negara yang menawarkan iklim investasi lebih baik.
Apalagi
Indonesia tengah menghadapi gempuran produk-produk murah dari Tiongkok.
Tambahan biaya akibat kenaikan TDL akan berdampak sangat signifikan. Apalagi
pemerintah gagal untuk renegosiasi 228 pos tarif dalam kerja sama ASEAN China Free Trade Area. Dampak
kegagalan ini sangat besar bagi industri tekstil, alas kaki, mainan anak, dan
elektronik karena lebih dari tiga per empat pos tarif yang gagal
direnegosiasi ada pada sektor ini.
Selama
ini, pembengkakan biaya PT PLN disinyalir bersumber dari pemakaian bahan
bakar pembangkit listrik. Penggunaan solar sebagai bahan bakar pembangkit
listrik, selama ini, menjadi akar masalah tingginya biaya pokok produksi
listrik oleh PT PLN. Biaya pokok tersebut lebih tinggi hingga empat kali
lipat dibanding menggunakan gas dan batu bara. Harga jual listrik ke rakyat
saat ini adalah 700 rupiah per kWh. Nah, masalahnya saat ini pemerintah masih
mengandalkan BBM sebagai bahan baku listrik. Akibatnya, menurut
hitungan-hitungan kasar, HPP listrik berbahan baku BBM mencapai 3.500 rupiah
per kWh.
Bandingkan
jika pemerintah berani melakukan konversi ke bahan baku lain: batu bara dan
gas (BBG). Hitungan pengamat energi, Kurtubi, menyebutkan kalau pemerintah
menggunakan bahan baku batu bara, maka HPP listrik hanya berkisar 500–600
rupiah per kWh, sedangkan penggunaan bahan baku gas (BBG) hanya menghasilkan
HPP listrik sebesar 400– 500 rupiah per kWh. Artinya, dengan harga listrik
sekarang 700 rupiah per kWh, jika pemerintah melakukan konversi bahan baku,
maka penjualan listrik pemerintah ke rakyat sudah untung. Sayang, pemerintah
tidak punya politik energi yang baik. Dua jenis bahan bakar itu, batu bara
dan gas, lebih banyak diekspor dengan harga murah ke luar negeri.
Untuk
meminimalisasi pembengkakan biaya, pemerintah seharusnya lebih dulu fokus
menata ulang penggunaan bahan bakar pembangkit listrik yang selama ini masih
bergantung pada solar bersubsidi. Dalam hal ini, sebaiknya dilakukan migrasi
dari bahan bakar solar dengan bahan bakar gas dan batu bara.
Hal itu
sejalan dengan program National Mixed Energy 2025 yang menargetkan
peningkatan kapasitas batu bara dan gas alam sebagai pengganti minyak bumi,
sedangkan dalam pencarian sumber energi, seperti batu bara, gas, panas bumi,
dan berbagai energi terbarukan sebenarnya sangat berpeluang dilakukan. Dalam
skala kecil misalnya, teknologi mikrohidro atau biogas sudah banyak dilakukan
di berbagai tempat. Penggunaan batu bara, penggalian potensi gas dan panas
bumi masih terbuka untuk digunakan sebagai sumber energi listrik.
Saat
ini, 90 persen industri gas alam Indonesia dikelola oleh enam perusahaan
asing (International Energy Agency,
2008). Dan yang lebih membuat miris, 52 persen dari produksi 9 juta kaki
kubik gas alam per hari ditujukan bagi pasar internasional alias diekspor.
Hanya 48 persen yang dialokasikan bagi kebutuhan domestik. Itu pun harus
dibagi-bagi lagi di antara beberapa pemangku kepentingan, seperti industri
swasta nasional, produsen LPG, PLN, dan sebagainya. Hal serupa dapat kita
lihat juga dari industri batu bara.
Dominasi
peran swasta nasional yang profit oriented dalam industri batubara (71
persen) menyebabkan terjadinya ekspor “ugal-ugalan” komoditas batu bara
Indonesia. Data Kementerian ESDM memperlihatkan dari total produksi batu bara
nasional, sekitar 80 persen diekpor ke luar negeri. Sementara pengusaha batu
bara hanya diwajibkan menyuplai 35 persen hasil produksinya untuk kebutuhan
domestik, seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM No 34/2009.
Fakta-fakta
itu memperlihatkan bahwa negara ini tidak memiliki kedaulatan energi. Hal
inilah yang menjadi akar permasalahan penyediaan listrik bagi kebutuhan
rakyat. Dan, solusinya bukanlah pencabutan atau pengurangan subsidi,
melainkan menegosiasi ulang seluruh kontrak migas yang merugikan negara,
hingga akhirnya tercapai kesepakatan yang menguntungkan kepentingan nasional.
Demikian juga dalam sektor industri batu bara: negara harus mengambil peran
dominan dalam pengelolaan maupun alokasi komoditas yang lebih berpihak pada
kebutuhan domestik dengan harga yang efisien (www.berdikarionline.com, Hiski Darmayana, 2012).
DPR
semestinya memprioritaskan untuk menekan pemerintah melakukan perubahan
kebijakan agar dapat memberikan jaminan pasokan energi yang lebih murah bagi
PLN. Perubahan kebijakan ini akan dapat menekan besaran subsidi yang harus
dialokasikan dalam APBN. Bila kondisi ini dibiarkan, tingginya biaya produksi
seolah tidak ada solusi. PLN juga seolah tidak bisa diminta untuk bertanggung
jawab atas pemborosan yang terjadi karena semua tergantung kebijakan energi
pemerintah.
Efisiensi
sebagai poin penting dalam skema pengurangan subsidi tidak pernah dilakukan
secara bersungguh-sungguh. Efisiensi bersama dengan janji peningkatan
pelayanan hanya lips service. Setiap orang, pemerintah, parlemen, dan bidang
terkait mengobral janji efisiensi. Faktanya, jarang terdengar upaya
sistematis yang berhasil mengurangi tingkat pemborosan di kalangan birokrat.
Hal itu mengakibatkan tingginya biaya produksi dan akhirnya sama sekali tidak
membantu menurunkan rentang perbedaan “keekonomian” dengan harga jual. Tanpa
efisiensi, nilai keekonomian tidak akan bisa diturunkan.
Selanjutnya,
DPR dan pemerintah harus mendesak PLN untuk memperbaiki manajemennya. Secara
nyata, banyak kelemahan dalam manajemen PLN yang berpotensi mendorong
meningkatnya biaya produksi dan mengakibatkan potensi hilangnya pendapatan.
Selain karena susut energi juga masih sangat banyak tunggakan pembayaran
listrik dari para pelanggan besar. Sangat banyak pekerjaan rumah besar bagi
pemerintah dan DPR dalam meningkatkan pelayanan listrik bagi masyarakat dan
penyediaan listrik bagi industri. Bila pekerjaan rumah tersebut tidak
dikerjakan, setiap tahun hanya akan terjadi tawar-menawar besaran subsidi
listrik,tetapi tetap menutup mata terhadap masalah pokoknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar