Sabtu, 23 Februari 2013

Partai Menengah Harus Raih Peluang


Partai Menengah Harus Raih Peluang
James Luhulima Wartawan Kompas
KOMPAS, 23 Februari 2013


Akhir-akhir ini ramai dibicarakan orang bahwa partai-partai politik besar akan kehilangan banyak suara dalam Pemilihan Umum 2014 dan partai-partai menengah memiliki peluang meraih suara-suara itu. Oleh karena suara-suara dari partai besar tidak akan secara otomatis berpindah ke partai-partai menengah, mereka harus meraihnya.

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi munculnya pendapat bahwa partai-partai besar akan ditinggalkan. Salah satunya adalah hasil survei nasional yang diadakan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menyebutkan bahwa elektabilitas Partai Demokrat terus menurun. Disebutkan, elektabilitas Demokrat tinggal 8,3 persen, jauh di belakang Partai Golkar yang mencapai 21,3 persen dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebesar 18,2 persen. Banyaknya kader yang terlibat tindak korupsi dikatakan sebagai alasan drastisnya penurunan elektabilitas Demokrat.

Rendahnya elektabilitas Demokrat itu meresahkan para petingginya. Bagaimana tidak, pada Pemilihan Umum 2009, Demokrat meraih suara terbanyak (20,85 persen), diikuti Golkar (14,45 persen), PDI-P (14,03 persen), dan Partai Keadilan Sejahtera (7,88 persen).

Itu sebabnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, mengambil alih partai dengan solusi delapan langkah untuk menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat. Namun, ada yang meragukan upaya Yudhoyono bisa memberikan hasil seperti yang diinginkan, mengingat ia tidak dapat mencalonkan dirinya lagi.

Survei SMRC itu boleh saja menyebutkan bahwa Partai Golkar memiliki elektabilitas tertinggi di antara ketiga partai besar tersebut, tetapi itu tidak berarti Golkar bukan tanpa masalah. Persoalan lumpur Sidoarjo, yang populer dengan sebutan lumpur Lapindo, yang menaungi Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, bisa menjadi sandungan bagi partai berlambang pohon beringin itu meraih suara dalam Pemilihan Umum 2014.
Lawan-lawan politik terus-menerus menggunakan persoalan lumpur Lapindo untuk meruntuhkan reputasi Partai Golkar, melalui sosok ketua umumnya. Uniknya, serangan kepada Aburizal Bakrie tak hanya dari partai-partai lain, tetapi juga dari dalam partai sendiri.

Jalan yang harus dilalui PDI-P pun tidak sepenuhnya bisa dikatakan mulus. Kiprah PDI-P ke depan sangat ditentukan oleh siapa yang akan dicalonkan partai tersebut sebagai presiden. Sampai saat ini belum jelas siapa yang akan diajukan partai itu sebagai calon presiden. Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dalam beberapa kesempatan memberikan tanda-tanda bahwa ia akan kembali maju sebagai calon presiden dari PDI-P pada Pemilihan Presiden 2014.

Walaupun dalam suatu kesempatan Megawati mengatakan, dua kali kekalahan beruntun yang dialaminya pada Pemilihan Presiden 2004 dan 2009 membuat ia ragu-ragu mengajukan diri sebagai calon presiden untuk ketiga kalinya (2014). ”Kalau saya maju dan kalah lagi untuk ketiga kalinya, bagaimana coba,” ujarnya berseloroh. Meski demikian, Megawati tidak pernah secara tegas mengatakan tidak akan maju lagi pada Pemilihan Presiden 2014.

Suaminya, Taufiq Kiemas, yang juga Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, meminta agar Megawati tidak maju pada 2014 dan menyerahkannya kepada orang muda, yakni putri mereka, Puan Maharani. Namun, Megawati tidak bereaksi atas usulan tersebut.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berada di urutan keempat pada Pemilihan Umum 2009 juga mengalami masalah yang tidak ringan. Presidennya, Luthfi Hasan Ishaaq, ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi di Rumah Tahanan Guntur. Luthfi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden PKS karena oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap terkait rekomendasi kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian.

PKS memang telah memiliki presiden baru, yakni Anis Matta, yang sebelumnya adalah Sekretaris Jenderal PKS. Namun, rasanya diperlukan waktu bagi PKS untuk kembali meraih kepercayaan masyarakat.

Tidak Otomatis

Seperti telah disebutkan di atas, suara-suara dari partai-partai besar tidak akan secara otomatis berpindah ke partai-partai menengah, mereka harus meraihnya. Dalam kaitan itulah, Partai Hati Nurani Rakyat seperti mendapatkan solusi ketika Hary Tanoesoedibjo, yang meninggalkan Partai Nasional Demokrat, menyatakan bergabung. Ketua Umum Partai Hanura Wiranto menyatakan, dalam Pemilihan Umum 2014, Hanura menargetkan perolehan suara dua digit. Dengan kekuatan media di belakang Hary Tanoe, Hanura berharap dapat lebih mudah meraih simpati masyarakat luas.

Hanura dalam Pemilihan Umum 2009 hanya meraih suara 3,77 persen. Sebelum Hary Tanoe bergabung, ada perkiraan bahwa raihan suara Hanura pada Pemilihan Umum 2014 sekitar 3,5 persen, yang merupakan ambang batas untuk lolos parlemen (parliamentary threshold) pada 2014.

Partai Nasional Demokrat sebagai pendatang baru akan diuji kemampuannya dalam meraih suara. Seandainya Hanura berhasil meraih angka dua digit, Partai Nasional Demokrat akan tahu apa artinya kehilangan Hary Tanoe bagi mereka. Sementara Partai Gerakan Indonesia Raya akan didongkrak oleh kepopuleran nama Prabowo Subianto, ketua umumnya. Beberapa survei yang diadakan baru-baru ini memperlihatkan, Prabowo merupakan calon presiden yang paling populer. Namun, tak sedikit orang yang mempunyai catatan negatif terhadap Prabowo.

Akan tetapi, semua ini hanya hitung-hitungan di atas kertas. Dalam kenyataan nanti, keadaan bisa sangat berbeda. Sebab, partai-partai besar, yang dua di antaranya merupakan partai lama, mempunyai pendukung tradisional yang akan muncul apabila diperlukan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar