Saking jengkelnya terhadap politik dan
politisi, seorang mujadid Islam sekaliber Muhammad Abduh (1849–1905) pernah
mengatakan begini, “Audzu billaahi
minas siyaasati was siyaasiyyien (aku
berlindung kepada Allah dari godaan politik dan para politisi).” Ini
hampir sama dengan doa taawwudz
yang berbunyi, “Audzu billaahi minas
syaithaanir rajiim (aku
berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).”
Pernyataan sang
mujadid memang menyentak, bukan hanya pada saat diucapkan kira-kira 120
tahun yang lalu, tetapi juga menyentak dan relevan sampai sekarang, di
sini, di negara kita ini. Saat ini banyak sekali gugatan masyarakat
terhadap politik dan politisi kita lantaran banyaknya korupsi, kolusi, dan
lemahnya hukum. Ikan-ikan dilaut di curi orang, kayu-kayu di hutan ditebang
dan dijual secara liar, pertambangan dijarah dengan kolusi, uang negara
dikorupsi, hukum tidak bisa ditegakkan.
Masyarakat
sering merasakan bahwa pengorganisasian dan pengaturan negara seperti
mewujud menjadi jaringan korupsi dan kolusi. Semua itu banyak disebabkan
permainan politik, politisi, dan pejabat-pejabat penting. Namun apakah
politik itu harus dijauhi orang-orang yang beragama? Tidak. Malah orang
yang beragama dengan benar dan ingin menegakkan kebenaran haruslah
berpolitik.
Guru Muhammad
Abduh sendiri, Jamaluddinal-Afghany, justru setengah mewajibkan umat Islam
berpolitik. Katanya, agar kebijakan negara bisa memancarkan keagungan
ajaran Islam, orang-orang Islam harus mengisi kursikursi parlemen melalui
kegiatan politik. Substansi pernyataan Al-Afghany tersebut sama belaka
dengan apa yang dikemukakan secara berapiapi oleh Bung Karno pada sidang
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 1 Juni
1945.
Pada pidatonya
itu Bung Karno mengemukakan bahwa kalau orang-orang Islam ingin agar
hukum-hukum di Indonesia bercorak Islam, hendaknya orang-orang Islam
berjuang untuk merebut sebanyak-banyaknya kursi di parlemen sehingga bisa
memengaruhi pembuatan hukum. Begitu pula jika orang-orang Kristen
menginginkan agar hokum-hukum di Indonesia ber-letter Kristen, orang-orang Kristen harus berjuang
sekuat-kuatnya untuk merebut kursi-kursi di parlemen.
Untuk
orang-orang Islam, apa yang dikemukakan Al- Afghany dan Soekarno itu
didasarkan pada kaidah ushul fiqh
yang berbunyi, “Maa laa yatimmul
waajib illaa bihii fa huwa waajib (jika
sesuatu kewajiban itu tidak dapat dilakukan tanpa adanya atau tanpa
melakukan sesuatu yang lain, mengadakan atau melakukan sesuatu yang lain
itu wajib juga adanya).” Jika menegakkan amar makruf nahi munkar atau menegakkan keadilan dan kebenaran
itu tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa berpolitik, berpolitik itu
hukumnya menjadi wajib.
Karena hidup
dalam organisasi negara itu adalah keharusan yang tak bisa dihindari setiap
manusia dan jalannya organisasi negara itu selalu didasarkan pada aturan
main politik dan kontestasi politik, untuk menjadikan nilai-nilai kebenaran
dan keadilan sebagai dasar-dasar kebijakan negara kita harus berpolitik.
Tak mungkinlah
kita memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan tegaknya hukum kalau kita
tidak menggunakan instrumen dan proses politik. Itulah sebabnya, Imam al-Ghozaly
yang dikenal sebagai hujjatul Islam
itu mengatakan bahwa ad-dien
was-sulthaan taw’amaan, memperjuangkan kebaikan agama dan mempunyai
kekuasaan politik adalah dua saudara kembar.
Sungguh musykil
Anda akan bisa memperjuangkan nilai-nilai agama yang luhur jika tidak
mempunyai kekuasaan politik, sebaliknya Anda bisa menjadi sesat dan jahat
dalam berpolitik kalau tidak didasarkan pada nilai-nilai luhur agama. Agama
apa pun yang Anda peluk. Mengapa Abduh begitu alergi dan garang terhadap
politik? Mengapa pula, sebaliknya, Al-Ghazaly dan Al-Afghany mengharuskan
kita berpolitik?
Jawabannya,mungkin,
sederhana. Abduh berbicara tentang das sein atau fakta yang dilihat dan
dialami sendiri pada masa itu, saat politik dikerjakan secara kotor, keji,
penuh fitnah, dan koruptif. Adapun Al- Ghazaly dan Al-Afghany berbicara
tentang das sollen atau keharusan
untuk berpolitik secara bersih guna memperjuangkan nilai-nilai agama yang
luhur.
Tampaknya,saat
ini,kita sedang dihadapkan atau dipaksa melihat permainan politik seperti
yang dirasakan dan dilihat oleh Abduh. Di depan mata kita, di negeri ini,
permainan politik oleh banyak politikus sudah begitu kotornya. Politikus
yang tertangkap melakukan korupsi masih membawa-bawa nama Tuhan dengan
mengatakan tanpa tahu malu, “Ini
ujian dari Allah karena Allah akan membesarkan partai kami.”
Astaghfirullah, ini gila. Alih-alih
mengaku salah dan minta maaf sesuai dengan ajaran agama, malah mencari-cari
alasan pembenar dengan membawa-bawa nama Allah. Meskipun begitu, kita tak
boleh membuang das sollen, kita
tidak boleh mengharamkan berpolitik, sebab yang terjadi sekarang ini adalah
insidental saja.
Kita harus
tetap berpolitik sebagai kenyataan yang tak terhindarkan dan harus
menyehatkan parpol sebagai alat perjuangan yang sah untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan. Kita tidak boleh terbawa oleh hujatan masyarakat
yang marah dan berteriak agar parpol dihapus, melainkan harus bekerja keras
untuk menyehatkan parpol. Parpol adalah keniscayaan di dalam negara
demokrasi.
Di dalam negara
konstitusional yang demokratis lebih baik ada parpol meskipun jelek
daripada tidak ada parpol. Kesadaran kolektif yang harus dibangun adalah “sehatkan parpol”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar