Presiden
dan Penyuluh
Garin Nugroho ; Penulis kolom “UDARASA” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
16 November 2014
Di Universitas Sumatera Utara mahasiswa peminat pertanian menyurut
drastis hingga 80 persen, sementara di wilayah Magelang mahasiswa pertanian
hanya seputar 20 orang dalam lima tahun ini. Coba simak sumber-sumber tenaga
terampil ujung tombak daya hidup masyarakat, sekolah menengah keterampilan
pertanian hanya berjumlah 300, sementara sekolah menengah keterampilan
perikanan negeri hanya 145 . Yang memprihatinkan menurunnya secara drastis
peran dan kebanggaan penyuluh baik pertanian maupun perikanan.
Coba bayangkan, di negeri lebih dari 17.000 pulau, penyuluh perikanan
tak lebih dari 12.000. Penyuluh kehilangan aktualisasi, legitimasi, dan
kebanggaan.
Bekerja serta bergaul di lingkungan elite politik dan di tengah
pergantian cepat pemerintahan pasca 1998, selalu membawa kenyataan tentang ”percepatan serta pergantian kebijakan
politik yang riuh rendah selalu kalah cepat dengan kerusakan yang terjadi di
masyarakat, ketika pelayanan publik seperti penyuluh kebingungan peran,
status dan kebanggaan”.
Saya teringat tahun 1986-an, di hutan Wasur Merauke, di rumah penduduk
sekeliling hutan atau juga di pinggir kota, masih bisa dilihat rusa
berkeliaran, bahkan masuk tak lebih tiga puluh menit ke hutan terhampar
ratusan kangguru berlompatan dengan ribuan aneka burung. Saya bisa berdialog
dengan nyaman dengan penyuluh dari Jawa yang begitu akrab dengan penduduk
sekeliling.
Namun, ketika percepatan pemerintah demokrasi bergulir dengan ribuan
gagasan kesejahteraan, pasca 1998 terbaca kerusakan tidak bisa terjaga. Untuk
melihat kanguru di hutan Wasur memerlukan lebih dari empat jam naik kendaraan,
rusa pun mulai langka dilihat.
Penyuluh adalah budaya oasis dalam gurun pasir. Ia mata air yang
menghubungkan birokrasi, kebijakan, dan blusukan para elite politik yang
ingin memahami serta mentransformasi masyarakatnya. Ia adalah dunia serba
batas dan lintas, kadang menjadi birokrat sekaligus peran RT, kadang jadi
guru sekaligus tempat bermain dan berkumpul bersama penduduk, kadang harus
menemani dengan sabar keterlambatan dinamika kerja masyarakat sekaligus
menjadi garda depan pengetahuan dan harapan, kadang menjadi air mata tempat
pengaduan penduduk ketika birokrasi tidak bekerja atau ketika
ketidakberdayaan muncul.
Dalam budaya wayang, penyuluh layaknya peran punakawan (Semar, Petruk,
Gareng) yang selalu digambarkan membawa ksatria ataupun masyarakat menuju
istana melewati hutan dengan segala nasihat dan olok-oloknya. Mereka dunia
lintas batas antara para cerdik pandai dan masyarakat.
Oleh karena itu, bagi saya, sangatlah membanggakan dengan kerja
Presiden Joko Widodo yang dengan cepat memberi beberapa pokok efek kejut
dalam skema prioritas kerja. Ia dengan gamblang mendorong para menteri
langsung bekerja serta mendapatkan skema pokok, dan memanfaatkan momentum
pertemuan internasional.
Selayaknya hal itu secepatnya diikuti oleh kerja birokrasi yang
sesungguhnya menggerakkan lebih dari 65 persen kehidupan berbangsa. Di dalam
birokrasi, salah satunya terdapat peran para penyuluh yang menjadi punakawan
alias mata air dan air mata masyarakat.
Transisi demokrasi telah menempatkan politik sebagai segalanya dan
dilayani oleh rakyat. Tidak ada elite politik yang mengalami krisis ekonomi,
meski rakyat mengalami banyak krisis ekonomi. Simak nasib penyuluh, simak
pula demonstrasi besar yang pernah dilakukan para tenaga penyuluh terkait
nasib mereka.
Penyuluh pertanian hingga perikanan adalah kata sederhana, yang di era
baru tentunya memerlukan peran baru. Namun sekiranya kita pernah bersama
mereka dan memberi tempat mereka, sesungguhnya blusukan presiden dan para
menteri mendapatkan makna dan daya produksinya dalam realitas hidup
masyarakat.
Saya teringat, 18 tahun lalu, sehabis konflik berdarah transmigran Jawa
dengan penduduk lokal di Papua, sang penyuluh sibuk mengobati luka korban,
mengajak saya dan satu dua orang yang terlibat konflik makan ubi dan ikan
yang dibakar di atas batu dan dibungkus daun pisang. Kami mendengarkan mob (semacam kisah penuh olok-olok
khas Papua) dengan santai. Ia tak banyak bicara, ia tahu segalanya harus
dijaga, segalanya perlu waktu, segalanya proses, segalanya pelayanan. Sambil
makan ubi, saya merasakan menemukan keindahan kerja berbangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar