Makna generik demokrasi adalah kedaulatan
dan kekuasaan ada di tangan rakyat. Bagaimana agar demokrasi bisa berjalan
dengan baik di suatu negara, partai politik, dan institusi-institusi
kenegaraan seperti lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus berperan
maksimal.
Salah satu
indikator dari berjalannya demokrasi adalah dalam proses pemilihan
pemimpin. Usulan agar pemilihan gubernur (pilgub) dikembalikan ke DPRD
kembali mengemuka. Dalam rapat dengan Panitia Kerja RUU Pilkada DPR, Kamis
(14/2/2013), lembaga eksekutif (pemerintah) yang diwakili Direktur Jenderal
Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan menjelaskan
bahwa pemilihan gubernur oleh DPRD merupakan solusi atas berbagai persoalan
dalam pemilihan langsung.
Alasan lain adalah
untuk menghemat anggaran. Jika pilgub bisa dihemat, uangnya bisa
dimanfaatkan untuk mengatasi kemiskinan masyarakat. Suatu alasan yang cukup
mengesankan, mengingat grafik kemiskinan terus menanjak. Pada saat
kesejahteraan lebih banyak di angan-angan, tidak ada janji yang lebih
menarik ketimbang (iming-iming) alokasi dana untuk mengatasi kemiskinan.
Tapi,sebelum
keputusan itu diambil,mari kita cermati kembali secara seksama mengapa
setelah memasuki era reformasi kita lebih memilih pemilihan kepala daerah
(gubernur/bupati/wali kota) secara langsung oleh rakyat? Padahal kita sudah
tahu pasti biaya yang akan dikeluarkan jauh lebih mahal jika dibandingkan
dengan cara sebelumnya, melalui DPRD.
Implementasi Demokrasi
Kita lebih
memilih pilkada– juga pilpres–secara langsung karena kita telah
berketetapan hati memilih sistem demokrasi. Dalam demokrasi, sesuai
substansi yang terkandung di dalamnya, harus ada upaya terus-menerus untuk
melibatkan makin banyak kalangan dalam menetapkan kebijakan- kebijakan politik.
Semakin banyak pihak ikut terlibat dalam pengambilan keputusan, akan
semakin tinggi pula kualitas demokrasinya.
Pemberian
kewenangan pada rakyat untuk memilih secara langsung pemimpinnya adalah
bentuk puncak implementasi demokrasi. Bahwa dalam proses demokratisasi
banyak sekali tantangan yang menghadang seperti biaya yang mahal, korupsi
yang tampak kian banal,dan konflik yang cenderung meningkat adalah hal yang
lumrah terjadi.Semua negara yang tengah berproses menuju kematangan
demokrasi senantiasa menghadapi masalah- masalah seperti ini.
Coba lacak
sejarah Amerika Serikat. Sebelum sampai pada tahap demokrasi yang mapan
seperti sekarang, negeri tempat para imigran itu melaluinya dengan waktu
yang lama dan ongkos yang sangat mahal. Bahkan, perang saudara pun pernah
mereka jalani untuk menempuh jalan demokrasi.
Atau coba kita
simak perjalanan demokratisasi di India. Gejolak politik terus berkecamuk
di Negeri Taj Mahal ini. Yang menjadi korban konflik tak hanya rakyat, tapi
juga para pemimpin seperti Rajiv Gandhi, Benazir Bhutto, dan lain-lain.
Tapi, tantangan itu tak membuat mereka surut memperjuangkan demokrasi.
Memperketat Aturan
Harus
diakui,banyak kritik terhadap proses demokratisasi. Di samping soal biaya
yang membengkak, eskalasi konflik juga cenderung meningkat, fenomena money politics juga merajalela.
Tapi, demi mengatasi masalah-masalah ini, bukan berarti kita harus menempuh
jalan pintas, kembali berpaling ke cara lama.
Mengembalikan
pilgub ke DPRD mungkin pilihan yang paling mudah dan murah. Kalau
pilihannya soal biaya, mengembalikan pilkada kabupaten/kota ke DPRD yang
jumlahnya 497 di seluruh Indonesia pasti jauh lebih murah. Tapi, bukankah
yang murah itu biasanya berkualitas rendah? Jika bermaksud memperbaiki agar
pilgub menghasilkan pemimpin yang lebih baik, meminimalisasi intrik dan money politics.
Cara yang
paling tepat adalah dengan memperketat aturan main, terutama penggunaan
dana berikut pengawasannya. Ketentuan yang menyangkut syarat-syarat calon
juga harus lebih diperketat, celah-celah yang berpotensi memicu terjadinya
konflik diminimalisasi, serta peluang untuk terjadinya money politics ditutup rapat-rapat, misalnya dengan memperberat
sanksi, dan dengan penegakan hukum yang tegas.
Diakui atau
tidak, mengembalikan pemilihan langsung oleh rakyat ke DPRD sama artinya
dengan mengajarkan segenap rakyat untuk menerabas, menempuh jalan pintas,
menukar demokrasi dengan oligarki. Ada tiga kemungkinan mengapa seseorang
menempuh jalan pintas: pertama, karena putus asa; kedua karena pendek akal;
dan ketiga karena miskin imajinasi sehingga gagal mencari jalan alternatif
yang lebih baik dalam mengatasi beragam masalah yang dihadapi.
Ketiga
kemungkinan inilah saya kira yang sekarang tengah menghinggapi siapa pun
yang mengusulkan agal pilgub dikembalikan ke DPRD. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar