Mewujudkan
Indonesia Makmur Sejahtera
Daud Sihombing ; Wakil Direktur Binmas Baharkam Polri
|
KOMPAS,
11 Juli 2014
Usai
sudah pesta demokrasi pemilihan presiden. Mari bersyukur dan kembali ke
pekerjaan kita masing-masing sekaligus mendukung presiden/wakil presiden RI
terpilih mewujudkan Indonesia yang tata tentrem kerta raharja,
setidak-tidaknya membawa Indonesia tinggal landas menuju titik itu.
Indonesia
layak mencapai level tersebut, mengingat potensinya luar biasa besar, di
antaranya letak geografis sangat strategis - yang dilewati lalu lintas
internasional, berbentuk nusantara yang luas dengan sumber daya alam dan
manusia melimpah, dan sudah cukup lama merdeka. Untuk itu, para calon
presiden/wakil presiden itu perlu mengarahkan programnya.
Sesungguhnya
visi tata tentrem kerta raharja itu bukan hal baru bagi Indonesia. Sudah ada
paling tidak sejak Kerajaan Majapahit (1293-1478).
Maknanya
bahwa untuk menggapai raharja (sejahtera, sentosa) perlu kerta (kerja, karya)
yang optimal. Untuk bisa bekerja optimal perlu suasana tentrem, yaitu situasi
yang aman, nyaman, tertib, dan damai. Agar suasana tentrem tercipta, perlu
tatanan yang baik dan berlaku tegak.
Keempat
aspek di atas merupakan rangkaian subsistem linier dari hulu ke hilir, dengan
aspek tatasebagai hulu untuk penentu arah. Jika aspek ini tidak beres akan
berdampak buruk pada ketiga aspek di hilirnya. Dengan demikian, pembenahan
harus dari hulu.
Tata mandek
Aspek
tata belum cukup cespleng di Tanah Air, baik pembentukan maupun
implementasinya. Kini, banyak peraturan perundang-undangan yang serampangan,
tumpang tindih, bahkan bertentangan satu sama lain.
Di
samping itu, banyak oknum pelaksana hukum yang tidak menjalankan fungsi dan
peran secara baik dan benar, bahkan menyalahgunakan wewenangnya. Praktik
mempermainkan hukum terjadi di mana-mana.
Selain
itu, banyak pelanggaran hukum juga cenderung dibiarkan sehingga berkembang
menjadi kebiasaan yang dianggap wajar. Bahkan, terhadap sejumlah aksi
kekerasan yang dilakukan kelompok tertentu, negara terkesan tidak berdaya
sehingga bertambah marak dan luas.
Yang
lebih ironis lagi, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,
seperti kasus GKI Yasmin, Bogor, tidak dijalankan sebagaimana mestinya justru
oleh pejabat negara yang seharusnya menjadi saka guru tegaknya hukum.
Padahal,
di negara demokratis, hukum harus menjadi panglima, mengatur dan
mengendalikan semua aspek hidup dan kehidupan dalam masyarakat. Jika tidak,
negara akan semrawut, yang kuat menindas yang lemah. Muncul dominasi
mayoritas dan tirani minoritas sesuai sifat dasar manusia yang cenderung homo
homini lupus, bertabiat serigala bagi sesamanya.
Kondisi
itu tidak boleh terjadi. Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga
di dunia, harus dihindarkan dari keadaan demikian. Aspek tata harus dibenahi
dan ditegakkan. Segala peraturan perundang-undangan (di semua tingkatan dan
bidang) tidak boleh dibuat secara serampangan, tumpang tindih, dan saling
bertentangan.
Oleh
karena itu, pembuatan perundang-undangan tidak boleh dipengaruhi egoisme
sektoral dan pola pikir terkotak-kotak, tetapi harus berpikiran
holistik-komprehensif dengan dasar keindonesiaan yang utuh.
Begitu
juga dalam implementasinya, semua peraturan perundang-undangan harus
ditegakkan secara konsisten dan konsekuen tanpa pandang bulu.
Semua
orang harus diperlakukan sama di muka hukum (equality before the law).
Pelanggaran hukum sekecil apa pun tidak boleh dibiarkan, harus ditindak
sesuai hukum yang berlaku. Negara tidak boleh kalah terhadap kejahatan, siapa
pun pelakunya.
Perbaiki aparat
Dalam
rangka itu, para pelaksana hukum (polisi, jaksa, hakim, panitera, lembaga
pemasyarakatan, dan lain-lain) harus profesional, transparan, akuntabel,
jujur, adil, dan bersih dalam menjalankan hukum. Tidak boleh terbuka peluang
untuk penyimpangan hukum. Pengawasan dan pengendalian diperketat. Apabila
ditemukan aparat pelaksana hukum yang menyeleweng, aparat tersebut harus
ditindak tegas dengan sanksi yang diperberat.
Untuk mewujudkan
itu, perlu melayakkan gaji mereka agar paling tidak mencukupi kebutuhan
standar minimal selaras dengan kepangkatannya. Negara perlu pula melengkapi
mereka dengan peralatan tugas dan biaya operasional yang memadai.
Jika
gaji mereka sudah dilayakkan, tidak ada ampunan lagi begitu terjadi
penyimpangan. Sanksi tegas harus dikenakan tanpa kompromi. Dengan demikian,
akan tercipta aparat pelaksana hukum yang bersih dan kredibel. Hukum yang
ditegakkan dan kepastian hukum yang terjamin akan melahirkan ketenteraman di
tengah masyarakat.
Situasi
yang tenteram memungkinkan warga masyarakat beraktivitas secara tenang dan
lancar dan selanjutnya meningkat produktivitasnya.
Hal ini
selanjutnya akan meningkatkan produktivitas kerja sehingga penghasilan juga
semakin besar yang akhirnya bermuara pada peningkatan kesejahteraan
(raharja). Marilah kita wujudkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar