Senin, 17 November 2014

Presiden dan Penyuluh

                                             Presiden dan Penyuluh

Garin Nugroho  ;   Penulis kolom “UDARASA” Kompas Minggu
KOMPAS,  16 November 2014

                                                                                                                       


Di Universitas Sumatera Utara mahasiswa peminat pertanian menyurut drastis hingga 80 persen, sementara di wilayah Magelang mahasiswa pertanian hanya seputar 20 orang dalam lima tahun ini. Coba simak sumber-sumber tenaga terampil ujung tombak daya hidup masyarakat, sekolah menengah keterampilan pertanian hanya berjumlah 300, sementara sekolah menengah keterampilan perikanan negeri hanya 145 . Yang memprihatinkan menurunnya secara drastis peran dan kebanggaan penyuluh baik pertanian maupun perikanan.

Coba bayangkan, di negeri lebih dari 17.000 pulau, penyuluh perikanan tak lebih dari 12.000. Penyuluh kehilangan aktualisasi, legitimasi, dan kebanggaan.

Bekerja serta bergaul di lingkungan elite politik dan di tengah pergantian cepat pemerintahan pasca 1998, selalu membawa kenyataan tentang ”percepatan serta pergantian kebijakan politik yang riuh rendah selalu kalah cepat dengan kerusakan yang terjadi di masyarakat, ketika pelayanan publik seperti penyuluh kebingungan peran, status dan kebanggaan”.

Saya teringat tahun 1986-an, di hutan Wasur Merauke, di rumah penduduk sekeliling hutan atau juga di pinggir kota, masih bisa dilihat rusa berkeliaran, bahkan masuk tak lebih tiga puluh menit ke hutan terhampar ratusan kangguru berlompatan dengan ribuan aneka burung. Saya bisa berdialog dengan nyaman dengan penyuluh dari Jawa yang begitu akrab dengan penduduk sekeliling.

Namun, ketika percepatan pemerintah demokrasi bergulir dengan ribuan gagasan kesejahteraan, pasca 1998 terbaca kerusakan tidak bisa terjaga. Untuk melihat kanguru di hutan Wasur memerlukan lebih dari empat jam naik kendaraan, rusa pun mulai langka dilihat.

Penyuluh adalah budaya oasis dalam gurun pasir. Ia mata air yang menghubungkan birokrasi, kebijakan, dan blusukan para elite politik yang ingin memahami serta mentransformasi masyarakatnya. Ia adalah dunia serba batas dan lintas, kadang menjadi birokrat sekaligus peran RT, kadang jadi guru sekaligus tempat bermain dan berkumpul bersama penduduk, kadang harus menemani dengan sabar keterlambatan dinamika kerja masyarakat sekaligus menjadi garda depan pengetahuan dan harapan, kadang menjadi air mata tempat pengaduan penduduk ketika birokrasi tidak bekerja atau ketika ketidakberdayaan muncul.

Dalam budaya wayang, penyuluh layaknya peran punakawan (Semar, Petruk, Gareng) yang selalu digambarkan membawa ksatria ataupun masyarakat menuju istana melewati hutan dengan segala nasihat dan olok-oloknya. Mereka dunia lintas batas antara para cerdik pandai dan masyarakat.



Oleh karena itu, bagi saya, sangatlah membanggakan dengan kerja Presiden Joko Widodo yang dengan cepat memberi beberapa pokok efek kejut dalam skema prioritas kerja. Ia dengan gamblang mendorong para menteri langsung bekerja serta mendapatkan skema pokok, dan memanfaatkan momentum pertemuan internasional.

Selayaknya hal itu secepatnya diikuti oleh kerja birokrasi yang sesungguhnya menggerakkan lebih dari 65 persen kehidupan berbangsa. Di dalam birokrasi, salah satunya terdapat peran para penyuluh yang menjadi punakawan alias mata air dan air mata masyarakat.

Transisi demokrasi telah menempatkan politik sebagai segalanya dan dilayani oleh rakyat. Tidak ada elite politik yang mengalami krisis ekonomi, meski rakyat mengalami banyak krisis ekonomi. Simak nasib penyuluh, simak pula demonstrasi besar yang pernah dilakukan para tenaga penyuluh terkait nasib mereka.

Penyuluh pertanian hingga perikanan adalah kata sederhana, yang di era baru tentunya memerlukan peran baru. Namun sekiranya kita pernah bersama mereka dan memberi tempat mereka, sesungguhnya blusukan presiden dan para menteri mendapatkan makna dan daya produksinya dalam realitas hidup masyarakat.

Saya teringat, 18 tahun lalu, sehabis konflik berdarah transmigran Jawa dengan penduduk lokal di Papua, sang penyuluh sibuk mengobati luka korban, mengajak saya dan satu dua orang yang terlibat konflik makan ubi dan ikan yang dibakar di atas batu dan dibungkus daun pisang. Kami mendengarkan mob (semacam kisah penuh olok-olok khas Papua) dengan santai. Ia tak banyak bicara, ia tahu segalanya harus dijaga, segalanya perlu waktu, segalanya proses, segalanya pelayanan. Sambil makan ubi, saya merasakan menemukan keindahan kerja berbangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar