Kamis, 21 Februari 2013

Bibit Unggul Lokal Pemimpin


Bibit Unggul Lokal Pemimpin
Umbu TW Pariangu Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang
JAWA POS, 21 Februari 2013


BARU-BARU ini Kelompok Kajian Pembangunan Sosial Politik Indonesia (KKPSPI) merilis hasil survei tentang preferensi politik mahasiswa mengenai tokoh militer menjelang pilpres. Mantan Pangdam Jaya Letjen TNI (pur) Sutiyoso menjadi capres paling populer dari kalangan militer dengan total 112.280 (80,2), Marsekal TNI (pur) Djoko Suyanto dengan total 107.100 (76,5), dan Jenderal TNI (pur) Wiranto dengan total 103.320 (73,8). Sedangkan, Letjen TNI (pur) Prabowo Subianto yang selalu merajai berbagai survei capres sebelumnya hanya berada di urutan kelima dengan skor 65,8 di bawah Jenderal TNI (pur) Endriartono Sutarto yang menempati peringkat keempat dengan skor 67,1 (JPNN, 13/2). 

Meski dilakukan terbatas di kalangan intelektual mahasiswa di tujuh kota besar (Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan), itu menggambarkan masih terjaganya daya kritis kaum intelektual terhadap konfigurasi calon presiden. Terganjalnya elektabilitas Prabowo Subianto dalam survei itu, misalnya, tidak terlepas dari kasus pelanggaran HAM-nya semasa Orde Baru. 

Selain itu, survei KKSPI merupakan test the water's: mengukur tingkat reseptivitas publik terhadap calon-calon pemimpin dari latar belakang militer dengan asumsi semakin tinggi keragaman dan preferensi eleksionalitas pemilih semakin terbuka jalan bagi proses pendewasaan demokrasi. Kedewasaan demokrasi ditentukan kepemilikan rasionalitas terhadap apa yang menjadi opsi politiknya.

Akan tetapi, kedewasaan politik warga tidak bisa dipisahkan oleh kecenderungan pengalaman sosial dan seberapa besar ekspektasi publik terhadap model kepemimpinan yang merepresentasikan basis keinginan politik terbesar (John Gardner dalam On Leadership, 1990). Itu sebabnya harapan menemukan sosok-sosok pemimpin pro perubahan dan merakyat di Pilpres 2014 harus menjadi agenda konkret-visioner lembaga partai politik.

Ideologi Jokowi 

Organ-organ politik harus ''turun gunung'' menemukan ''pulau-pulau integritas'' kepemimpinan yang mampu mengubah atmosfer kepemimpinan klasik: miskin inovasi dan kedekatan dengan rakyat, tidak memiliki jiwa pelayan dan kurang memiliki spirit solider dan kerja keras, menjadi model kepemimpinan transformatif-populis yang mendorong perubahan dari aspek berbasis potensi kerakyatan, bukan dari aspek ke-kuat-an sang pemimpin.

Model kepemimpinan Joko Widodo (gubernur DKI Jakarta), misalnya, bisa menjadi trend setter kepemimpinan transformatif kontekstual yang bersumber dari inti rahim kerakyatan. Gesture Jokowi yang didasari ''politik tubuh'' rakyat kebanyakan -tanpa polesan- dan kekuatan komunikasi empatiknya untuk membentuk magnet optimisme rakyat, disertai kemampuan atraktif mengeksekusi kebijakan-kebijakan populis wong alit, merupakan prominensi utama kepemimpinannya.

Derap langkah blusukan-nya ke berbagai sudut kota dan dusun ibarat angin basah yang menyapu musim kering sejarah kepemimpinan nasional yang sedang kerontang dirundung politik arogansi dari ''belakang meja'', pementingan diri, transaksional, dan korupsi. Peraih Bung Hatta Anti-Corruption Award 2010 itu telah menjadi ideologi baru bagi bernaungnya cita-cita rakyat yang humanis dan kerinduan akan masa depan yang lebih bermartabat. 

Tak heran jika hasil survei tim Pusat Data Bersatu (PDB) menempatkan wali kota terbaik dunia di posisi ketiga itu sebagai capres dengan tingkat elektabilitas tertinggi, (21,2 persen), mengalahkan Prabowo Subianto di urutan kedua (17,1 persen), Megawati di urutan ketiga (11,5 persen), disusul Rhoma Irama (10,4 persen), dan Aburizal Bakrie di urutan kelima (9,7 persen). Itu semakin mempertegas Jokowi sebagai kiblat megatruh kepolitikan para politikus yang tengah bersaing di sejumlah pilkada.

Blusukan Mencari Pemimpin 

Sebenarnya Indonesia tidak kurang pemimpin yang bersumber dari kepemimpinan lokal. Bupati Gorontalo David Bobihoe Akib, misalnya, terkenal karena konsep biaya kesehatan murah dengan membebaskan layanan dasar kesehatan bagi seluruh warga, termasuk pemberian santunan duka bagi lansia di atas 60 tahun. Di Nias Selatan (Nisel), ada Bupati Idealisman Dachi yang membebaskan biaya SPP dari jenjang SD sampai perguruan tinggi, termasuk membeasiswakan putra putri terbaik Nisel pada sekolah kedokteran, pertanian, teknik sipil, dan lainnya. 

Atau, Bupati Ogan Komering Ulu (OKU) Timur Herman Deru yang sukses mendongkrak OKU Timur dari semula daerah miskin menjadi daerah yang tingkat kemiskinannya terendah di seluruh Indonesia dengan bermodalkan APBD sekitar Rp 12 miliar. Dia pun menjadi bupati peraih suara terbanyak dalam sejarah pilkada di Indonesia, yaitu 94,56 persen suara, melampaui perolehan Jokowi ketika pemilihan wali kota periode kedua. Mereka itu talenta terpendam yang selama ini tertepikan oleh deru mesin ''politik industrial'' yang abai kepada rekam jejak keberhasilan terukur serta talenta kepemimpinan yang menerobosi lingkaran setan pencitraan dan politik uang. 

Partai politik sebagai alat pengorganisasian kepentingan publik perlu melakukan blusukan politik: mulai mengidentifikasi serta mengakomodasi pemimpin-pemimpin lokal yang ada di daerah-daerah untuk digodok sebagai calon presiden. Itu harus menjadi proyek demokrasi yang melampaui sekadar kepentingan politik demi memperbanyak alternatif sumber kepemimpinan, sekaligus mempercepat gerak pembangunan (demokrasi). 

Bahkan, menurut John Gardner, untuk mempercepat pengembangan demokrasi diperlukan satu persen dari semua warga negara dewasa sebagai pemimpin di semua lini kehidupan. Andaikan jumlah pemilih pada Pemilu 2014 nanti 175 juta jiwa, diperlukan 1,75 juta orang pemimpin yang kritis dan bertanggung jawab bagi kemajuan masa depan bangsa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar