Kamis, 21 Februari 2013

Pilkada Jawa Barat di Tengah Krisis Ekologi


Pilkada Jawa Barat di Tengah Krisis Ekologi
Firdaus Cahyadi Knowledge Manager
for Sustainable Development, OneWorld-Indonesia
KORAN TEMPO, 21 Februari 2013


Warga Jawa Barat perlu kritis terhadap rekam jejak calon gubernurnya. Pasangan calon yang terbukti memiliki relasi dengan para perusak lingkungan di Jawa Barat sebaiknya tidak dipilih, begitu pula calon gubernur yang mendapatkan dana dari perusahan-perusahaan perusak lingkungan.
Awal Februari (12 Februari) lalu, warga perumahan elite Tamansari Persada, Bogor, Jawa Barat, resah. Air setinggi pinggang orang dewasa (1 meter) menggenangi jalan di perumahan tersebut. Anak-anak yang baru pulang sekolah tidak bisa kembali ke rumah mereka. Perahu karet pun dikerahkan untuk mengantar anak-anak, ibu-ibu, dan orang tua pulang ke rumah masing-masing.
Bukan kali ini saja perumahan tersebut terendam banjir. Hampir setiap kali hujan turun dengan waktu lebih dari dua jam, kawasan perumahan itu terendam. Mengapa kawasan perumahan elite di Bogor itu selalu terendam banjir setiap kali turun hujan dengan jangka waktu dua jam saja?
Sistem drainase buruk yang dibangun oleh pengembang perumahan Tamansari Persada tersebut menjadi salah satu penyebabnya. Namun, ada penyebab selain dari sistem drainase yang buruk itu. Sebelum dibangun sebagai lokasi perumahan, tanah di kawasan itu adalah daerah resapan air yang sengaja diuruk (ditimbun) dan dijadikan kawasan perumahan. Meskipun sudah dibangun tanggul, tetap saja hal itu tidak bisa mengatasi luberan air di kawasan tersebut.
Banjir bukan hanya terjadi di kawasan perumahan elite Tamansari Persada Bogor. Perkampungan penduduk di sekitar kawasan perumahan elite itu juga ikut terendam, seperti di Kelurahan Mekarwangi, Bogor. Banjir di kawasan perumahan Tamansari Persada dan perkampungan penduduk Kelurahan Mekarwangi bertambah parah dari tahun ke tahun. Penyebabnya adalah tak terkendalinya pembangunan di kawasan yang secara topografi lebih tinggi dari kedua kawasan itu. Pembangunan kawasan komersial baru dan pusat belanja baru membuat air hujan tidak dapat meresap di dalam tanah dan menjadi air larian yang masuk ke sistem drainase.
Mengapa muncul izin untuk mengalihfungsikan daerah resapan air menjadi kawasan perumahan elite Tamansari Persada? Mengapa pula pembangunan di kawasan sekitar perumahan elite tersebut makin tak terkendali? Apa yang terjadi di kawasan perumahan elite Tamansari Persada, Bogor, itu hanyalah contoh diabaikannya persoalan lingkungan hidup dalam pembangunan di Jawa Barat. Pada masa mendatang, tekanan terhadap lingkungan hidup di kawasan Jawa Barat akan semakin besar. Sebuah info properti yang dimuat di media massa yang terbit di Jakarta mengungkapkan bahwa saat ini Pemerintah Provinsi Jawa Barat tengah melecut pembangunan Kota Bogor, Depok, dan Bekasi menjadi kawasan metropolitan baru untuk mendampingi Jakarta. Tak mengherankan bila kemudian pusat-pusat belanja (mal) baru dibangun di ketiga kawasan itu.
Menurut survei Perkembangan Properti Komersial Bank Indonesia, pada akhir 2012, di kawasan Jakarta, Bekasi, Depok, dan Bogor, luas pasokan mal mencapai 1.742.795 meter persegi. Dari pasokan mal seluas itu, sebanyak 27,77 persen dipasok dari kawasan Bogor, Depok, dan Bekasi. Jumlah pasokan untuk mal itu diperkirakan meningkat seluas 115.400 meter persegi dari empat proyek mal di Bekasi dan Bogor.
Pembangunan kawasan perumahan dan mal di kota Bogor dipastikan akan semakin mempersempit ruang terbuka hijau (RTH). Pada 2010 saja, kawasan RTH di kota itu hanya 10 persen dari luas wilayah. Padahal, idealnya, RTH di sebuah kota adalah 30 persen dari keseluruhan wilayah. Hal yang lebih parah lagi terjadi di Kota Bekasi. Pada 2012, kota itu hanya menyisakan RTH sebesar 3,8 persen dari total luas wilayah. Tampaknya Kota Depok juga akan mengikuti jejak Kota Bogor dan Bekasi menuju krisis RTH. Pada 2012, sudah 39 persen lahan RTH yang terpakai untuk perumahan di wilayah Kota Depok.
Krisis RTH tampaknya akan semakin meluas di kota-kota Jawa Barat. Pada 2010, misalnya, RTH di Kota Bandung hanya mencapai 8,8 persen. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung pada 2012 mengungkapkan telah mengantongi laporan sebanyak 13 pembangunan di Kota Bandung yang diduga cacat perizinan. Pembangunan itu telah mengubah ruang terbuka hijau menjadi kawasan permukiman atau lainnya.
Kerusakan lingkungan hidup tidak hanya terjadi di wilayah perkotaan di Jawa Barat, tapi juga sudah meluas hampir di seluruh wilayah provinsi itu. Hal itu terlihat dari makin kritisnya kondisi hutan di Jawa Barat. Data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat menyebutkan, berdasarkan SK Menhut 195/Kpts-II/2003, luas kawasan hutan di Jawa Barat mencapai lebih dari 816.603 ha, yang terdiri atas hutan konservasi 132.180 ha, hutan lindung 291.306 ha, dan hutan produksi 393.117 ha. Namun hampir sekitar 445 ribu hektare lahan hutan di Jawa Barat mengalami kerusakan hingga berada dalam kondisi kritis.
Laju kerusakan lingkungan hidup di Jawa Barat dipastikan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya laju pembangunan di kawasan itu. Warga Jawa Barat pun harus diselamatkan dari datangnya sebuah bencana ekologi yang mengancam keberlanjutan kehidupannya.
Di tengah krisis ekologi tersebut, pemilihan kepala daerah (pilkada) Jawa Barat digelar. Ada harapan bahwa Gubernur Jawa Barat yang baru akan mampu menghentikan laju krisis ekologi yang terjadi. Singkatnya, Jawa Barat butuh gubernur "hijau". Warna hijau ini bukan identik dengan partai Islam atau partai yang didirikan seorang mantan tentara. Warna hijau ini adalah simbol dari keberpihakan kepada keberlanjutan ekologi di Jawa Barat.
Namun tampaknya keberpihakan kepada keberlanjutan ekologi tidak bisa diharapkan datang dengan sendirinya dari calon Gubernur Jawa Barat yang ada. Warga Jawa Barat harus mendesak semua calon gubernur untuk lebih memperhatikan persoalan krisis ekologi di provinsi itu. Warga Jawa Barat perlu kritis terhadap rekam jejak calon gubernurnya. Pasangan calon yang terbukti memiliki relasi dengan para perusak lingkungan di Jawa Barat sebaiknya tidak dipilih, begitu pula calon gubernur yang mendapatkan dana dari perusahan-perusahaan perusak lingkungan.
Setelah pilkada Jawa Barat usai pun, warga provinsi itu tidak boleh tinggal diam. Warga Jawa Barat harus tetap mengontrol setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh gubernur terpilih. Jangan sampai Gubernur Jawa Barat yang terpilih nantinya justru menjerumuskan warganya ke jurang krisis ekologi yang berkepanjangan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar