Rabu, 13 Februari 2013

Impian Sekolah Berkualitas


Impian Sekolah Berkualitas
Hendra Sugiantoro ;   Pendidik & Pegiat Transform Institute, Tinggal di Yogyakarta
SUARA KARYA, 12 Februari 2013


Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) yang telah menyedot anggaran triliunan rupiah sejak digulirkan pada tahun ajaran 2006/ 2007 kini tinggal kenangan. Yang tersisa dari kontroversi RSBI adalah tidak surutnya impian untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah.
Kin
i, sampai berakhir tahun ajaran 2012/2013, sebagaimana ditegaskan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh, terjadi masa transisi pada sekolah berlabel RSBI. Langkah tersebut sebagai respon terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menilai Pasal 50 Ayat (3) UU Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003 sebagai payung hukum penyelenggaraan RSBI tidak sesuai konstitusi.

Masa transisi diperlukan sebab sekolah RSBI sudah memiliki anggaran dan rencana kerja selama satu tahun anggaran. Selain itu, sekolah RSBI juga sudah menampung sumbangan dari wali murid dan orangtua siswa. Maka, kata Mohammad Nuh, rencana kerja dan anggaran RSBI tahun ajaran ini harus dijalankan terlebih dahulu. Sesuai dengan putusan MK, Mendikbud melarang pungutan sumbangan baru di sekolah eks RSBI. Sekolah eks RSBI juga diwajibkan untuk melepaskan label dan atribut RSBI (www.jurnas.com, 22 Januari 2013).

Bagaimana pun, kita tentu perlu mengapresiasi setiap ikhtiar pemerintah (cq Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan/Kemdikbud) meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini. Namun, kita tidak mungkin menutup mata terhadap fakta bahwa sebagian masyarakat menilai kebijakan RSBI bertentangan dengan prinsip keadilan dan persamaan pendidikan. Penolakan terhadap sekolah dengan label RSBI hendaknya dimaknai pemerintah sebagai bentuk harapan masyarakat di negeri ini untuk menjadikan institusi sekolah sebagai wahana meniti masa depan yang lebih baik. Bagaimana pun juga, sekolah tetap diharapkan untuk menciptakan perubahan sosial.

Dengan jutaan anak bangsa yang memiliki potensi di negeri ini, pemerintah memang menghadapi tantangan besar agar seluruh anak bangsa bisa berkembang dan mengaktualisasikan potensi dirinya. Pemerintah masih berikhtiar sepenuh daya untuk melunasi janji kemerdekaan, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Sekolah tetap dihayati pemerintah sebagai wahana memajukan anak-anak bangsa agar mencapai kehidupan yang lebih baik. Tetapi, persepsi antara pemerintah dan para pihak yang berkepentingan terhadap pendidikan nasional kerapkali berlainan.

Prinsip bahwa setiap warga negara harus memperoleh kesempatan belajar yang sama tentu saja telah dimengerti oleh pemerintah. Hanya saja, sebisa mungkin soal kualitas sekolah selayaknya tak ada diskriminasi. Apalagi dengan kebijakan ujian nasional (UN), amat tidak masuk akal apabila siswa-siswa yang berada di sekolah yang kualitasnya tidak sama harus menempuh UN yang sama. Persamaan kesempatan belajar yang menjadi prasyarat akuntabilitas pendidikan, dijelaskan Doni Koesoema (2007), adalah memastikan semua siswa dapat hadir di sekolah dan melaksanakan kegiatan belajar.

Di sekolah, siswa mendapatkan metode pengajaran yang berkualitas dengan materi yang terorganisasi baik, logis, dan koheren, yang didukung kehadiran guru yang cakap, kompeten, dan profesional, disertai fasilitas sekolah yang aman dan nyaman untuk belajar, kebijakan sekolah yang nondiskriminatif, serta pemberian materi pelajaran yang selaras standar isi minimal kurikulum sesuai yang ditetapkan.

Untuk meningkatkan kualitas sekolah, daya dukung anggaran tidak mungkin diabaikan. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa tingkat korupsi terbesar pada tahun 2012 lalu terjadi di dunia pendidikan perlu dijadikan evaluasi Kemdikbud. Naiknya anggaran pendidikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan dana bantuan operasional sekolah (BOS) disinyalir sebagai pemicu kasus korupsi. Upaya peningkatan kualitas sekolah tentu memerlukan manajemen anggaran secara akuntabel dan transparan.

Dalam meningkatkan kualitas sekolah, Kemdikbud memang diharapkan dapat mengimplementasikan standar pendidikan nasional di setiap sekolah. Standar nasional itu meliputi standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar kompetensi lulusan, standar sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Namun, yang perlu digarisbawahi, standarisasi tetap perlu memperhatikan potensi dan kekhasan masing-masing daerah di negeri ini. Proses dan isi penyelenggaraan pendidikan sekolah di daerah dengan potensi kelautan, misalnya, tidak perlu disamaratakan dengan daerah-daerah agraris. Begitu pula potensi dan kekhasan budaya adiluhung masing-masing daerah perlu diperhatikan. Muatan lokal pada dasarnya bertujuan untuk mengakomodasi kekhasan masing-masing daerah di Indonesia, namun harus diakui pelaksanaannya belum berjalan secara baik.

Jadi, proses pendidikan sekolah perlu memasukkan potensi dan kekhasan masing-masing daerah, sehingga mampu membekali kemampuan siswa-siswanya untuk membangun dan memajukan daerahnya. Sejatinya kemajuan daerah yang digerakkan oleh putra dan putri daerahnya akan turut menopang kemajuan bangsa dan negara ini. 

Contoh menarik barangkali bisa melihat Australia. Menurut Ki Supriyoko (2010), kurikulum sekolah di Australia bisa berbeda apabila provinsi atau teritorinya berbeda. Billanook School dan Trinity School yang dikenal sebagai sekolah berkualitas di Australia memiliki perbedaan dalam ukuran kualitasnya.

Tentu, bicara peningkatan kualitas sekolah, kebijakan yang tepat dari Kemdikbud amat sangat dinantikan. Hal-hal yang beraroma diskiriminasi dan komersialisasi, sebagaimana pengalaman selama ini, cenderung sensitif dan disikapi negatif oleh masyarakat. Peningkatan kualitas pendidikan di sekolah masih menjadi pekerjaan tak mudah. Namun, optimisme harus terus tercipta untuk melunasi janji kemerdekaan, mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar