Selepas tumbangnya rezim Orde
Baru, umat Islam tampak kehilangan musuh bersama. Tidak ada lagi rezim
Leviathan yang mengisap dan mengukung demokrasi, seolah menandakan
berakhirnya segala persoalan pelik. Namun, apakah memang demikian
adanya? Apakah memang musuh kehidupan sudah tidak ada lagi? Ini bukan upaya
eskapisme untuk sekadar mencari musuh baru demi menegakkan eksistensi,
layaknya negara adidaya yang terus membutuhkan musuh untuk dapat tegak
dalam percaturan dunia global. Ini bukan pula sebuah upaya halusinatif yang
tidak berdasarkan kenyataan.
Lebih dari itu, ini adalah
sebuah bagian dari perjuangan suci untuk menegakkan kembali nilai-nilai
moral dan sistem kehidupan yang sudah makin rusak secara fundamental. Sehingga,
layak untuk dikatakan bahwa peperangan bagi tegaknya sistem kemanusiaan
belum selesai.
Dalam perkembangan politik
hingga 14 tahun reformasi, ada sebuah cacat besar yang terus terjadi. Cacat
besar yang sejatinya sudah amat layak dijadikan sebagai musuh bersama, tapi
cenderung dianggap sebagai sebuah kewajaran. Hal ini terkait dengan
kenyataan oligarki politik yang terus membesar.
Oligarki politik telah
menumpulkan rasa empati dan menggerus sensitivitas elite politik dalam
melihat realita bangsanya. Saat ini, di tengah kemiskinan yang tak kunjung
padam, fenomena bagi-bagi uang hingga triliunan rupiah malah jadi semacam
kebiasaan. Fenomena banyaknya politikus yang tertangkap dalam kasus korupsi
baru-baru ini, terlepas dia pemain baru atau lama, adalah puncak gunung es
dari oligarki politik dan matinya nurani.
Persoalan yang ditimbulkan demikian kompleks, mulai dari sarana dan prasarana
kehidupan yang tidak memadai, sulitnya mendapatkan kebutuhan dasar,
rendahnya kualitas hidup dan sumber daya manusia Indonesia, hingga semakin
menipisnya sumber daya alam. Fenomena oligarkilah yang menyebabkan ide
besar otonomi daerah tidak dapat menyelesaikan persoalan dengan memuaskan
dan komprehensif.
Lebih dari itu, oligarki
politik juga menyebabkan tergadainya rasa kebangsaan. Sudah menjadi rahasia
umum bagaimana elite politik yang bermental oligarkis rela menetapkan kebijakan
yang tidak nasionalistis dan bervisi ke depan. Kesemuanya dilandaskan pada
sebuah kepentingan pragmatis-eksklusif jangka pendek dan menafikan
keberadaan masyarakat banyak.
Kerusakan bangsa akibat
oligarki sudah sampai pada level yang mematikan dan bahkan layak untuk
dikatakan sebagai sebuah penindasan gaya baru. Tapi, tampaknya kita masih
dininabobokan bahwa segalanya segera berakhir.
Umat Islam memiliki saham besar terhadap negara ini dan juga era
reformasi.
Sebagai salah satu pemilik saham utama, tidak bijak jika umat membiarkan
begitu saja arah perkembangan reformasi dan bangsa menuju titik kehancuran.
Dalam pandangan Hasan Hanafi
sikap kritis terhadap segala ketidakberesan itu adalah esensi dari kalimat
tauhid. Hanafi menafsirkan bahwa pengakuan tentang keesaan Allah harus
berarti kesediaan untuk menumbangkan bentuk-bentuk penindasan di dunia ini
(dalam Kazuo Shimogaki, 1988).
Dalam konteks kesaksian aktif
itu, umat Islam harus berani mengatakan tidak bagi setiap politikus dan
partai politik, termasuk partai politik Islam yang tidak berkomitmen pada
nilai-nilai moral keadilan, kejujuran, dan ke manusiaan. Sikap kritis itu
tidak hanya dengan menjadi golput dalam pemilu atau menjadi silent majority
yang bersikap menunggu (wait and see).
Karena, sifat-sifat pasif model itu dalam konteks politik adalah "selemah-lemahnya
iman".
Umat Islam harus proaktif dalam
mengembangkan wacana sekaligus aksi-aksi konkret dalam upaya menumbangkan
oligarksi sebagai biang penindasan anak bangsa. Penyebaran kesadaran akan
bahaya oligarki politik, sekaligus pencerahan kepada seluruh masyarakat dan
elite politik tentang bagaimana model politik adiluhung yang harus dilakoni
harus terus dilakukan.
Banyak momentum dan media yang
dapat digunakan untuk terus menyampaikan pesan itu, mulai dari acara formal
kenegaraan hingga pengajian di level kampung. Sementara, dalam bentuk
konkret umat dapat memanfaatkan dan bekerja sama dengan berbagai pihak dan
jaringan yang berkomitmen dalam upaya menghancurkan oligarki.
Umat Islam harus menjadi motor
bagi penghancuran sarang-sarang oligarki yang daya rusaknya telah lebih hebat
ketimbang narkoba atau miras. Demonstrasi umat sepatutnya tidak saja
diarahkan bagi pembelaan terhadap tokoh agama saja, tapi atas nama umat
dapat ditujukan kepada tokoh ataupun instansi yang dianggap korup dan biang
kerok hadirnya oligarki.
Lebih dari itu, umat Islam
melalui elemen-elemen yang berkompeten yang dimilikinya harus terus dapat
mengawal proses pembenahan sistemis di berbagai bidang. Tujuannya, agar
sistem yang nantinya terbangun itu tidak saja dapat melayani seluruh anak
bangsa dengan baik, tapi juga dapat bersih dari setiap peluang untuk memunculkan praktik oligarki politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar