KEMENANGAN Partai Kebebasan dan Keadilan (PKK) tentu mendatangkan
banyak tanggapan. Sesetengah pemerhati menganggap itu adalah buah kesabaran
dari Ikhwanul Muslimin dalam meneroka (merintis) perjuangan politik di
bawah rezim tangan besi Hosni Mubarak. Dengan suara yang meyakinkan untuk
menerajui (memimpin) politik Mesir, PKK justru menghadapi tantangan sengit
dari rakyat sendiri. Di tengah kekhawatiran Barat bahwa Islam politik tidak
ramah bagi demokrasi, bagaimana nasib politik Islam di Indonesia.
Jauh
sebelumnya, di awal 2011, isu hangat tentang Poros Tengah mencuat ke
permukaan. PPP dan PKS mengangkat perekat partai-partai berbasis Islam.
Namun, gagasan itu telah kehilangan rohnya. Apalagi, sang penggagas aliansi
tersebut, Amien Rais, telah lampau masa keemasannya. Bagaimanapun, partai
nasionalis seperti Golkar dan PDIP masih memegang kunci masa depan politik
negeri ini.
Jika demikian,
apakah mimpi kejayaan politik Islam itu adalah khayalan belaka? Mungkin
kita perlu melihat PKS. Struktur dan kultur penggiatnya tidak dapat
menyembunyikan warna kental sebagai gerakan politik eksklusif meskipun
kadang menyebut diri berideologi terbuka. Bali pernah menjadi pilihan untuk
musyawarah. Calon legislatif mereka juga berasal dari kalangan bukan
muslim. Namun, dengan hanya melihat sekilas visi misi partai, kita pun bisa
mengenal dengan mudah bahwa partai tersebut akan menjadikan Islam sebagai
solusi bagi persoalan bangsa. Sebuah pilihan yang tentu mempunyai
konsekuensi dalam ucapan dan tindakan.
Sejenak,
pengalaman saya bergaul dengan para kader di kampus negara tetangga,
Malaysia, meneguhkan partai itu sebagai suara Islam. Para akhwat bergerak
tidak pernah mengenal lelah, mengajak TKW pengajian. Jauh dari urusan
dakwah, mereka pun menyemai hubungan kekeluargaan. Di hari Lebaran, rumah
pengurus menjadi tempat TKW bersilaturahmi. Saya pun melihat betapa
hubungan itu hakikatnya tidak terkait dengan politik kekuasaan semata-mata,
tetapi jauh dari itu ikhtiar untuk memberikan ''rumah'' yang nyaman bagi
pekerja dan pahlawan devisa tersebut. Hal serupa tidak dilakukan oleh
organisasai politik lain, lebih-lebih hari pelaksanaan pemilu masih jauh.
Malangnya,
kasus yang menimpa elite PKS menimbulkan keraguaan. Serta-merta citra
sebagai partai bersih dan peduli terciprat kasus ''daging sapi'' sang amir.
Sebelumnya, anggota parlemennya, Misbakhun, juga terjerat kasus hukum meski
di MA bebas. Kasus lain juga pernah dimuat di majalah Tempo (28 Maret-3 April 2011) bahwa
Anis Matta menyangkal telah menggelapkan uang untuk membeli mobil mewah.
Namun, gambar rumah mewah sang begawan, Hilmi Aminuddin, di Bandung
mengungkap keberadaan pemimpin spiritual partai itu jauh lebih tajam
daripada sekadar hiruk pikuk melalui lisan dan tulisan. Alasan Anis Matta
bahwa fasilitas itu terkait dengan aktivitas adalah pengesahan terhadap
keistimewaan hierarki tertinggi untuk meraup keuntungan materi. Jika
demikian, roh dakwah telah mengalami kemunduran di tubuh partai berlambang
padi dan bulan sabit itu.
Harus diakui,
konstituen PKS tidak hanya kader murni. Namun, jauh besar daripada itu
adalah simpatisan, mayoritas diam. Kenyataan tersebut bisa dilihat dari
kekalahan partai ini di Jakarta pada 2009.
Profesor saya
di UIN Jogjakarta Prof Akhmad Minhaji yang memperoleh gelar PhD di
Universitas Kanada mungkin secara formal tidak menjadi kader PKS. Namun,
keyakinan kepada PKS tidak akan goyah karena boleh dikatakan, dibandingkan
dengan partai-partai Islam yang lain, PKS jauh lebih rapi, tersusun, dan
kompak.
Malangnya,
partai-partai ''Islam'' lain telah kehilangan elan vital (daya hidup, Red).
Partai-partai yang berbasis NU tidak berhasil merintis jalan damai (islah)
sehingga Saifullah Yusuf, wakil gubernur Jatim, menyarankan kebersamaan
secara kultural saja. Bukankah gagasan itu tidak perlu diungkap? Di mana
pun, secara kultural, kaum nahdliyin akan berganding bahu, berdoa, dan
merayakan para kiai mereka untuk terus memimpin umat meraih rahmat. Namun,
di dalam politik, kekompakan mereka buyar. PPP juga mengalami nasib serupa
namun dengan jalan yang berbeda. Kaum tua terlalu kuat mencengkeram partai
berlambang Ka'bah itu.
Justru, di
tengah kenaikan pamor partai Islam di negara Arab dan Afrika, tugas
terberat PKS ialah membersihkan kader yang terlibat dalam politik busuk
agar pamornya tetap mentereng. Bagaimanapun, PAN dan PKB segera
menghilangkan kegamangan mereka untuk menjadi sepenuhnya representasi
organisasi kemasyarakatan berlambang matahari dan bumi itu. Hampir-hampir,
kita tidak bisa mengharapkan PAN dan PKB mewakili suara ''Islam'' politik,
sebagaimana harapan serupa tidak juga mudah diamanahkan kepada PPP.
Akhirnya, pada
waktu yang sama, perlu disadari bahwa politik Islam di negeri ini tidak
bisa disederhanakan kepada partai-partai yang berideologi Islam, tetapi
juga kepada partai-partai nasionalis lain yang diterajui oleh politikus
berlatar belakang santri. Sayangnya, setali tiga uang, masalah yang mendera
Anas Urbaningrum dari PD, misalnya, memperlihatkan kegagalan Islam politik
dalam pengertian luas.
Oleh karena
itu, retorika perwakilan Islam politik semestinya wujud di negeri ini bukan
sekadar apakah yang bersangkutan berasal dari organisasi keislaman, tetapi
lebih jauh apakah nilai-nilai politik Islam seperti sederhana (tawasuth), adil (i'tidal), keseimbangan
(mizan), dan nirkorupsi telah meresap ke dalam hati
politisi dan mewujud dalam tindakan. Jika tidak, Islam politik di negeri
ini pada 2014 akan muflis atau bangkrut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar