Senin, 17 November 2014

Parthenon

                                                                Parthenon

Trias Kuncahyono  ;   Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
KOMPAS,  16 November 2014

                                                                                                                       


Bulan April 2011, suatu siang. Kami duduk berdua dengan Andri Hardi di atas sebongkah besar reruntuhan bangunan kuno di atas puncak bukit Acropolis, Athena, Yunani. Waktu itu, Andri Hardi—yang sekarang Dubes RI di Singapura—menjabat sebagai Direktur Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI. Ia memimpin delegasi dialog antarpenganut agama (interfaith) Indonesia-Yunani.

Dari puncak bukit Acropolis, Athena terlihat begitu indah. Athena, ibu kota Yunani itu, memang indah. Nama ibu kota Yunani itu diambil dari nama seorang dewi yang cantik jelita, menurut mitologi Yunani. Athena adalah dewi kebijaksanaan, keteguhan hati, inspirasi, peradaban, hukum dan keadilan, kesejahteraan, matematika, kekuatan strategi, serta seni.

Lihatlah di bawah sana, rumah-rumah putih berdempetan seperti kubus-kubus yang ditata rapi mengepung Acropolis yang berdiri kokoh. Ada bagian yang berlatar laut, yang biru airnya begitu kuat. Ada yang berlatar pegunungan—Parnitha, Imittos, dan Egaleo—yang mengelilingi Athena. Nyaris tak ada kehijauan pohon, yang terlihat hanya bangunan dan bangunan dari dataran rendah hingga merayap di kaki bukit.

Dulu, bagi bangsa Yunani, Acropolis adalah pusat segala-galanya. Di bukit ini bertemu mitologi, ibadah dari berbagai agama, kepentingan politik, ungkapan kekuasaan, catatan dan peninggalan sejarah, seni, serta peradaban. Pada saat yang sama, Acropolis menjadi monumen demokrasi yang menjadi struktur politik Yunani.

Di puncak Acropolis berdiri dengan megah sisa-sisa kuil Parthenon. Sisa-sisa kuil itu menjadi saksi peradaban dan seni Yunani pada masa lalu. Kuil Parthenon mulai dibangun pada 447 SM dan selesai pada 438 SM. Itu berarti bangunan itu sudah berdiri di puncak bukit Acropolis selama 2.500 tahun!

Parthenon merupakan ungkapan terima kasih rakyat Yunani di masa lalu kepada Dewi Athena, dewa penyelamat rakyat Athena dan Yunani dalam Perang Persia. Itulah sebabnya kuil itu diberi nama Kuil Perawan Athena; Parthenon berasal dari bahasa Yunani, parthenos, yang berarti perawan.

Parthenon adalah lambang. Parthenon adalah simbol. Ia lambang atau simbol keagungan demokrasi Athena kuno. Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani (dēmokratía) ”kekuasaan rakyat”, yang terbentuk dari (dêmos) ”rakyat” dan κρ (kratos) ”kekuatan” atau ”kekuasaan” pada abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena. Sistem politik Athena Klasik, misalnya, memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elite yang bebas dan tidak menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi politik.

Kini Parthenon seperti lambang atau simbol lain di dunia yang telah menjadi monumen. Katakanlah seperti mausoleum Lenin di Lapangan Merah, Moskwa, yang pada suatu masa menjadi simbol komunisme global, tetapi kini tak lebih sebagai tujuan wisata. Candi Borobudur dan Prambanan pada masanya menjadi tempat pemujaan agung.

Setelah melihat Parthenon, ada kekhawatiran di dalam hati, bahkan ketakutan, Pancasila yang menjadi dasar dan roh demokrasi Pancasila bisa-bisa nanti menjadi simbol belaka. Hal itu mengingat hiruk-pikuk politik atas nama demokrasi di negeri ini tak kunjung selesai. Karena di sana tidak kita temui orang-orang berkarakter dan berjiwa demokratis: memiliki rasa hormat dan tanggung jawab, bersikap kritis, membuka diskusi dan dialog, bersikap terbuka, bersikap rasional, adil, serta jujur.

Ya, sudahlah. Parthenon memang indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar