Citra
Islam di forum internasional, terutama negara Barat, hingga kini masih memprihatinkan.
Hampir saban hari, deskripsi dan visualisasi tentang Islam meramaikan media
massa, internet, maupun elektronik.
Sayangnya,
Islam dijabarkan sebagai agama terbelakang, kolot, tertutup, anti- kemajuan
dan ilmu pengetahuan. Opini Islam yang peyoratif dan jauh dari spirit
"dialog antarperadaban" itu sedikit banyak mendapatkan pembenaran
dari problem intoleransi, radikalisme, dan terorisme di negara-negara
Muslim dalam dasawarsa terakhir.
Citra
buruk tentang Islam tersebut sejatinya menjadi peluang bagi kaum Muslimin
Indonesia untuk mengenalkan dan menduniakan "Islam Indonesia" ke
dunia internasional. Sayangnya, masih terdapat pandangan yang menyamakan
Islam Indonesia dengan Islam yang berkembang di Timur Tengah atau kawasan
lainnya.
Islam
ramah Islam Indonesia adalah jenis Islam yang lahir dari persenyawaan prinsip-prinsip
universal Islam dengan lokalitas keindonesiaan. Islam Indonesia mengurai
masalah bukan menambah. Islam Indonesia bercirikan religiositas yang ramah
dan rahmah bagi semesta, manusia dan lingkungan sekitar.
Islam Indonesia dapat terlihat pada individu dan kelompok. Pada tataran
jamaah, Islam Indonesia termanifestasi dalam organisasi massa Islam yang
berhasil memanusiakan insan Indonesia.
Organisasi
ini tumbuh dan berkembang dalam rahim kultur Indonesia. Ia tidak silau dan
tidak merasa rendah diri dengan ormas atau paham Islam di negara
tetangganya. Ia mempunyai karya khas yang bisa ditawarkan. Muhammadiyah
(berdiri 18 November 1912) dan Nahdlatul Ulama (berdiri 31 Januari 1926)
dapat disebut sebagai representasi sejati genre Islam Indonesia ini.
Sayang,
ciri ramah dan rahmah jenis Islam ini makin berkurang peminatnya. Islam
Indonesia dianggap tidak murni, terlalu akomodatif, dan "sinkretik".
Karena itulah, propaganda neofundamentalisme, salafisme, integrisme, dan
khilafatisme yang datang dari kawasan lain terasa lebih menggairahkan di
banding ajakan santun, damai, toleran, dan terbuka yang dilantunkan Islam
Indonesia.
Andree
Feillard, peneliti CNRS Prancis, mengatakan, Islam di Indonesia jauh lebih
lembut, toleran, dan terbuka daripada corak Islam di kawasan Timur Tengah
atau Maghribian. Selama 1993-1995, Latifah Ben Mansour (2002), misalnya,
mencatat 60 kasus pembunuhan terhadap jurnalis, profesor, politikus,
seniman yang melawan totalitarianisme atas nama Islam yang dilakukan Islam
integris Front Islamique du Salut
(FIS).
Di
Sudan, Mesir, Irak, dan Arab Saudi, perbedaan pandangan dalam beragama dan
berkeyakinan juga tak kalah memunculkan konflik, pertumpahan darah, persekusi,
pengucilan, dan bahkan peperangan. Kultur padang pasir yang ganas,
kerontang, dan penuh kekerasan, seperti galib terjadi di kawasan Timur
Tengah dan Maghribian tentu saja kontras dengan kultur nusantara yang gemah ripah loh jinawi.
Tumbuhan
kaktus tak mungkin cocok dibudidayakan di ladang gembur dan subur. Jika pun
tumbuh, pasti melalui rekayasa genetika. Dan, setiap rekayasa genetika
pasti menjumbuhkan patologi dan mengundang bahaya tak terperikan.
Di tengah hiruk-pikur arus globalisasi yang turut mendorong fenomena
mondialisasi Islam, masyarakat Muslim Indonesia di luar negeri, baik yang
bekerja maupun belajar, sebenarnya adalah agen yang sangat tepat dalam
menawarkan Islam yang damai dan santun. Selain Muslim yang bekerja atau
mahasiswa, peran diplomat-diplomat indonesia dalam mengampanyekan Islam
Indonesia juga sangat strategis.
Amin
Abdullah, rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, berkali-kali meng usulkan
agar para diplomat Indonesia yang bertugas di luar negeri dibekali
pengetahuan tentang wajah Islam Indonesia yang antikekerasan, humanis, dan
santun. Hal ini mengingat, perwakilan Indonesia di luar negeri adalah
jendela Indonesia yang sangat menentukan dalam membangun citra Indonesia
dan masyarakatnya.
Jika
sekarang ini para diplomat lebih menekankan aspek ekonomi, politik, dan
budaya maka pengenalan terhadap Islam yang santun, damai, dan antikekerasan
perlu digalakkan mengingat Indonesia tidak bisa dilepaskan dari komposisi
penduduknya yang mayoritas Muslim.
Kampanye
Islam khas Indonesia ini adalah alternatif di antara bentuk dan corak Islam
yang datang dari Timur Tengah, Asia Tengah, atau kawasan Maghribian.
Sayang, model Islam yang terakhir inilah yang memenangkan kontestasi Islam
di Barat saat ini. Islam jenis ini berhasil menarik generasi muda yang
tinggal di pusat-pusat peradaban Barat. Mereka adalah generasi yang
tersingkir dari modernitas. Selain karena problem sosial, ekonomi,
kultur, dan politik, sebagaimana diungkap Olivier Roy dalam Islam Mondialise
(2002), mereka adalah orang yang pengetahuan agamanya sangat
minim. Bagi mereka, sambung Roy, le
retour religieux, kembali kepada agama (Islam), adalah manifestasi dari
pembentukan kembali identitas keagamaan.
Begitu
juga dengan para perantau Muslim Indonesia. Untuk menemukan identitas
religiusnya, mereka membanjiri pertemuan-pertemuan agama. Majelis taklim
yang diorganisasi oleh masyarakat Muslim Indonesia, idealnya, adalah wahana
yang tepat untuk menggerakkan kampanye Islam Indonesia yang santun dan
cinta damai. Akan tetapi, pada level faktual, banyak perkumpulan
keagamaan tersebut yang beralih fungsi atau dialihfungsikan sebagai
perjumpaan (point de rencontre) dan
persemaian ideologi Islam yang keras berlabel spirit integrisme, salafi
sme, neofundamentalisme, serta khilafatisme.
Tidak
mengherankan lagi, ketika tak sedikit perantau Muslim Indonesia yang
kembali ke Tanah Air malah aktif memburamkan agama Islam dengan paham Islam
yang "marah" bukan Islam yang ramah. Amrozi cs adalah contoh yang
tepat Muslim rantau yang mengimpor budaya kekerasan dari negara lain begitu
tiba di negeri sendiri. Padahal, jika rasa percaya diri mereka besar,
mereka akan dengan bangga menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa Islam
(Indonesia) itu ramah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar