Sabtu, 23 Februari 2013

Menyoal Kedewasaan Partai Politik


Menyoal Kedewasaan Partai Politik
Jeffrie Geovanie Founder The Indonesian Institute
SINAR HARAPAN, 22 Februari 2013


Tugas partai politik antara lain mendewasakan rakyat melalui pendidikan politik. Namun pada saat partai politik sendiri belum dewasa, misalnya dalam menyikapi perbedaan, bagaimana dia akan memberikan pendidikan politik pada rakyat?

Ungkapan umum yang sering dikatakan dan kita dengar adalah bahwa partai politik merupakan pilar utama demokrasi. Namun pertanyaan yang banyak mengumandang adalah bagaimana dengan demokrasi di kalangan internal partai-partai politik? Sudah demokratiskah proses pengambilan keputusan politik yang dijalankan? Kenapa pengaruh pemimpin pusat atau para pendiri begitu kuat? Banyak lagi pertanyaan sumir yang ditujukan pada partai politik.

Untuk menjawab semua pertanyaan itu, tampaknya pendidikan demokrasi layak dilakukan terhadap fungsionaris partai-partai politik, sehingga mampu memahami prinsip-prinsip dasar demokrasi. Kian terbukanya pertikaian partai-partai politik di kalangan masyarakat menunjukkan satu kondisi riil, di mana pilar demokrasi itu sendiri masih menghadapi masalah yang serius.

Dalam penyelesaian kasus persengketaan di parlemen, misalnya, terasa sekali bagaimana hak-hak anggota parlemennya sendiri didistorsi. Mereka yang secara konstitusional mewakili konstituen dan daerah pemilihannya, pada kenyataannya harus lebih tunduk kepada pemimpin partai politik masing-masing, entah untuk membentuk “koalisi”,”kaukus”, atau yang semacamnya.

Kurang terbukanya ruang demokratisasi dalam tubuh partai politik berpotensi mengerdilkan individu-individu yang bergabung di dalamnya, dan menyuburkan praktik korupsi, baik dilakukan oleh individu untuk kepentingan individu maupun secara kolektif untuk kepentingan partainya. Banyaknya kader-kader partai politik yang masuk bui karena terjerat korupsi membuktikan buruknya integritas individual (aktivis) partai politik.

Persoalan-persoalan “dapur” itulah yang masih belum terbuka kepada publik. Dengan demikian, ketika partai politik mendapatkan kesempatan emas untuk memainkan peran utama dalam transisi demokrasi, bahkan dengan mengesampingkan peranan dari birokrasi dan – bahkan – militer, terasa sekali partai politik belum begitu siap. Yang banyak kita temukan, partai politik baru pada tahap menjadi alat politik, atau sekadar menjadi perahu bagi mereka yang ingin berlayar menuju pulau jabatan.

Sebagai penentu kehidupan berdemokrasi, selayaknya partai-partai politik mulai menentukan arah perkembangannya. Jangan sampai partai politik hanyalah milik sejumlah keluarga terpandang, produk dari budaya feodal dalam bentuk pewarisan kekuasaan secara turun-temurun.

Realitasnya memang demikian, terutama di tingkat lokal ketika partai-partai politik dikuasai secara turun-temurun oleh segelintir orang. Dalam suasana demikian, bagaimana bisa partai politik bisa terbuka terhadap perbedaan? Bagaimana bisa melakukan perubahan jika dari segi perekrutan saja masih berdasarkan nilai-nilai lama?

Menguji Diri

Partai politik harus menguji dirinya dengan melakukan proses kaderisasi dan perekrutan atas kaum profesional yang bertebaran di luar dirinya. Selama ini, terdapat upaya menepuk dada di kalangan sejumlah fungsionaris, betapa merekalah yang berkeringat dan berkucuran darah dan air mata untuk “membangun” partai politik. Padahal, hakikatnya yang membangun partai politik menjadi besar adalah rakyat, terutama mereka yang telah memilihnya dalam pemilu.

Jangan lupa, pemilih hari ini adalah pemilih yang relatif otonom, mudah berpindah haluan, tetapi bukan berarti tidak konsisten. Karena itu, proses pembaruan dan keterbukaan di tubuh partai politik banyak ditunggu oleh kalangan pemilih, terutama yang sudah melek politik.

Melihat realitas yang masih belum menggembirakan, dalam kenyataannya, partai politik belum mampu menjadi unsur utama dalam transisi demokrasi karena masih ketinggalan dalam melakukan pembaruan organisasi. Upaya pembaruan ini penting, sembari melakukan penyegaran di kalangan pengurus.

Partai politik juga dituntut memberikan pelayanan maksimal ke masyarakat, terutama dengan cara memberikan masukan yang positif dan konstruktif kepada anggota parlemen. Jangan sampai anggota parlemen hanya pajangan belaka, tanpa diberikan pendidikan yang layak sehingga tidak mampu melakukan tugas-tugasnya secara profesional.

Dalam setiap proses pergantian kepemimpinan, partai politik harus lebih ketat lagi dalam melakukan proses perekrutan calon pemimpinnya, termasuk yang akan dicalonkan untuk duduk di lembaga eksekutif dan legislatif. Banyaknya kasus penyelewengan kekuasaan yang terjadi di DPR dan DPRD dalam periode ini menunjukkan betapa partai politik mengalami kegagalan dalam merekrut dan mendidik anggota-anggotanya.

Partai politik ibarat show room bagi berjalan atau tidaknya proses demokratisasi di suatu negara. Karena itu, partai politik harus menunjukkan kedewasaan dalam bertindak, terutama dalam proses pengambilan keputusan. Setiap tindakan harus diorientasikan pada kepentingan rakyat. Bukan kepada upaya mempertahankan status quo, atau sekadar untuk mendukung atau menyokong satu sosok kepemimpinan saja. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar