Rabu, 13 Februari 2013

Mengurai Masalah Perdagangan Anak


Mengurai Masalah Perdagangan Anak
Giwo Rubianto Wiyogo ;   Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia 2004-2007
SUARA KARYA, 12 Februari 2013


Beberapa hari terakhir, kita dihebohkan oleh berita yang cukup mengejutkan sekaligus memilukan di media massa. Betapa tidak, tujuh perempuan dibekuk polisi Jakarta Barat karena hendak menjual bayi-bayi ke luar negeri. Ironisnya, bayi-bayi tersebut didapatkan dari keluarga-keluarga yang tidak mampu. Mengapa hal ini terjadi?

Memang, dewasa ini trafficking anak merupakan isu yang paling aktual dan fundamental, terjadi bukan hanya di Indonesia melainkan juga di seluruh dunia. Berbagai kasus perdagangan anak terjadi secara sistemik.

Dari tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan anak dari seseorang biasanya dilakukan dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, hingga penjeratan utang. Melalui cara-cara ilegal macam ini kemudian diperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan anak tereksploitasi. Yang jelas, maraknya perdagangan anak berawal dari masalah ekonomi, sosial, politik dan budaya.

Sebenarnya Deklarasi Umum HAM PBB 1948 tidak secara tegas berkaitan dengan perdagangan orang, khususnya anak. Tetapi, deklarasi ini menegaskan bahwa setiap individu mempunyai hak bebas, yang secara mendasar terbebas dari trafficking. Konvensi Hak Anak 1989 secara tegas juga mengatur hak anak yang berbeda dengan orang dewasa. Pada pasal 34 dan 35 konvensi ini berkaitan langsung dengan penentangan terhadap eksploitasi seksual, perlakuan salah secara seksual, dan perdagangan anak. KILO 182 tentang Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terpuruk Anak menegaskan bahwa penggunaan anak dalam prostitusi dan pornografi dianggap sebagai bentuk pekerjaan terpuruk anak. Konvensi ini sangat berkait erat dengan pekerja anak, meski tidak termasuk perdagangan anak. Indonesia pun telah meratifikasi konvensi ini dengan UU No 1 Tahun 2000.

Protokol untuk Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan Manusia terutama Anak sebagai pelengkap dari Konvensi PBB untuk Melawan Kejahatan Terorganisir Antar-negara menegaskan definisi perdagangan manusia. Yakni, pengerahan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang dengan menggunakan berbagai ancaman atau paksaan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari orang yang memiliki kendali atas orang lain untuk tujuan eksploitasi. Protokol ini menyebutkan bahwa anak berarti setiap orang yang usianya di bawah 18 tahun.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pun melarang perdagangan anak. Sementara UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang memberikan sanksi tegas terhadap pelaku tindak pidana perdagangan anak. Sesuai Pasal 17 UU ini, misalnya, ancaman tindak pidana perdagangan anak, hukumannya ditambah sepertiga, yaitu dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dengan denda paling sedikit Rp 160 juta - Rp 800 juta. Tetapi, sampai sekarang penegakan hukum kasus ini kurang tegas. Banyak sekali pelaku kasus perdagangan anak tidak mendapatkan sanksi hukuman berat di pengadilan.

Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Anak melalui Keppres No. 88 Tahun 2002 lahir karena didorong oleh keprihatinan yang mendalam terhadap berbagai kasus perdagangan anak. Pasalnya, Indonesia termasuk salah satu negara yang dikategorikan memiliki banyak korban perdagangan anak. Pemerintahannya sendiri dinilai belum sepenuhnya menerapkan standar minimum serta belum melakukan usaha-usaha optimal dalam mencegah dan menanggulangi perdagangan anak.

Kemiskinan

Penelitian ILO-IPEC di Jakarta, Jateng, DIY, Jatim dan Jabar, baru-baru ini memperkuat bahwa trafficking anak di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks akibat faktor ekonomi dan sosial budaya. Kualitas hidup miskin di daerah pedesaan dan desakan kuat untuk bergaya hidup materialistik membuat anak dan orangtua rentan dieksplotasi oleh traffickers.

Di samping, sikap diskriminatif terhadap anak perempuan, seperti kawin muda, nilai keperawanan, pandangan anak gadis tidak perlu berpendidikan tinggi, menjadi kunci faktor pendorong. Anak-anak yang ditrafficking bekerja dengan jam kerja relatif panjang dan rawan kekerasan fisik, mental, dan seksual. Mereka tidak mempunyai dukungan atau perlindungan minimal dari pihak luar di tengah ancaman infeksi seksual, perdagangan alkohol dan obat-obatan terlarang.

Sebagai solusi mencegah praktik perdagangan anak maka penegakan hukum terhadap pelakunya harus tegas. Dalam, hal ini, sinergi antara aparat penegak hukum dan masyarakat perlu diperkuat dengan kampanye secara masif melalui media dan potensi lokal untuk mencegah masalah perdagangan anak.

Kualitas pendidikan dari tingkat SD hingga SMA harus ditingkatkan dengan memperluas angka partisipasi anak laki-laki dan perempuan dengan mendukung keberlanjutan pendidikan anak perempuan setelah lulus SD. Termasuk dengan menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi kenaikan penghasilan, kewirausahaan dan akses kredit keuangan untuk membuka peluang usaha sendiri. Di lain pihak, sikap dan pola fikir keluarga dan masyarakat terhadap trafficking anak perlu diubah. Intinya adalah mencegah anak-anak perempuan dilacurkan dengan mengupayakan peningkatan partisipasi pendidikan anak-anak, baik formal maupun non formal. Di samping, memberikan peluang kerja, dan menyadarkan masyarakat mencegah perdagangan anak untuk pelacuran. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar