Minggu, 23 November 2014

Kartu Sakti Vs Kenaikan Harga BBM

                       Kartu Sakti Vs Kenaikan Harga BBM

Paulus Mujiran  ;   Pemerhati Sosial,
Ketua Pelaksana Yayasan Soegijapranata Semarang
SINAR HARAPAN,  19 November 2014

                                                                                                                       


Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dihadapkan pada pilihan pelik menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Setelah sempat maju mundur, Jokowi akhirnya mengumumkan kenaikan BBM bersubsidi, Senin (17/11), untuk jenis Premium dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 per liter, sedangkan untuk solar dari Rp 5.500 menjadi Rp 7.500 per liter.

Menurut skenario tim transisi, pilihannya adalah kenaikan harga dari Rp 500, Rp 1.000, Rp 1.500, hingga Rp 3.000 per liter BBM bersubsidi. Dari kalkulasi sementara, menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 1.000 saja sudah akan mengurangi subsidi Rp 48-52 triliun. Jika kenaikan mencapai Rp 3.000 per liter BBM subsidi, beban subsidi diperkirakan berkurang Rp 100 triliun.

Untuk mengurangi dampak kenaikan harga BBM bersubsidi, Jokowi sudah meluncurkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). KIS tak hanya menyasar masyarakat miskin, tetapi juga golongan rentan miskin. Menurut perkiraan, kartu ini akan dibagikan kepada 88,1 juta orang, lebih banyak dari jumlah warga yang terdaftar sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang hanya mencakup 86,4 juta orang,

Sementara itu, program KIP akan menyasar 24 juta siswa kurang mampu yang sebelumnya terdaftar sebagai penerima Bantuan Siswa Miskin (BSM). Tak hanya itu, peserta KIP nantinya juga ditambah dari golongan anak-anak miskin tidak sekolah, dengan harapan, mereka bisa bersekolah lagi. Rincian besaran KIP untuk siswa SD adalah Rp 225.000 per siswa per semester, SMP sebesar Rp 375.000 per siswa per semester, dan SMA/SMK sebesar Rp 500.000  per siswa per semester.

Kenaikan harga BBM selalu berdampak luas, baik dari sisi sosial, politik, dan ekonomi, terutama bagi hajat hidup orang miskin. Pembengkakan subsidi untuk 2013, beban subsidi energi dalam anggaran negara sudah mencapai Rp 310 triliun, terbagi untuk subsidi BBM Rp 210 triliun dan listrik Rp 100 triliun. Sementara itu, dalam APBN-P 2014, beban subsidi energi sudah membengkak menjadi Rp 453,3 triliun, terbagi untuk subsidi BBM Rp 350,3 triliun dan listrik Rp 103 triliun.

Subsidi BBM dari tahun ke tahun menjadi persoalan pelik karena mengalami lonjakan yang cukup signifikan. Demi menyelamatkan APBN, pemerintah selalu beralasan kenaikan harga BBM untuk kesejahteraan rakyat. Kenaikan BBM sering menjadi pemicu kenaikan harga, terutama sembilan bahan pokok (sembako) dan sektor transportasi. Kenaikan harga BBM pun akan memicu inflasi 5,5-7,5 persen. Hal yang menjadi permasalahan sekarang adalah bagaimana skema pemberian kompensasi BBM agar tepat sasaran dan dinikmati mereka yang berhak.

Pemerintah telah meluncurkan “kartu sakti” berupa KIS dan KIP. Program KIS dan KIP memang diharapkan menjadi jaring pengaman sosial agar warga tidak kian terpuruk dalam kemiskinan. Lebih dari itu, KIP dan KIS tidak pada tempatnya dijadikan alat politik pemerintah membeli dukungan orang miskin. Namun, program kompensasi atas kenaikan harga BBM selama ini tidak produktif karena alokasinya lebih besar untuk bantuan langsung ketimbang tambahan infrastruktur. Kalangan pengamat ekonomi berpendapat, masyarakat harus diberi pekerjaan bukan bantuan langsung. Masyarakat harus diberi kail bukan ikan untuk dikonsumsi secara langsung.

Belajar dari pemberian bantuan langsung tunai (BLT) tahun 2009, terdapat tiga kekurangan yang menyebabkan bantuan itu tidak tepat sasaran. Pertama, pemerintah harus serius dalam mengelola dan menyiapkan data.

Pemerintah hanya menyandarkan data BPS untuk menentukan warga yang terkategori miskin, yang sering kali tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Apalagi verifikasi dilakukan masyarakat sendiri yang sering ta­war-menawar mengenai siapa yang akan diberikan bantuan. Ini akibat lemahnya kriteria siapa sesungguhnya yang berhak mendapat bantuan langsung.
Tipisnya batas kriteria menyebabkan semua orang yang merasa diri miskin berhak menerima kompensasi. Bahkan, banyak warga cenderung memiskinkan diri demi mendapat bantuan. Munculnya data fiktif, orang yang sudah pindah rumah, bahkan meninggal dunia, selalu menjadi kelemahan dalam distribusi bantuan. Data yang tidak akurat sering memicu kecemburuan sosial yang berdampak langsung kemunculnya konflik horizontal.

Kedua, bantuan langsung tidak mendidik dan menimbulkan ketergantungan. Saat ini kultur BLT sudah merusak mental warga miskin. Semua kegiatan masyarakat akan berjalan kalau ada uang. Masyarakat enggan dikumpulkan untuk penyuluhan dan pembinaan kalau tidak diberi iming-iming uang. Bantuan langsung pemerintah tidak akan membawa daya tahan ekonomi warga miskin karena dana-dana itu justru dipergunakan untuk hal-hal yang kurang produktif.

Bantuan langsung justru memperkuat perilaku konsumtif masyarakat dengan mengangsur sepeda motor dan membeli telepon genggam, sedangkan kegiatan ekonomi produktif masyarakat tidak bergerak. Karena itu, niatan bahwa dana bantuan akan mengurangi kemiskinan hanyalah utopia karena faktanya tidak tepat sasaran. Ketiga, distribusi kompensasi BBM harus berkeadilan sosial. Karena pendataan yang akurat, kriteria yang jelas, target sasaran harus benar-benar dipahami baik oleh pemerintah dan masyarakat.

Karena itu, program KIS dan KIP  harus produktif dan subsidi BBM diarahkan membangun infrastruktur yang langsung menyangga masyarakat paling rentan terkena dampak kenaikan harga BBM, misalnya dengan padat karya, perbaikan jalan. Dengan membangun infrastruktur akan tercipta lapangan kerja dan memberi ke­sempatan pada banyak warga miskin yang mendapat pekerjaan. Kelompok kelas menengah ke bawah, seperti petani kecil desa, nelayan, dan buruh pabrik semestinya mendapat prioritas dan kesempatan mendapat perhatian.

Bagaimanapun program kompensasi BBM harus benar-benar berkeadilan yang mampu menyentuh kebutuhan warga yang paling miskin. Diharapkan kenaikan harga BBM ini mampu memicu peralihan kendaraan pribadi ke BBM nonsubsidi. Begitu juga terjadi peralihan dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Tentu saja ini menjadi tantangan bagi pemerintah agar alokasi kompensasi BBM mampu menggerakkan ekonomi kerakyatan, bukan sekadar menghibur mereka yang daya belinya menurun karena kenaikan harga BBM bersubsidi. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar