Selasa, 12 Februari 2013

Romansa Hegemoni Sebuah Koran


Romansa Hegemoni Sebuah Koran
Tri Marhaeni Pudji Astuti ;   Guru Besar Antropologi
Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes
SUARA MERDEKA, 11 Februari 2013



"Sudah saatnya dibuat semacam "museum kecil" yang merepresentasikan sosok diri koran ini dari waktu ke waktu"

SETIAP pagi --sejak beberapa dekade-- dari masa remaja ketika masih tinggal di Desa Toroh, Grobogan, hingga setelah bekerja dan berumah di Semarang, saya selalu membaca dan mendengar slogan Suara Merdeka sebagai koran yang "Independen - Objektif - Tanpa Prasangka", lalu tagline itu sejak 2000-an bermetamorfosis menjadi "Perekat Komunitas Jawa Tengah".

Dua tagline itu membawa nuansa multikultur, dan benar-benar mampu menghegemoni pikiran masyarakat, yang akhirnya menimbulkan nuansa romantisme sebuah kebutuhan informasi tentang semua fenomena dan gejala sosial.

Suara Merdeka, yang hari ini berusia 63 tahun, merupakan harian yang tiap pagi selalu menyapa penggemarnya. Dengan dua slogan tadi, inilah satu-satunya media yang berhasil menghegemoni pikiran masyarakat tentang "sosok" sebuah koran.
Nuansa romantisme sebuah koran di Jawa Tengah berhasil diciptakan. Tidak sekadar yang terkait dengan ruang dan waktu, akan tetapi juga metamorfosis koran yang mampu menjadi sebuah representasi identitas, yakni Jawa Tengah.

Inilah hegemoni pikiran yang berhasil menciptakan blue-print sebuah media. Cetak biru tentang sebuah koran yang dinamis, selalu berinovasi pada tiap kurun waktu. Suara Merdeka berhasil merepresentasikan identitas Jawa Tengah, markas besarnya. Bahkan ia sudah menjadi ikon tentang koran di Jawa Tengah, karena begitu menyebut "koran" yang segera terbayang adalah Suara Merdeka.

Ingatan saya terkilas balik ke tahun 1980-an, ketika slogan "Independen - Objektif - Tanpa Prasangka" itu begitu menghemoni, karena pada masa remaja, Suara Merdeka-lah yang saya baca. Begitu populernya, slogan itu bahkan bergerak secara bawah sadar menjadi "kosa kata milik publik". Misalnya ketika ada seseorang yang berbicara tentang "independen", maka ia atau temannya secara refleks meneruskan dengan merangkai kata "independen, objektif, tanpa prasangka".

Demikian pula ketika mengucapkan kata "objektif", ia atau lawan bicaranya akan segera menyusuli dengan rangkaian "independen, objektif, tanpa prasangka". Seolah-olah, kata yang di-tagline-kan oleh Suara Merdeka itu telah menjadi "ungkapan sehari-hari milik masyarakat".

Dari sisi tampilan, terbayang wajah koran yang sangat lekat di benak saya -- dan saya yakin benak semua orang Jawa Tengah. Halaman-halaman koran yang konvensional, "patuh pakem", terkesan monoton; namun itulah yang membangkitkan romansa kehausan informasi yang berhasil menghegemoni masyarakat.

Setelah beberapa dekade berlalu, dan koran ini memasuki usia 63 -- usia yang terbilang tidak lagi muda --, justru saya melihat wajah Suara Merdeka yang "makin muda", "sedikit genit", bahkan "liar" .

Nuansa itu membangkitkan romansa kedinamisan koran yang "berani keluar pakem konvensional dan monoton" Saat ini, Suara Merdeka mulai berhasil menghegemoni pembacanya dengan tampilan yang "meriah", "penuh warna", dan "sedikit liar" yang tiap pagi selalu ditunggu pembaca: seperti apa wajahnya hari ini? Dengan slogan yang juga berubah menjadi ikon multikultur "Perekat Komunitas Jawa Tengah", Suara Merdeka menjadi koran yang "dirindukan" oleh pembacanya. 

Inovasi metamorfosis wajah itu menegaskan, walaupun sudah berusia tua, Suara Merdeka tak lekang oleh zaman dan tak lapuk dimakan usia. Tinggal bagaimana sekarang menjaga konsistensinya dalam menyuguhkan informasi yang juga meriah, bermakna, cerdas, dan mempunyai "inner beauty"

Ikon Wisata Koran

Koran ini telah menjadi ikon, yang terbukti dari keberhasilan menghegemoni masyarakat Jawa Tengah dengan romansa tagline dan informasinya, ditopang dengan dinamika tampilan wajah "meriah, sedikit genit, dan liar". Dengan slogan yang multikultur, ia berpeluang besar menjadi sebuah situs budaya membaca di provinsi ini.

Alangkah lebih membahananya andai ia juga berhasil menghemoni masyarakat yang berkunjung ke Jawa Tengah untuk juga selalu singgah ke dapur redaksinya dalam satu paket perjalanan wisata. Sebagai ikon informasi yang cerdas dan mencerdaskan, ia adalah "sesuatu" yang dibutuhkan. Ketika "sesuatu" itu dibutuhkan, maka dengan berbagai cara akan "ditemukan" untuk memenuhi hasrat itu.

Ya, sudah saatnya dibuat semacam "museum kecil" yang merepresentasikan sosok diri koran ini dari waktu ke waktu. Tidak sekadar memajang dokumentasi akan tetapi juga sebuah arena workshop (bengkel kerja) yang ramah, cerdas, dan bisa diakses. Bagaimana para pelancong merasa "bangga" karena berkesempatan berkunjung ke sebuah koran yang telah menjadi bagian dari kultur Jawa Tengah, sehingga mereka akan merasa "kurang lengkap" jika belum berkunjung ke ikon "Perekat Komunitas Jawa Tengah" itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar