Tugas partai politik
antara lain mendewasakan rakyat melalui pendidikan politik. Namun pada saat
partai politik sendiri belum dewasa, misalnya dalam menyikapi perbedaan,
bagaimana dia akan memberikan pendidikan politik pada rakyat?
Ungkapan umum yang
sering dikatakan dan kita dengar adalah bahwa partai politik merupakan
pilar utama demokrasi. Namun pertanyaan yang banyak mengumandang adalah
bagaimana dengan demokrasi di kalangan internal partai-partai politik?
Sudah demokratiskah proses pengambilan keputusan politik yang dijalankan?
Kenapa pengaruh pemimpin pusat atau para pendiri begitu kuat? Banyak lagi
pertanyaan sumir yang ditujukan pada partai politik.
Untuk menjawab semua
pertanyaan itu, tampaknya pendidikan demokrasi layak dilakukan terhadap
fungsionaris partai-partai politik, sehingga mampu memahami prinsip-prinsip
dasar demokrasi. Kian terbukanya pertikaian partai-partai politik di
kalangan masyarakat menunjukkan satu kondisi riil, di mana pilar demokrasi
itu sendiri masih menghadapi masalah yang serius.
Dalam penyelesaian kasus
persengketaan di parlemen, misalnya, terasa sekali bagaimana hak-hak
anggota parlemennya sendiri didistorsi. Mereka yang secara konstitusional
mewakili konstituen dan daerah pemilihannya, pada kenyataannya harus lebih
tunduk kepada pemimpin partai politik masing-masing, entah untuk membentuk
“koalisi”,”kaukus”, atau yang semacamnya.
Kurang terbukanya ruang
demokratisasi dalam tubuh partai politik berpotensi mengerdilkan
individu-individu yang bergabung di dalamnya, dan menyuburkan praktik
korupsi, baik dilakukan oleh individu untuk kepentingan individu maupun
secara kolektif untuk kepentingan partainya. Banyaknya kader-kader partai
politik yang masuk bui karena terjerat korupsi membuktikan buruknya
integritas individual (aktivis) partai politik.
Persoalan-persoalan
“dapur” itulah yang masih belum terbuka kepada publik. Dengan demikian,
ketika partai politik mendapatkan kesempatan emas untuk memainkan peran
utama dalam transisi demokrasi, bahkan dengan mengesampingkan peranan dari
birokrasi dan – bahkan – militer, terasa sekali partai politik belum begitu
siap. Yang banyak kita temukan, partai politik baru pada tahap menjadi alat
politik, atau sekadar menjadi perahu bagi mereka yang ingin berlayar menuju
pulau jabatan.
Sebagai penentu
kehidupan berdemokrasi, selayaknya partai-partai politik mulai menentukan
arah perkembangannya. Jangan sampai partai politik hanyalah milik sejumlah
keluarga terpandang, produk dari budaya feodal dalam bentuk pewarisan
kekuasaan secara turun-temurun.
Realitasnya memang
demikian, terutama di tingkat lokal ketika partai-partai politik dikuasai
secara turun-temurun oleh segelintir orang. Dalam suasana demikian,
bagaimana bisa partai politik bisa terbuka terhadap perbedaan? Bagaimana
bisa melakukan perubahan jika dari segi perekrutan saja masih berdasarkan
nilai-nilai lama?
Menguji Diri
Partai politik harus
menguji dirinya dengan melakukan proses kaderisasi dan perekrutan atas kaum
profesional yang bertebaran di luar dirinya. Selama ini, terdapat upaya
menepuk dada di kalangan sejumlah fungsionaris, betapa merekalah yang
berkeringat dan berkucuran darah dan air mata untuk “membangun” partai
politik. Padahal, hakikatnya yang membangun partai politik menjadi besar
adalah rakyat, terutama mereka yang telah memilihnya dalam pemilu.
Jangan lupa, pemilih
hari ini adalah pemilih yang relatif otonom, mudah berpindah haluan, tetapi
bukan berarti tidak konsisten. Karena itu, proses pembaruan dan keterbukaan
di tubuh partai politik banyak ditunggu oleh kalangan pemilih, terutama
yang sudah melek politik.
Melihat realitas yang
masih belum menggembirakan, dalam kenyataannya, partai politik belum mampu
menjadi unsur utama dalam transisi demokrasi karena masih ketinggalan dalam
melakukan pembaruan organisasi. Upaya pembaruan ini penting, sembari
melakukan penyegaran di kalangan pengurus.
Partai politik juga
dituntut memberikan pelayanan maksimal ke masyarakat, terutama dengan cara
memberikan masukan yang positif dan konstruktif kepada anggota parlemen.
Jangan sampai anggota parlemen hanya pajangan belaka, tanpa diberikan
pendidikan yang layak sehingga tidak mampu melakukan tugas-tugasnya secara
profesional.
Dalam setiap proses
pergantian kepemimpinan, partai politik harus lebih ketat lagi dalam
melakukan proses perekrutan calon pemimpinnya, termasuk yang akan
dicalonkan untuk duduk di lembaga eksekutif dan legislatif. Banyaknya kasus
penyelewengan kekuasaan yang terjadi di DPR dan DPRD dalam periode ini
menunjukkan betapa partai politik mengalami kegagalan dalam merekrut dan
mendidik anggota-anggotanya.
Partai politik ibarat show room bagi berjalan atau tidaknya
proses demokratisasi di suatu negara. Karena itu, partai politik harus
menunjukkan kedewasaan dalam bertindak, terutama dalam proses pengambilan
keputusan. Setiap tindakan harus diorientasikan pada kepentingan rakyat.
Bukan kepada upaya mempertahankan status
quo, atau sekadar untuk mendukung atau menyokong satu sosok
kepemimpinan saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar