Senin, 14 Juli 2014

Hak Pendidikan Penyandang Disabilitas

                    Hak Pendidikan Penyandang Disabilitas

Doni Koesoema A  ;   Pemerhati Pendidikan
MEDIA INDONESIA,  14 Juli 2014
                                                


BARU pertama kalinya di dalam sejarah, ke dua tim sukses dari setiap kubu calon presiden (capres), yaitu Prabowo-Hatta dan Jokowidodo-Jusuf Kalla, berdialog dengan para penyandang disabilitas untuk membahas masa depan mereka. Tema tentang hak-hak penyandang disabilitas bisa dikatakan sangat marjinal, jarang bahkan tidak dibahas dalam debat visi dan misi calon presiden, serta luput dari gelora kampanye.

Dalam dialog yang diadakan di aula Pegadaian, Kramat Raya, beberapa waktu lalu, perwakilan dari kedua tim sukses, Edy Prabowo (kubu Prabowo-Hatta), Rieke Dyah Pitaloka (kubu Jokowi-JK) berjanji untuk tetap memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas siapa pun presidennya. Kedua juru bicara itu ialah wakil rakyat yang lolos ke Senayan dalam pemilu legislatif lalu. Namun, persoalan penyandang disabilitas bukanlah masalah janji-janji manis, melainkan aksi nyata yang membuat keberadaan mereka lebih bermartabat.

Kasus persyaratan SNMPTN yang diskriminatif bagi penyandang disabilitas dan diskriminasi masuk SMA/ SMK hanyalah gunung es dari persoalan fundamental pendidikan yang tidak memandang penyandang disabilitas sebagai manusia. Mereka dianggap sebagai objek penghalang dan beban.

Penyandang disabilitas ialah manusia yang bermartabat dan memiliki hak. Perjuangan mereka merupakan perjuangan demi penegakan kemanusiaan itu sendiri. Hak memperoleh pendidikan yang layak bagi penyandang disabilitas dilindungi oleh konstitusi. Mereka bukan hanya memiliki hak untuk memperoleh pendidikan, melainkan juga sama seperti individu nondisabilitas, mereka memiliki keseluruhan hak untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan bernegara, di bidang politik, sosial, ekono mi, dan kebudayaan.

Publik mulai menyadari persoalan penyandang disabilitas ketika penyandang disabilitas mulai menyadari pentingnya menyuarakan hak-hak me reka. Bahkan, para penyandang disabilitas sudah sangat maju dengan secara resmi mengajukan Rancangan Undang-Undang Penyandang Disabilitas (RUU Penyandang Disabilitas), sebagai pengganti Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

Perubahan radikal

RUU Penyandang disabilitas sudah masuk pada salah satu prioritas Prolegnas 2014. RUU itu akan mengubah secara radikal paradigma kita terhadap penyandang disabilitas, dan tentu saja, perubahan paradigma itu akan memiliki pengaruh besar pada praksis pendidikan kita. Perubahan radikal pertama ialah perubahan filosofis dari paradigma karitatif menjadi hak asasi manusia. UU No 4 Tahun 1997 masih memandang penyandang disabilitas sebagai individu yang patut dikasihani, tapi tidak memiliki hak. Karena itu, perlakuan terhadap mereka sekadar karitatif, berdasarkan rasa belas kasihan semata. Paradigma itu berubah menjadi pendekatan hak. Sebagai hak asasi, hak para penyandang disabilitas bersifat universal, langgeng, tidak dapat dikurangi, dibatasi, dicabut, atau dihilangkan oleh siapa pun termasuk negara.

Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia pada 2007 dan dikuatkan dengan UU No 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas mewajibkan bahwa keseluruhan peraturan perundang-undangan yang ada melindungi hak-hak asasi penyandang disabilitas.

Kedua, persoalan penyandang disabilitas bukanlah persoalan individual, yaitu masalah ada pada penyandang disabilitas, melainkan pada unsur sosial, yaitu pemahaman masyarakat, negara, dan aparatur negara terhadap keberadaan penyandang disabilitas sebagai warga negara. Mereka selama ini dianggap sebagai aib, objek penghalang. Masyarakatlah yang harus mengubah cara pandang mereka terhadap penyandang disabilitas. Mereka juga manusia yang memiliki hak dan martabat yang luhur, yang tidak pernah boleh dilecehkan siapa pun.

Ketiga, secara hukum yuridis, konsep tentang penyandang disabilitas berubah. Bila dalam UU No 4/1997 masih memakai istilah penyan dang cacat, istilah itu sudah tidak tepat lagi dan harus dihilangkan, sebab cacat fisik dan mental bukanlah sebuah kecelakaan yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya. Istilah yang lebih manusiawi dan dipakai sekarang ialah penyandang disabilitas. Pembedaannya bukan antara yang cacat dan normal, melainkan pada disable dan non disable. Mereka semua ialah sama-sama manusia yang memiliki hak dan martabat yang tak dapat diganggu gugat siapa pun.

Bukan inklusi

Pemenuhan hak-hak para penyandang disabilitas dalam praksis pendidikan kita selama ini hanyalah tempelan dan tambahan. Itu terbukti dengan adanya lembaga pendidikan yang inklusif. Padahal, semestinya tidak ada sekolah yang inklusi, sebab pendidikan itu pada hakikatnya adalah inklusi. Pendidikan inklusif menimbulkan pembatasanpembatasan apa pun atas dasar alasan disabilitas, dan itu merupakan sikap tidak adil serta diskriminatif. Setiap penyandang disabilitas memiliki hak untuk masuk dan mengenyam pendidikan dari semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan.

Konsep kita tentang pendidikan umum dengan program inklusi harus dihapus. Pemahaman yang distortif terhadap pendidikan inklusi telah berakibat bahwa praksis pendidikan inklusi sekadar formalitas. Pemerintah secara formal menyediakan keberadaan pendidikan inklusi, tapi hal-hal fundamental, seperti ketersediaan sarana belajar, guru, akomodasi wajar proses belajar siswa, sistem evaluasi dan kurikulum, tidak berubah. Ketiadaan sarana-prasarana dan tenaga di perguruan tinggi tidak bisa menjadi alasan untuk menyingkirkan para penyandang disabilitas dari akses mereka terhadap pendidikan di setiap jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, sampai tinggi. Negara bertanggung jawab untuk menyediakan akses itu.

Bukan semalam

Membalik keadaan, dengan sistem pendidikan kita memiliki jiwa adil dan menerapkan prinsip nondiskriminasi terhadap penyandang disabilitas bukanlah pekerjaan semalam. Namun, pekerjaan itu tidak dapat dilakukan bila paradigma dan visi kita tentang kehadiran para penyandang disabilitas tidak berubah. Dalam konteks pendidikan, perubahan radikal itu harus disertai desain jangka panjang dan eksplisitasi penghargaan terhadap penyandang disabilitas dalam aturan hukum dan perundang-undangan kita. Untuk itu, ada tiga prioritas yang mesti segera dikerjakan.

Pertama, pemerintah harus secara eksplisit dan tegas menyatakan dan mengukuhkan dalam produk hukum dan praksis bahwa penyandang disabilitas tidak didiskriminasi dalam mengenyam pendidikan dalam jenjang mana pun. Kedua, pemerintah harus mendesain secara jelas kebijakan afirmatif apa yang akan mereka lakukan untuk mengakomodasi kehadiran para penyandang disabilitas agar memiliki keterbukaan akses pada setiap jalur pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai tinggi. Pemerintah harus secara jelas menyatakan bahwa pendidikan dari tingkat dasar sampai tinggi inklusif.

Ketiga, harus ada proses penilaian dan assessment yang utuh ketika pemerintah menentukan seseorang harus masuk sekolah khusus, melalui kriteria dan proses yang secara objektif dapat dipertanggungjawabkan. Sekolah khusus hanya diperuntukkan bagi mereka yang sungguhsungguh secara khusus tidak dapat berintegrasi dengan sekolah umum baik dari segi kurikulum, metode, sarana, guru, dan tujuan.

Masyarakat dan para pengambil kebijakan harus terbuka dan berani mengoreksi konsep dan paradigma mereka tentang kehadiran para penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas ialah manusia. Mereka ialah saudara-saudara kita, yang patut kita perlakukan dengan penuh cinta, dan dilindungi dalam sebuah produk hukum, undang-undang, peraturan, dan praksis kehidupan bermasyarakat yang menghargai harkat dan martabat mereka sebagai ciptaan Tuhan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar