Kamis, 01 April 2021

 

Siapa Harus Divaksin Lebih Dulu

 Beben Benyamin ; Dosen Senior di Bidang Biostatik, Epidemiologi dan Genetik, Australian Centre for Precision Health, University of South Australia

                                                        KOMPAS, 31 Maret 2021

 

 

                                                           

“Alhamdulillah, saya sudah divaksin!” begitu postingan seorang pria muda di media sosial sambil mengacungkan jempol saat proses vaksinasi Covid-19. Rasa bangga terpancar dari wajahnya karena merasa sudah ikut berpartisipasi aktif dalam menyukseskan program vaksinasi nasional.

 

Di saat bersamaan, di ruang ICU sebuah rumah sakit, seorang pria lanjut usia sedang berjuang melawan ganasnya virus korona. Dengan bantuan ventilator, dia sedang berusaha menyerap oksigen yang sudah tidak bisa lagi didapat hanya dengan mengandalkan paru-parunya yang sudah ‘terendam’. Dia terpapar virus di saat menunggu giliran vaksinasi lansia yang tak kunjung tiba.

 

Tidak ada aturan yang dilanggar dari vaksinasi pria muda tersebut. Walaupun dia bukan tenaga kesehatan ataupun pekerja di bidang esensial dalam penanganan Covid-19, dia adalah pejabat pemerintah. Bersama pekerja pariwisata, anggota DPR dan pegawai pemerintah, mereka menjadi target prioritas vaksinasi kedua setelah tenaga kesehatan.

 

Dua situasi kontras ini menyentak nurani kita. Siapa sebenarnya yang harus diprioritaskan untuk dapat vaksin di saat persediaan terbatas? Pria lanjut usia yang akhirnya meninggal di rumah sakit atau pria muda pejabat pemerintah yang tidak terkait langsung dalam penanganan Covid-19?

 

Kadar risiko yang berbeda-beda

 

Sars-Cov-2, virus penyebab Covid-19 menimbulkan efek yang berbeda pada orang yang diinfeksinya. Data epidemiologi dunia menunjukkan bahwa dari 100 orang kasus positif, sekitar 81 menderita gejala ringan seperti flu biasa, 14 menderita gejala berat seperti pneumonia dan lima dalam kondisi kritis, yang dipicu oleh gagalnya fungsi pernapasan atau kerusakan berbagai organ.

 

Dua di antara lima pasien yang kritis meninggal dunia. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa di antara orang yang meninggal, sekitar 47 persen adalah pasien lanjut usia di atas 60 tahun (Kompas, 8/2/2021).

 

Hasil analisis data ribuan pasien Covid-9 dari rumah sakit di Jakarta menunjukkan bahwa pasien Covid-19 di atas 70 tahun memiliki risiko kematian lima sampai sepuluh kali lipat dibanding pasien Covid-19 di bawah usia 50 tahun (Surendra, Lancet Regional Health – Western Pacific 2021). Ini perbedaan risiko yang sangat tinggi.

 

Data yang dikompilasi oleh Centers for Disease Controls (CDC) juga menunjukkan bahwa pasien lansia umur 65-74 mempunyai risiko kematian 24 kali dibandingkan dengan pasien umur 30-39 tahun. Ini merupakan perbedaan risiko yang sangat tinggi.

 

Selain usia, faktor lain yang meningkatkan risiko sakit parah dan kematian adalah penyakit penyerta seperti hipertensi, diabetes dan obesitas.

 

Oleh karena itu, salah satu kebijakan kesehatan publik yang diambil oleh berbagai negara adalah membentengi lansia dan kelompok rentan lainnya dari paparan virus. Karena kalau mereka terpapar, risiko kematian jauh lebih tinggi dibanding anggota masyarakat lainnya.

 

Vaksin Covid-19

 

Kurang dari satu tahun sejak Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi, vaksin yang aman dan cukup efektif sudah ditemukan dan diproduksi secara massal. Sudah lebih dari sepuluh vaksin yang diproduksi dan mempunyai izin edar di berbagai negara.

 

Di Indonesia, vaksin CoronaVac atau Sinovac asal China yang bekerja sama dengan PT Bio Farma, sudah mendapatkan izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) pada 11 Januari 2021. Menyusul kemudian, AstraZeneca pada 19 Maret 2021. Dengan izin ini, program vaksinasi nasional dimulai dengan penyuntikan terhadap Presiden Joko Widodo pada 13 Januari 2021.

 

Dari hasil berbagai uji klinik, vaksin cukup efektif mengurangi risiko sakit Covid-19. Vaksin juga sangat efektif mengurangi risiko keparahan dan kematian. Sebagai contoh, dari berbagai uji klinik di Indonesia, Brasil dan Turki, vaksin Sinovac mengurangi risiko sakit antara 50-83 persen. Hasil uji klinik di Turki menyebutkan bahwa Sinovac memberikan efikasi hampir 100 persen dari penyakit parah Covid-19 (Reuters, 3/3/2021).

 

Walaupun sangat diharapkan, belum ada data yang konklusif untuk menilai efektivitas vaksin dalam mencegah penularan (Aschwanden, Nature 591, 2021). Padahal, efektivitas terhadap penularan merupakan parameter penting dalam penentuan jumlah minimum penduduk yang harus divaksinasi supaya tercapai kekebalan komunitas. Sehingga, pencegahan penularan bukan merupakan tujuan utama vaksinasi Covid-19.

 

Ketersediaan vaksin

 

Saat ini semua negara sedang berlomba-lomba mendapatkan akses terhadap vaksin. Hanya negara produsen vaksin, seperti Amerika Serikat yang mempunyai suplai mencukupi seluruh penduduknya. Sedangkan negara-negara pengimpor harus bersabar untuk mendapatkan jatah vaksin yang terbatas.

 

Indonesia termasuk salah satu negara pengimpor yang berhasil mendapatkan akses terhadap vaksin. Akan tetapi Menteri Kesehatan sendiri mengatakan bahwa dari rencana awal 426 juta dosis, sampai Juni hanya tersedia 80 juta dosis. Karena setiap orang perlu dua dosis, maka jumlah ini hanya cukup untuk 40 juta orang (Kompas, 14/3/2021).

 

Sampai minggu ini, sudah lebih dari 30 juta orang yang divaksinasi minimum dengan satu dosis di seluruh dunia (4 persen dari populasi dunia (ourworldindata.org, 18/3/2021). Sedangkan di Indonesia, sekitar tujuh juta orang sudah divaksin (2,7 persen dari total populasi, Kementerian Kesehatan RI, 17 Maret 2021).

 

Prioritas vaksinasi dunia

 

Dengan keterbatasan vaksin seperti ini, Badan Kesehatan Dunia (WHO) memberikan panduan mengenai siapa yang menjadi prioritas vaksinasi (WHO SAGE Roadmap for prioritizing the use of COVID-19 vaccines in the context of limited supply).

 

Selain tenaga kesehatan yang menjadi ujung tombak penanganan Covid-19, salah satu pertimbangan utama dalam menentukan prioritas adalah faktor risiko. Yaitu, vaksin diprioritaskan untuk orang yang mempunyai risiko paling besar sakit parah atau meninggal jika terpapar Covid-19.

 

WHO menyarankan vaksinasi dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahap pertama meliputi tenaga kesehatan yang mempunyai risiko tinggi tertular (1a, vaksinasi perdana) dan lansia (1b).

 

Tahap kedua meliputi lansia yang belum divaksin pada tahap pertama, penyandang komorbiditas, kelompok minoritas yang mempunyai risiko kematian tinggi seperti penyandang disabilitas, orang miskin di daerah padat pemukiman kumuh, tenaga vaksinator, guru yang masih harus mengajar tatap muka.

 

Sedangkan tahap ketiga meliputi tenaga pengajar, ibu hamil dan pekerja esensial yang penting untuk berjalannya roda pemerintahan, seperti polisi dan aparatur sipil. Tahapan vaksinasi serupa dengan prinsip melindungi nyawa seperti ini dilakukan di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris dan Australia.

 

Prioritas vaksinasi Pemerintah Indonesia

 

Terus, bagaimana dengan prioritas vaksinasi di Tanah Air? Kementerian Kesehatan menetapkan bahwa vaksinasi tahap pertama adalah untuk tenaga kesehatan yang jumlahnya 1,47 juta orang. Kemudian dilanjutkan tahap kedua yang meliputi vaksinasi terhadap petugas publik (17,4 juta) dan lansia (21,5 juta).

 

Yang disebut sebagai petugas publik di sini meliputi pejabat negara, wakil rakyat, pegawai pemerintah, tenaga pendidik, pelaku sektor pariwisata, wartawan dan pekerja media, atlet, petugas keamanan, petugas transportasi, tokoh agama dan pedagang pasar.

 

Setelah vaksinasi terhadap kelompok prioritas pertama dan kedua selesai, maka vaksinasi dilanjutkan ke tahap ketiga yang meliputi vaksinasi terhadap masyarakat rentan atau masyarakat di daerah dengan risiko penularan tinggi (63,9 juta). Sedangkan masyarakat lainnya yang tidak termasuk tahap pertama, kedua dan ketiga akan divaksinasi pada tahap keempat.

 

Di sini kita bisa melihat perbedaan dari prioritas vaksinasi di Tanah Air dengan yang direkomendasikan WHO. Yang paling mencolok adalah pergeseran prioritas vaksinasi lansia dan kelompok rentan lain seperti penyandang komorbiditas. Di panduan WHO, lansia merupakan kelompok prioritas tertinggi (Tahap 1), disandingkan dengan tenaga kesehatan. Sedangkan di panduan Kementerian Kesehatan, vaksinasi lansia ditempatkan di tahap kedua bersama dengan petugas publik.

 

Betul memang prioritas vaksinasi tidak harus sama persis dengan yang direkomendasikan WHO atau dilakukan di berbagai negara. Tetapi prinsip melindungi kelompok rentan berdasarkan faktor risiko harus menjadi landasan utama. Bukan prinsip mencegah penularan di kelompok elite (vaksinasi pejabat dan wakil rakyat) atau mempercepat pergerakan ekonomi (vaksinasi mandiri, vaksinasi pekerja sektor pariwisata).

 

Kebijakan vaksinasi yang tidak sepenuhnya sejalan dengan panduan yang diberikan WHO ini diperparah dengan apa yang terjadi di lapangan. Dalam dua bulan program vaksinasi, diberitakan bagaimana artis dan keluarga anggota DPR telah divaksinasi mendahului lansia.

 

Sampai 28 Maret 2021, Kementerian Kesehatan melaporkan dari 1,47 juta tenaga kesehatan, hampir semuanya (1,43 juta, atau 98 persen) sudah divaksinasi dengan satu dosis. Sebanyak 1,27 juta (87 persen) di antaranya sudah divaksinasi dengan dosis kedua. Tingginya vaksinasi pada tenaga kesehatan adalah keberhasilan yang patut diapresiasi.

 

Yang patut menjadi perhatian saat ini adalah vaksinasi tahap kedua. Walaupun secara teori petugas publik dan lansia sama-sama masuk di tahap kedua, pada praktiknya jangkauan vaksinasi di kedua kelompok ini sangat jomplang.

 

Dari 39 juta target vaksinasi Tahap 2, sudah 4,4 juta orang (25 persen dari 17,4 juta petugas publik) divaksinasi dengan satu dosis dan 1,9 juta dengan dua dosis. Sedangkan vaksinasi lansia baru dilakukan terhadap 1,4 juta orang (6,6 persen dari 21,5 juta target lansia) dan hanya sekitar 100.000 yang sudah dapat dosis kedua (Kemenkes, 18/3/2021).

 

Tentu berbagai alasan bisa dikemukakan pemerintah, tapi fakta vaksinasi lansia yang empat kali lebih rendah dibanding dengan vaksinasi petugas publik (1,5 juta vs 6,3 juta) ini sangat mengkhawatirkan.

 

Dengan rendahnya kecepatan vaksinasi pada kelompok lansia, maka lebih dari 90 persen kelompok lansia masih berada dalam zona rawan. Padahal, dikhawatirkan timbul kesan di masyarakat bahwa dengan adanya vaksinasi, pandemi sudah hampir berakhir.

 

Apa yang harus dilakukan?

 

Dengan persediaan vaksin yang terbatas, lupakan sejenak target jangka panjang menggerakkan ekonomi atau tercapainya kekebalan komunitas — sebab, karena berbagai hal, bisa jadi ini hanya ilusi (Aschwanden, Nature 591, 2021). Pemerintah sebaiknya fokus untuk menggunakan vaksin yang sudah tersedia sampai saat ini untuk melindungi lansia dan kelompok paling rentan meninggal lainnya, dengan memvaksinasi mereka secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya.

 

Kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini, siapa yang harus divaksinasi duluan? Pria muda sehat pejabat pemerintah yang tidak berhubungan langsung dengan penanganan Covid-9 atau pria lansia yang mempunyai risiko meninggal berkali lipat jika terpapar virus? Betul, semua warga negara berhak mendapatkan vaksin, tetapi karena terbatasnya, sepertinya hanya satu pilihan yang bisa diambil.

 

Dan jangan lupa, pilihan yang diambil menunjukkan apa sebenarnya prioritas pemerintah saat ini. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar