Parthenon
Trias Kuncahyono ; Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
16 November 2014
Bulan April 2011, suatu siang. Kami duduk berdua dengan Andri Hardi di
atas sebongkah besar reruntuhan bangunan kuno di atas puncak bukit Acropolis,
Athena, Yunani. Waktu itu, Andri Hardi—yang sekarang Dubes RI di
Singapura—menjabat sebagai Direktur Informasi dan Diplomasi Publik
Kementerian Luar Negeri RI. Ia memimpin delegasi dialog antarpenganut agama (interfaith) Indonesia-Yunani.
Dari puncak bukit Acropolis, Athena terlihat begitu indah. Athena, ibu
kota Yunani itu, memang indah. Nama ibu kota Yunani itu diambil dari nama
seorang dewi yang cantik jelita, menurut mitologi Yunani. Athena adalah dewi
kebijaksanaan, keteguhan hati, inspirasi, peradaban, hukum dan keadilan,
kesejahteraan, matematika, kekuatan strategi, serta seni.
Lihatlah di bawah sana, rumah-rumah putih berdempetan seperti
kubus-kubus yang ditata rapi mengepung Acropolis yang berdiri kokoh. Ada
bagian yang berlatar laut, yang biru airnya begitu kuat. Ada yang berlatar
pegunungan—Parnitha, Imittos, dan Egaleo—yang mengelilingi Athena. Nyaris tak
ada kehijauan pohon, yang terlihat hanya bangunan dan bangunan dari dataran
rendah hingga merayap di kaki bukit.
Dulu, bagi bangsa Yunani, Acropolis adalah pusat segala-galanya. Di
bukit ini bertemu mitologi, ibadah dari berbagai agama, kepentingan politik,
ungkapan kekuasaan, catatan dan peninggalan sejarah, seni, serta peradaban.
Pada saat yang sama, Acropolis menjadi monumen demokrasi yang menjadi
struktur politik Yunani.
Di puncak Acropolis berdiri dengan megah sisa-sisa kuil Parthenon.
Sisa-sisa kuil itu menjadi saksi peradaban dan seni Yunani pada masa lalu.
Kuil Parthenon mulai dibangun pada 447 SM dan selesai pada 438 SM. Itu
berarti bangunan itu sudah berdiri di puncak bukit Acropolis selama 2.500
tahun!
Parthenon merupakan ungkapan terima kasih rakyat Yunani di masa lalu
kepada Dewi Athena, dewa penyelamat rakyat Athena dan Yunani dalam Perang
Persia. Itulah sebabnya kuil itu diberi nama Kuil Perawan Athena; Parthenon
berasal dari bahasa Yunani, parthenos, yang berarti perawan.
Parthenon adalah lambang. Parthenon adalah simbol. Ia lambang atau
simbol keagungan demokrasi Athena kuno. Kata demokrasi berasal dari bahasa
Yunani (dēmokratía) ”kekuasaan
rakyat”, yang terbentuk dari (dêmos)
”rakyat” dan κρ (kratos) ”kekuatan” atau ”kekuasaan” pada abad ke-5 SM untuk
menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena. Sistem
politik Athena Klasik, misalnya, memberikan kewarganegaraan demokratis kepada
pria elite yang bebas dan tidak menyertakan budak dan wanita dalam
partisipasi politik.
Kini Parthenon seperti
lambang atau simbol lain di dunia yang telah menjadi monumen. Katakanlah
seperti mausoleum Lenin di Lapangan
Merah, Moskwa, yang pada suatu masa menjadi simbol komunisme global, tetapi
kini tak lebih sebagai tujuan wisata. Candi Borobudur dan Prambanan pada
masanya menjadi tempat pemujaan agung.
Setelah melihat Parthenon, ada kekhawatiran di dalam hati, bahkan
ketakutan, Pancasila yang menjadi dasar dan roh demokrasi Pancasila bisa-bisa
nanti menjadi simbol belaka. Hal itu mengingat hiruk-pikuk politik atas nama
demokrasi di negeri ini tak kunjung selesai. Karena di sana tidak kita temui
orang-orang berkarakter dan berjiwa demokratis: memiliki rasa hormat dan
tanggung jawab, bersikap kritis, membuka diskusi dan dialog, bersikap
terbuka, bersikap rasional, adil, serta jujur.
Ya,
sudahlah. Parthenon memang indah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar