Tahun Baru Imlek 2564 baru saja dirayakan
oleh etnis Tionghoa, tak terkecuali di kota Solo. Momentum pergantian Tahun
Baru China dalam beberapa tahun terakhir ini di Kota Bengawan dimaknai
sebagai ruang unjuk kebudayaan leluhur. Lewat kesadaran kultural, etnis
Tionghoa menampilkan ragam tradisi gunungan yang sedikit banyak dipengaruhi
kebudayaan lokal.
Imlek Gunungan Grebeg Sudiro merupakan
bagian dari potret harmoni sosial, yang hendak menghapus citra pri dan
nonpri yang mengganggu. Ia ibarat panggung untuk menguatkan ikatan
persaudaraan masyarakat kota yang majemuk. Tak salah bila event itu
dimasukkan dalam kalender wisata.
Jauh hari sebelum tanggal 10 Februari 2013,
warga China di Solo sibuk menyiapkan segala ubarampe, dari kue keranjang
hingga angpau. Ekspresi kebebasan dan kegembiraan tergambar dalam wajah
mereka. Publik tahu bahwa Solo menyimpan sejarah kelam kehidupan etnis
Tionghoa yang beberapa kali menjadi korban konflik.
Terekam sejarah pahit yang tak mudah
dihapus dalam memori kolektif. Konflik yang mencederai relasi sosial lintas
etnis. Pertama; konflik sosial etnis pribumi dan nonpribumi di kampung
batik Laweyan tahun 1911. Akar masalahnya adalah persaingan kepentingan
bisnis antara kongsi (perkumpulan pedagang) Jawa dan China hingga
menyebabkan terbentuknya Sarekat Dagang Islam pada 1905, dirintis oleh H
Samanhudi.
Sumber konflik berkisar pada penyediaan
bahan primer dalam usaha kerajinan batik yang dimonopoli salah satu pihak.
Namun, menjelang pecah kerusuhan, beredar desas-desus yang memanaskan
keadaan. Ketimpangan ekonomi sebagai dampak kebijakan kolonial turut
memanaskan situasi.
Kedua; etnis Tionghoa menjadi korban
kerusuhan tahun 1980. Pada 19 November 1980 di Jalan Oerip Soemohardjo
terjadi serempetan antara sepeda yang dikendarai orang pribumi dan pejalan
kaki dari etnis Tionghoa. Persoalan sepele itu memicu konflik besar yang
mengangkat simbol pri dan nonpri.
Konsep
Lokal
Massa membakar toko-toko milik etnis
Tionghoa. Aksi kekerasan meluas dan menciptakan solidaritas konflik antara
kelompok pribumi dalam wacana in group versus kelompok Tionghoa yang
diposisikan sebagai out group. Semangat anti-China cepat meluas dalam
ukuran jam hingga terjadi letupan kekerasan.
Dari insiden itu, hasil riset Soedarmono
dkk (1999) menyebut masyarakat Solo terjangkit penyakit yang masuk dalam
kategori kranjingan. Kerusuhan seperti wabah penyakit sosial yang endemis
dan patologis meluas ke kawasan pinggiran kota. Selanjutnya, konflik
melebar ke kota-kota lain.
Ketiga; tanggal14-15 Mei 1998 Surakarta
kembali membara. Momentum itu terjadi berbarengan dengan tuntutan turunnya
rezim Orde Baru. Muncul penafsiran dari beberapa pakar bahwa peristiwa 1998
sudah dirancang jauh hari.
Solo menjadi bagian konflik yang inheren
dengan rekayasa turunnya rezim Soeharto, karena paham represif militeristik
sangat dirasakan oleh warga Solo. Hal ini bisa dipahami lantaran sejak
peristiwa G30S Surakarta dipimpin kepala daerah dari militer.
Deretan peristiwa itu membekas di hati para
sahabat Tionghoa. Melalui Imlek, mereka melakukan pemulihan psikologis,
selain hendak menunjukkan mereka bagian dari masyarakat kota yang juga
punya hak seperti etnis pribumi. Sebetulnya ada harmoni sosial yang penting
dihadirkan sebagai bukti kemerekatan hubungan dua etnis itu, yaitu konsep
lokal: ampyang.
Ampyang adalah makanan ringan terbuat dari
gula jawa dan kacang china. Ampyang merupakan simbolisasi dari perkawinan
campur antara etnis Tiong-hoa dan Jawa pada level akar rumput. Perkawinan
adalah perekat ampuh pembauran untuk menghapus citra pri dan nonpri, serta
menjadikan orang Tionghoa beridentitas Jawa.
Perayaan Imlek Gunungan Grebeg Sudiro dan
ampyang adalah alat jitu untuk merajut harmoni sosial di Surakarta, mungkin
juga di kota-kota lain di Nusantara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar