Siapa
Harus Divaksin Lebih Dulu Beben Benyamin ; Dosen Senior di Bidang Biostatik,
Epidemiologi dan Genetik, Australian Centre for Precision Health, University
of South Australia |
KOMPAS,
31 Maret
2021
“Alhamdulillah, saya sudah divaksin!”
begitu postingan seorang pria muda di media sosial sambil mengacungkan jempol
saat proses vaksinasi Covid-19. Rasa bangga terpancar dari wajahnya karena
merasa sudah ikut berpartisipasi aktif dalam menyukseskan program vaksinasi
nasional. Di saat bersamaan, di ruang ICU sebuah
rumah sakit, seorang pria lanjut usia sedang berjuang melawan ganasnya virus
korona. Dengan bantuan ventilator, dia sedang berusaha menyerap oksigen yang
sudah tidak bisa lagi didapat hanya dengan mengandalkan paru-parunya yang
sudah ‘terendam’. Dia terpapar virus di saat menunggu giliran vaksinasi
lansia yang tak kunjung tiba. Tidak ada aturan yang dilanggar dari
vaksinasi pria muda tersebut. Walaupun dia bukan tenaga kesehatan ataupun
pekerja di bidang esensial dalam penanganan Covid-19, dia adalah pejabat
pemerintah. Bersama pekerja pariwisata, anggota DPR dan pegawai pemerintah,
mereka menjadi target prioritas vaksinasi kedua setelah tenaga kesehatan. Dua situasi kontras ini menyentak nurani
kita. Siapa sebenarnya yang harus diprioritaskan untuk dapat vaksin di saat
persediaan terbatas? Pria lanjut usia yang akhirnya meninggal di rumah sakit
atau pria muda pejabat pemerintah yang tidak terkait langsung dalam
penanganan Covid-19? Kadar
risiko yang berbeda-beda Sars-Cov-2, virus penyebab Covid-19
menimbulkan efek yang berbeda pada orang yang diinfeksinya. Data epidemiologi
dunia menunjukkan bahwa dari 100 orang kasus positif, sekitar 81 menderita
gejala ringan seperti flu biasa, 14 menderita gejala berat seperti pneumonia
dan lima dalam kondisi kritis, yang dipicu oleh gagalnya fungsi pernapasan
atau kerusakan berbagai organ. Dua di antara lima pasien yang kritis
meninggal dunia. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa di antara orang
yang meninggal, sekitar 47 persen adalah pasien lanjut usia di atas 60 tahun
(Kompas, 8/2/2021). Hasil analisis data ribuan pasien Covid-9
dari rumah sakit di Jakarta menunjukkan bahwa pasien Covid-19 di atas 70
tahun memiliki risiko kematian lima sampai sepuluh kali lipat dibanding
pasien Covid-19 di bawah usia 50 tahun (Surendra, Lancet Regional Health –
Western Pacific 2021). Ini perbedaan risiko yang sangat tinggi. Data yang dikompilasi oleh Centers for
Disease Controls (CDC) juga menunjukkan bahwa pasien lansia umur 65-74
mempunyai risiko kematian 24 kali dibandingkan dengan pasien umur 30-39
tahun. Ini merupakan perbedaan risiko yang sangat tinggi. Selain usia, faktor lain yang meningkatkan
risiko sakit parah dan kematian adalah penyakit penyerta seperti hipertensi,
diabetes dan obesitas. Oleh karena itu, salah satu kebijakan
kesehatan publik yang diambil oleh berbagai negara adalah membentengi lansia
dan kelompok rentan lainnya dari paparan virus. Karena kalau mereka terpapar,
risiko kematian jauh lebih tinggi dibanding anggota masyarakat lainnya. Vaksin
Covid-19 Kurang dari satu tahun sejak Covid-19
dinyatakan sebagai pandemi, vaksin yang aman dan cukup efektif sudah
ditemukan dan diproduksi secara massal. Sudah lebih dari sepuluh vaksin yang
diproduksi dan mempunyai izin edar di berbagai negara. Di Indonesia, vaksin CoronaVac atau Sinovac
asal China yang bekerja sama dengan PT Bio Farma, sudah mendapatkan izin
penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) pada 11
Januari 2021. Menyusul kemudian, AstraZeneca pada 19 Maret 2021. Dengan izin
ini, program vaksinasi nasional dimulai dengan penyuntikan terhadap Presiden
Joko Widodo pada 13 Januari 2021. Dari hasil berbagai uji klinik, vaksin
cukup efektif mengurangi risiko sakit Covid-19. Vaksin juga sangat efektif
mengurangi risiko keparahan dan kematian. Sebagai contoh, dari berbagai uji
klinik di Indonesia, Brasil dan Turki, vaksin Sinovac mengurangi risiko sakit
antara 50-83 persen. Hasil uji klinik di Turki menyebutkan bahwa Sinovac
memberikan efikasi hampir 100 persen dari penyakit parah Covid-19 (Reuters,
3/3/2021). Walaupun sangat diharapkan, belum ada data
yang konklusif untuk menilai efektivitas vaksin dalam mencegah penularan
(Aschwanden, Nature 591, 2021). Padahal, efektivitas terhadap penularan
merupakan parameter penting dalam penentuan jumlah minimum penduduk yang
harus divaksinasi supaya tercapai kekebalan komunitas. Sehingga, pencegahan
penularan bukan merupakan tujuan utama vaksinasi Covid-19. Ketersediaan
vaksin Saat ini semua negara sedang berlomba-lomba
mendapatkan akses terhadap vaksin. Hanya negara produsen vaksin, seperti
Amerika Serikat yang mempunyai suplai mencukupi seluruh penduduknya.
Sedangkan negara-negara pengimpor harus bersabar untuk mendapatkan jatah
vaksin yang terbatas. Indonesia termasuk salah satu negara
pengimpor yang berhasil mendapatkan akses terhadap vaksin. Akan tetapi
Menteri Kesehatan sendiri mengatakan bahwa dari rencana awal 426 juta dosis,
sampai Juni hanya tersedia 80 juta dosis. Karena setiap orang perlu dua
dosis, maka jumlah ini hanya cukup untuk 40 juta orang (Kompas, 14/3/2021). Sampai minggu ini, sudah lebih dari 30 juta
orang yang divaksinasi minimum dengan satu dosis di seluruh dunia (4 persen
dari populasi dunia (ourworldindata.org, 18/3/2021). Sedangkan di Indonesia,
sekitar tujuh juta orang sudah divaksin (2,7 persen dari total populasi,
Kementerian Kesehatan RI, 17 Maret 2021). Prioritas
vaksinasi dunia Dengan keterbatasan vaksin seperti ini,
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memberikan panduan mengenai siapa yang menjadi
prioritas vaksinasi (WHO SAGE Roadmap for prioritizing the use of COVID-19
vaccines in the context of limited supply). Selain tenaga kesehatan yang menjadi ujung
tombak penanganan Covid-19, salah satu pertimbangan utama dalam menentukan
prioritas adalah faktor risiko. Yaitu, vaksin diprioritaskan untuk orang yang
mempunyai risiko paling besar sakit parah atau meninggal jika terpapar
Covid-19. WHO menyarankan vaksinasi dilakukan dalam
beberapa tahapan. Tahap pertama meliputi tenaga kesehatan yang mempunyai
risiko tinggi tertular (1a, vaksinasi perdana) dan lansia (1b). Tahap kedua meliputi lansia yang belum
divaksin pada tahap pertama, penyandang komorbiditas, kelompok minoritas yang
mempunyai risiko kematian tinggi seperti penyandang disabilitas, orang miskin
di daerah padat pemukiman kumuh, tenaga vaksinator, guru yang masih harus
mengajar tatap muka. Sedangkan tahap ketiga meliputi tenaga
pengajar, ibu hamil dan pekerja esensial yang penting untuk berjalannya roda
pemerintahan, seperti polisi dan aparatur sipil. Tahapan vaksinasi serupa
dengan prinsip melindungi nyawa seperti ini dilakukan di berbagai negara,
termasuk Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Prioritas
vaksinasi Pemerintah Indonesia Terus, bagaimana dengan prioritas vaksinasi
di Tanah Air? Kementerian Kesehatan menetapkan bahwa vaksinasi tahap pertama
adalah untuk tenaga kesehatan yang jumlahnya 1,47 juta orang. Kemudian
dilanjutkan tahap kedua yang meliputi vaksinasi terhadap petugas publik (17,4
juta) dan lansia (21,5 juta). Yang disebut sebagai petugas publik di sini
meliputi pejabat negara, wakil rakyat, pegawai pemerintah, tenaga pendidik,
pelaku sektor pariwisata, wartawan dan pekerja media, atlet, petugas keamanan,
petugas transportasi, tokoh agama dan pedagang pasar. Setelah vaksinasi terhadap kelompok
prioritas pertama dan kedua selesai, maka vaksinasi dilanjutkan ke tahap
ketiga yang meliputi vaksinasi terhadap masyarakat rentan atau masyarakat di
daerah dengan risiko penularan tinggi (63,9 juta). Sedangkan masyarakat
lainnya yang tidak termasuk tahap pertama, kedua dan ketiga akan divaksinasi
pada tahap keempat. Di sini kita bisa melihat perbedaan dari
prioritas vaksinasi di Tanah Air dengan yang direkomendasikan WHO. Yang
paling mencolok adalah pergeseran prioritas vaksinasi lansia dan kelompok
rentan lain seperti penyandang komorbiditas. Di panduan WHO, lansia merupakan
kelompok prioritas tertinggi (Tahap 1), disandingkan dengan tenaga kesehatan.
Sedangkan di panduan Kementerian Kesehatan, vaksinasi lansia ditempatkan di
tahap kedua bersama dengan petugas publik. Betul memang prioritas vaksinasi tidak
harus sama persis dengan yang direkomendasikan WHO atau dilakukan di berbagai
negara. Tetapi prinsip melindungi kelompok rentan berdasarkan faktor risiko
harus menjadi landasan utama. Bukan prinsip mencegah penularan di kelompok
elite (vaksinasi pejabat dan wakil rakyat) atau mempercepat pergerakan
ekonomi (vaksinasi mandiri, vaksinasi pekerja sektor pariwisata). Kebijakan vaksinasi yang tidak sepenuhnya
sejalan dengan panduan yang diberikan WHO ini diperparah dengan apa yang
terjadi di lapangan. Dalam dua bulan program vaksinasi, diberitakan bagaimana
artis dan keluarga anggota DPR telah divaksinasi mendahului lansia. Sampai 28 Maret 2021, Kementerian Kesehatan
melaporkan dari 1,47 juta tenaga kesehatan, hampir semuanya (1,43 juta, atau
98 persen) sudah divaksinasi dengan satu dosis. Sebanyak 1,27 juta (87
persen) di antaranya sudah divaksinasi dengan dosis kedua. Tingginya
vaksinasi pada tenaga kesehatan adalah keberhasilan yang patut diapresiasi. Yang patut menjadi perhatian saat ini
adalah vaksinasi tahap kedua. Walaupun secara teori petugas publik dan lansia
sama-sama masuk di tahap kedua, pada praktiknya jangkauan vaksinasi di kedua
kelompok ini sangat jomplang. Dari 39 juta target vaksinasi Tahap 2,
sudah 4,4 juta orang (25 persen dari 17,4 juta petugas publik) divaksinasi
dengan satu dosis dan 1,9 juta dengan dua dosis. Sedangkan vaksinasi lansia
baru dilakukan terhadap 1,4 juta orang (6,6 persen dari 21,5 juta target
lansia) dan hanya sekitar 100.000 yang sudah dapat dosis kedua (Kemenkes,
18/3/2021). Tentu berbagai alasan bisa dikemukakan
pemerintah, tapi fakta vaksinasi lansia yang empat kali lebih rendah
dibanding dengan vaksinasi petugas publik (1,5 juta vs 6,3 juta) ini sangat
mengkhawatirkan. Dengan rendahnya kecepatan vaksinasi pada
kelompok lansia, maka lebih dari 90 persen kelompok lansia masih berada dalam
zona rawan. Padahal, dikhawatirkan timbul kesan di masyarakat bahwa dengan
adanya vaksinasi, pandemi sudah hampir berakhir. Apa
yang harus dilakukan? Dengan persediaan vaksin yang terbatas,
lupakan sejenak target jangka panjang menggerakkan ekonomi atau tercapainya
kekebalan komunitas — sebab, karena berbagai hal, bisa jadi ini hanya ilusi
(Aschwanden, Nature 591, 2021). Pemerintah sebaiknya fokus untuk menggunakan
vaksin yang sudah tersedia sampai saat ini untuk melindungi lansia dan
kelompok paling rentan meninggal lainnya, dengan memvaksinasi mereka
secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya. Kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini,
siapa yang harus divaksinasi duluan? Pria muda sehat pejabat pemerintah yang
tidak berhubungan langsung dengan penanganan Covid-9 atau pria lansia yang
mempunyai risiko meninggal berkali lipat jika terpapar virus? Betul, semua
warga negara berhak mendapatkan vaksin, tetapi karena terbatasnya, sepertinya
hanya satu pilihan yang bisa diambil. Dan jangan lupa, pilihan yang diambil
menunjukkan apa sebenarnya prioritas pemerintah saat ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar