Sabtu, 12 Juli 2014

Mewujudkan Indonesia Makmur Sejahtera

                Mewujudkan Indonesia Makmur Sejahtera

Daud Sihombing  ;   Wakil Direktur Binmas Baharkam Polri
KOMPAS, 11 Juli 2014
                                                


Usai sudah pesta demokrasi pemilihan presiden. Mari bersyukur dan kembali ke pekerjaan kita masing-masing sekaligus mendukung presiden/wakil presiden RI terpilih mewujudkan Indonesia yang tata tentrem kerta raharja, setidak-tidaknya membawa Indonesia tinggal landas menuju titik itu.

Indonesia layak mencapai level tersebut, mengingat potensinya luar biasa besar, di antaranya letak geografis sangat strategis - yang dilewati lalu lintas internasional, berbentuk nusantara yang luas dengan sumber daya alam dan manusia melimpah, dan sudah cukup lama merdeka. Untuk itu, para calon presiden/wakil presiden itu perlu mengarahkan programnya.

Sesungguhnya visi tata tentrem kerta raharja itu bukan hal baru bagi Indonesia. Sudah ada paling tidak sejak Kerajaan Majapahit (1293-1478).

Maknanya bahwa untuk menggapai raharja (sejahtera, sentosa) perlu kerta (kerja, karya) yang optimal. Untuk bisa bekerja optimal perlu suasana tentrem, yaitu situasi yang aman, nyaman, tertib, dan damai. Agar suasana tentrem tercipta, perlu tatanan yang baik dan berlaku tegak.

Keempat aspek di atas merupakan rangkaian subsistem linier dari hulu ke hilir, dengan aspek tatasebagai hulu untuk penentu arah. Jika aspek ini tidak beres akan berdampak buruk pada ketiga aspek di hilirnya. Dengan demikian, pembenahan harus dari hulu.

Tata mandek

Aspek tata belum cukup cespleng di Tanah Air, baik pembentukan maupun implementasinya. Kini, banyak peraturan perundang-undangan yang serampangan, tumpang tindih, bahkan bertentangan satu sama lain.

Di samping itu, banyak oknum pelaksana hukum yang tidak menjalankan fungsi dan peran secara baik dan benar, bahkan menyalahgunakan wewenangnya. Praktik mempermainkan hukum terjadi di mana-mana.

Selain itu, banyak pelanggaran hukum juga cenderung dibiarkan sehingga berkembang menjadi kebiasaan yang dianggap wajar. Bahkan, terhadap sejumlah aksi kekerasan yang dilakukan kelompok tertentu, negara terkesan tidak berdaya sehingga bertambah marak dan luas.

Yang lebih ironis lagi, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, seperti kasus GKI Yasmin, Bogor, tidak dijalankan sebagaimana mestinya justru oleh pejabat negara yang seharusnya menjadi saka guru tegaknya hukum.

Padahal, di negara demokratis, hukum harus menjadi panglima, mengatur dan mengendalikan semua aspek hidup dan kehidupan dalam masyarakat. Jika tidak, negara akan semrawut, yang kuat menindas yang lemah. Muncul dominasi mayoritas dan tirani minoritas sesuai sifat dasar manusia yang cenderung homo homini lupus, bertabiat serigala bagi sesamanya.

Kondisi itu tidak boleh terjadi. Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, harus dihindarkan dari keadaan demikian. Aspek tata harus dibenahi dan ditegakkan. Segala peraturan perundang-undangan (di semua tingkatan dan bidang) tidak boleh dibuat secara serampangan, tumpang tindih, dan saling bertentangan.

Oleh karena itu, pembuatan perundang-undangan tidak boleh dipengaruhi egoisme sektoral dan pola pikir terkotak-kotak, tetapi harus berpikiran holistik-komprehensif dengan dasar keindonesiaan yang utuh.

Begitu juga dalam implementasinya, semua peraturan perundang-undangan harus ditegakkan secara konsisten dan konsekuen tanpa pandang bulu.

Semua orang harus diperlakukan sama di muka hukum (equality before the law). Pelanggaran hukum sekecil apa pun tidak boleh dibiarkan, harus ditindak sesuai hukum yang berlaku. Negara tidak boleh kalah terhadap kejahatan, siapa pun pelakunya.

Perbaiki aparat

Dalam rangka itu, para pelaksana hukum (polisi, jaksa, hakim, panitera, lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain) harus profesional, transparan, akuntabel, jujur, adil, dan bersih dalam menjalankan hukum. Tidak boleh terbuka peluang untuk penyimpangan hukum. Pengawasan dan pengendalian diperketat. Apabila ditemukan aparat pelaksana hukum yang menyeleweng, aparat tersebut harus ditindak tegas dengan sanksi yang diperberat.

Untuk mewujudkan itu, perlu melayakkan gaji mereka agar paling tidak mencukupi kebutuhan standar minimal selaras dengan kepangkatannya. Negara perlu pula melengkapi mereka dengan peralatan tugas dan biaya operasional yang memadai.
Jika gaji mereka sudah dilayakkan, tidak ada ampunan lagi begitu terjadi penyimpangan. Sanksi tegas harus dikenakan tanpa kompromi. Dengan demikian, akan tercipta aparat pelaksana hukum yang bersih dan kredibel. Hukum yang ditegakkan dan kepastian hukum yang terjamin akan melahirkan ketenteraman di tengah masyarakat.

Situasi yang tenteram memungkinkan warga masyarakat beraktivitas secara tenang dan lancar dan selanjutnya meningkat produktivitasnya.

Hal ini selanjutnya akan meningkatkan produktivitas kerja sehingga penghasilan juga semakin besar yang akhirnya bermuara pada peningkatan kesejahteraan (raharja). Marilah kita wujudkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar