Sabtu, 23 Februari 2013

Pengingkaran Pemerintah dan DPR Melalui UU


Pengingkaran Pemerintah dan DPR Melalui UU
Addin Jauharudin Ketua Umum PB PMII 
SINDO, 23 Februari 2013


Perkembangan produk hukum Indonesia saat ini banyak mengalami kemunduran baik dalam proses pembuatan undang-undangnya atau dalam penegakan peraturannya. Realitas ini dapat kita temui dari banyaknya undang-undang yang diajukan judicial review.

Bahkan, pada 2012 saja telah ada 118 undang-undang yang diajukan untuk di-judicial review dan sekitar 29% dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Ini menunjukkan bahwa selama setahun ada 20 undang-undang yang “sengaja” dibuat salah oleh anggota Dewan yang ada di parlemen. Kenyataan ini tidak dapat dimungkiri.

Prof Sri Soemantri mengatakan bahwa hukum diibaratkan rel dan politik diibaratkan lokomotif, tidak jarang terlihat lokomotif itu keluar dari rel yang seharusnya bahkan mengakibatkan korban jiwa. Analogi ini tentunya sangat beralasan melihat implikasi dari inkonstitusionalitas sebuah undang-undang yang dibuat oleh DPR bersama pemerintah. 

Kesalahan–baik karena ketidakprofesionalan atau banyaknya kepentingan asing terhadap substansi perundang- undangan–berakibat pada terabaikannya hak-hak ribuan jiwa masyarakat Indonesia bahkan terhadap kedaulatan suatu bangsa. Salah satu contoh yang belum lama ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi tentang UU Migas yang ditengarai banyak kalangan dapat menghilangkan kedaulatan energi baik secara ekonomi ataupun politik apabila tidak segera dibatalkan.

Perumpamaan di atas dapat sedikit menggambarkan relasi antara politik dan hukum. Keduanya memiliki keterikatan satu sama lain, di mana satu disiplin ilmu tidak memiliki makna apa-apa tanpa melibatkan disiplin hukum yang lain. Dengan kata lain, keduanya harus beriringan untuk menjaga kepentingan nasional. Pada dasarnya ada beberapa faktor munculnya undang-undang yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. 

Pertama, adanya unsur kesengajaan legislatif bersama eksekutif untuk melanggar konstitusi.Kepentingan asing terhadap perundang-undangan yang akan dibuat oleh legislatif dan atau eksekutif melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku di belakangan ini sangatlah dominan kepentingan asing. PB PMII pernah merilis 26 UU yang berbau kepentingan asing dan bernuansa memuat materi yang banyak menguntungkan asing. 

Sebagai perbandingan, dalam sejarah Indonesia,ADB pernah menawarkan USD300 juta dengan syarat Pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang Privatisasi BUMN. Begitu pun Undang-Undang Privatisasi Air yang dipesan oleh Bank Dunia dengan memberikan pinjaman USD400 juta. Jadi, air yang di dalam Undang- Undang Dasar kita dinyatakan dengan tegas dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, itu pun mau diprivatisasi oleh asing, termasuk Undang-Undang Migas. 

Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Lumbung-lumbung kehidupan yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak mau diswastanisasi oleh kepentingan asing. Bahkan, para pembuat kebijakan rela melanggar konstitusi sebagai dasar negara untuk kepentingan individu dan kelompok atau bahkan partai politiknya. 

Kedua, kualitas para pembuat perundang-undangan yang masih di bawah standar. Dari banyaknya UU yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, selain banyak yang menguntungkan asing dan tidak berpihak ke rakyat, juga karena faktor lemahnya pengetahuan para pembuat peraturan.

Hal ini dapat dilihat dari sebagian undang-undang yang unpredictability dan unfairness sehingga banyak investor takut menanamkan investasinya di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa para pembuat undang-undang tidak memiliki profesionalisme dalam membuat peraturan perundang-undangan. Indonesia akan mengalami kemajuan ekonomi apabila diatur dengan peraturan yang memuat asas kepastian dan dijamin keadilannya.

Kondisi saat ini Dewan yang diberikan posisi terhormat tidak ubahnya sebagai dagelan politik yang haus akan kekuasaan dan jabatan semata. Selain dikerjakan oleh anggota Dewan yang tidak punya kompetensi di bidangnya, banyak juga undang-undang yang selesai dengan kompromi politik tanpa melihat kualitas isinya. 

Ketiga, tekanan partai politik. Sudah bukan rahasia umum lagi saat ini partai politik disibukkan dengan usahausaha untuk mencari dukungan di dapilnya.Tak jarang tugas sebagai Dewan Perwakilan Rakyat sudah banyak ditinggalkan. Bahkan, fungsi utama sebagai pembuat undangundang yang dimandatkan untuk membela kepentingan rakyat banyak tersandera oleh kepentingan elite partai politik. 

Pada 2003 hingga 2011 ada sekitar 11% undang-undang yang dibuat kemudian dibatalkan. Pada 2012 saja, sebagai tanda dimulainya kepentingan partai politik, sudah ada 29% undang-undang yang dibatalkan oleh MK. Sejak 2009 hingga 2012 DPR RI masih punya tanggungan menyelesaikan 252 RUU. Tapi, hingga Oktober 2012 baru 62 RUU yang disahkan menjadi UU.

Secara tidak langsung ini menegaskan, selain para anggota Dewan tidak memiliki profesionalisme dalam membuat peraturan perundang-undangan juga karena faktor tekanan kepentingan partai politik yang dominan. Hegemoni partai politik melalui elite-elite partai dalam sistem multipartai seperti ini tampak jelas dalam kesepakatan partai-partai dalam pemberlakuan parliamentary threshold di UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu. salah satu penyebab terjadinya pelanggaran konstitusi semacam itu adalah political threshold.

Undangundang sengaja dibuat atas kesepakatan-kesepakatan politik yang secara langsung tidak sesuai konstitusi. Menurut hemat kami, pembuatan Undang-undang yang tidak kredibel dan inkonstitusional adalah pengkhianatan terhadap UUD 1945 yang dilakukan secara sengaja oleh pembuat kebijakan baik legislatif bersama eksekutif. Langkah pengingkaran terhadap konstitusi dalam membuat undang-undang jauh lebih berbahaya ketimbang terorisme. 

Bagaimana mungkin Indonesia bisa mencapai sebuah kemakmuran dan menjadi welfare state jika undang-undang yang menjadi dasar bekerja dibuat untuk menggadaikan kekayaan dan aset nasional kepada swasta-swasta dengan jalan deregulasi? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar