Perkembangan produk hukum Indonesia saat
ini banyak mengalami kemunduran baik dalam proses pembuatan
undang-undangnya atau dalam penegakan peraturannya. Realitas ini dapat kita
temui dari banyaknya undang-undang yang diajukan judicial review.
Bahkan, pada
2012 saja telah ada 118 undang-undang yang diajukan untuk di-judicial
review dan sekitar 29% dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Ini menunjukkan
bahwa selama setahun ada 20 undang-undang yang “sengaja” dibuat salah oleh
anggota Dewan yang ada di parlemen. Kenyataan ini tidak dapat dimungkiri.
Prof Sri
Soemantri mengatakan bahwa hukum diibaratkan rel dan politik diibaratkan
lokomotif, tidak jarang terlihat lokomotif itu keluar dari rel yang
seharusnya bahkan mengakibatkan korban jiwa. Analogi ini tentunya sangat
beralasan melihat implikasi dari inkonstitusionalitas sebuah undang-undang
yang dibuat oleh DPR bersama pemerintah.
Kesalahan–baik
karena ketidakprofesionalan atau banyaknya kepentingan asing terhadap
substansi perundang- undangan–berakibat pada terabaikannya hak-hak ribuan
jiwa masyarakat Indonesia bahkan terhadap kedaulatan suatu bangsa. Salah
satu contoh yang belum lama ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi tentang
UU Migas yang ditengarai banyak kalangan dapat menghilangkan kedaulatan
energi baik secara ekonomi ataupun politik apabila tidak segera dibatalkan.
Perumpamaan di
atas dapat sedikit menggambarkan relasi antara politik dan hukum. Keduanya
memiliki keterikatan satu sama lain, di mana satu disiplin ilmu tidak
memiliki makna apa-apa tanpa melibatkan disiplin hukum yang lain. Dengan
kata lain, keduanya harus beriringan untuk menjaga kepentingan nasional.
Pada dasarnya ada beberapa faktor munculnya undang-undang yang dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi.
Pertama, adanya
unsur kesengajaan legislatif bersama eksekutif untuk melanggar
konstitusi.Kepentingan asing terhadap perundang-undangan yang akan dibuat
oleh legislatif dan atau eksekutif melalui peraturan perundang-undangan
yang berlaku di belakangan ini sangatlah dominan kepentingan asing. PB PMII
pernah merilis 26 UU yang berbau kepentingan asing dan bernuansa memuat
materi yang banyak menguntungkan asing.
Sebagai
perbandingan, dalam sejarah Indonesia,ADB pernah menawarkan USD300 juta
dengan syarat Pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang Privatisasi BUMN.
Begitu pun Undang-Undang Privatisasi Air yang dipesan oleh Bank Dunia dengan
memberikan pinjaman USD400 juta. Jadi, air yang di dalam Undang- Undang
Dasar kita dinyatakan dengan tegas dikuasai oleh negara untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, itu pun mau diprivatisasi oleh asing,
termasuk Undang-Undang Migas.
Kondisi ini
sungguh memprihatinkan. Lumbung-lumbung kehidupan yang bersentuhan langsung
dengan hajat hidup orang banyak mau diswastanisasi oleh kepentingan asing.
Bahkan, para pembuat kebijakan rela melanggar konstitusi sebagai dasar
negara untuk kepentingan individu dan kelompok atau bahkan partai
politiknya.
Kedua, kualitas
para pembuat perundang-undangan yang masih di bawah standar. Dari banyaknya
UU yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, selain banyak yang
menguntungkan asing dan tidak berpihak ke rakyat, juga karena faktor
lemahnya pengetahuan para pembuat peraturan.
Hal ini dapat
dilihat dari sebagian undang-undang yang unpredictability dan unfairness
sehingga banyak investor takut menanamkan investasinya di Indonesia. Ini
menunjukkan bahwa para pembuat undang-undang tidak memiliki profesionalisme
dalam membuat peraturan perundang-undangan. Indonesia akan mengalami
kemajuan ekonomi apabila diatur dengan peraturan yang memuat asas kepastian
dan dijamin keadilannya.
Kondisi saat
ini Dewan yang diberikan posisi terhormat tidak ubahnya sebagai dagelan
politik yang haus akan kekuasaan dan jabatan semata. Selain dikerjakan oleh
anggota Dewan yang tidak punya kompetensi di bidangnya, banyak juga undang-undang
yang selesai dengan kompromi politik tanpa melihat kualitas isinya.
Ketiga, tekanan
partai politik. Sudah bukan rahasia umum lagi saat ini partai politik
disibukkan dengan usahausaha untuk mencari dukungan di dapilnya.Tak jarang
tugas sebagai Dewan Perwakilan Rakyat sudah banyak ditinggalkan. Bahkan,
fungsi utama sebagai pembuat undangundang yang dimandatkan untuk membela
kepentingan rakyat banyak tersandera oleh kepentingan elite partai politik.
Pada 2003
hingga 2011 ada sekitar 11% undang-undang yang dibuat kemudian dibatalkan.
Pada 2012 saja, sebagai tanda dimulainya kepentingan partai politik, sudah
ada 29% undang-undang yang dibatalkan oleh MK. Sejak 2009 hingga 2012 DPR
RI masih punya tanggungan menyelesaikan 252 RUU. Tapi, hingga Oktober 2012
baru 62 RUU yang disahkan menjadi UU.
Secara tidak
langsung ini menegaskan, selain para anggota Dewan tidak memiliki
profesionalisme dalam membuat peraturan perundang-undangan juga karena
faktor tekanan kepentingan partai politik yang dominan. Hegemoni partai
politik melalui elite-elite partai dalam sistem multipartai seperti ini
tampak jelas dalam kesepakatan partai-partai dalam pemberlakuan parliamentary threshold di UU No 8
Tahun 2012 tentang Pemilu. salah satu penyebab terjadinya pelanggaran
konstitusi semacam itu adalah political
threshold.
Undangundang
sengaja dibuat atas kesepakatan-kesepakatan politik yang secara langsung
tidak sesuai konstitusi. Menurut hemat kami, pembuatan Undang-undang yang
tidak kredibel dan inkonstitusional adalah pengkhianatan terhadap UUD 1945
yang dilakukan secara sengaja oleh pembuat kebijakan baik legislatif
bersama eksekutif. Langkah pengingkaran terhadap konstitusi dalam membuat
undang-undang jauh lebih berbahaya ketimbang terorisme.
Bagaimana
mungkin Indonesia bisa mencapai sebuah kemakmuran dan menjadi welfare state jika undang-undang
yang menjadi dasar bekerja dibuat untuk menggadaikan kekayaan dan aset
nasional kepada swasta-swasta dengan jalan deregulasi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar