Minggu, 23 November 2014

Pengabaian Wilayah Pinggiran dan Denasionalisme

   Pengabaian Wilayah Pinggiran dan Denasionalisme

Laode Ida  ;   Sosiolog di Departemen Sosiologi FIS UNJ Jakarta;
Mantan wakil ketua DPD RI periode 2004–2009; 2009–2014
JAWA POS,  21 November 2014

                                                                                                                       


BARU-BARU ini ada berita dari wilayah perbatasan yang sedikit mengagetkan. Dikabarkan ribuan warga bangsa ini yang berdomisili di Kecamatan Lumbias Ogong, Nunukan, Kalimantan Utara, telah berpindah status kewarganegaraan, eksodus ke Negara Bagian Sabah ataupun memiliki KTP ganda (Indonesia dan Malaysia). Konon, penyebabnya adalah faktor ekonomi, kesehatan, dan pendidikan yang tak terlayani dengan baik.

Jika informasi itu benar, sulit dibantah bahwa pemerintah telah gagal menjalankan tugas konstitusi, khususnya terkait pernyataan dalam pembukaan UUD 1945: ’’… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa …’’.

Pada tingkat tertentu, lagi-lagi jika berita itu benar, sebenarnya pihak penyelenggara negara yang harus dikenai sanksi, baik itu parlemen maupun kepala negara, termasuk di dalamnya pemerintah daerah. Dalam bahasa politik hukum, untuk presiden yang melanggar konstitusi, wajar jika dikenai impeachment. Namun, tentu ini tak bisa dilakukan sekarang karena pemerintahan Jokowi-JK baru mulai dan rezim sebelumnya telah berlalu.

Pertanyaannya, adakah perasaan bersalah bagi para pemerintah pendahulu Jokowi-JK? Hanya merekalah yang bisa menjawab. Tapi, pasti rezim masa lalu berupaya akan selalu menghindar dari tanggung jawab ’’pelanggaran konstitusi’’ itu. Mengapa? Jawabannya sangat kultural sosiologis, yakni karena sudah dianggap biasa. Ya…, biasa menyaksikan penderitaan banyak orang yang terus diabaikan dan mereka tak pernah protes. Atau, kalaupun protes, dianggap bagai angin yang berlalu. Sementara itu, para pejabat penyelenggara negara hidup mewah dengan berbagai fasilitas yang dibiayai dengan uang dari rakyat.

Rakyat miskin kerap diabaikan karena dianggap tak punya kontribusi secara ekonomi, bahkan mungkin dianggap sebagai beban sosial dan negara. Dan anehnya, kebanyakan masyarakat miskin itu terjebak dalam kultur ’’nrimo’’ dengan mempersepsikan pemerintah ’’serbabenar’’.

Tetapi, kultur ’’nrimo’’ ternyata hanya bisa bertahan di dalam masyarakat yang berada di wilayah-wilayah seperti Pulau Jawa dan atau kota-kota besar, atau di kampung-kampung yang masih bisa secara ketat tercengkeram para patron mereka. Nasionalisme bagi kelompok masyarakat miskin yang tak terlayani di wilayah-wilayah seperti itu tentu masih sangat kuat. Namun, jangan terlalu berharap banyak untuk wilayah perbatasan, apalagi yang interaksinya lebih intens dengan saudara-saudara mereka dari negara tetangga. Apalagi, pelayanan untuk kebutuhan primer pun diperoleh langsung dari pemerintah negara tetangga.

Fakta kondisi fisik ekonomi dan sosial di wilayah perbatasan dengan Malaysia memang sangat kontras. Di pihak Indonesia terasa sangat tertinggal dari berbagai aspek. Padahal, dua kelompok warga yang beda nasib itu bukan hanya satu rumpun, melainkan di antara mereka banyak yang masih dalam hubungan darah atau bersaudara.

Itulah sebabnya, mereka tak lagi berpikir ideologis keindonesiaan, tetapi lebih berpikir realistis-pragmatis berhadapan dengan tuntutan hidup sehari-hari. Ini merupakan bagian dari hukum atau postulat sosial kontemporer, di mana aspek kesejahteraan sosial menjadi faktor paling menentukan dalam membangun kesadaran nasionalisme. Ketika itu terabaikan, pada saat yang sama akan tumbuh semangat ’’denasionalisme’’.

Selama sepuluh tahun saya mengabdi di DPD RI, kritik atas kebijakan seperti itu sebenarnya sudah sering dikemukakan. Sebab, basis dan orientasi kebijakan anggaran pembangunan adalah jumlah penduduk dan administrasi pemerintahan. Imbasnya, perhatian terfokus pada masyarakat di Pulau Jawa dan Sumatera serta sejumlah pulau lain yang padat penduduknya. Sementara itu, di perbatasan, perhatian sangat minim sehingga sulit berkembang. Daerah-daerah di pinggiran semakin tertinggal saja, masyarakatnya pun termarginalkan.

Setelah terjadi kasus eksodusnya sebagian warga negara itu ke administrasi dan lahan negara tetangga, baru ada sedikit perhatian. Atau, nanti ada gerakan untuk membebaskan diri jadi negara sendiri, baru kemudian diseriusi dan sekaligus dijadikan sebagai bagian dari ’’proyek keamanan’’. Padahal, semua itu sebagai wujud dari upaya menjadikan diri dan keluarga mereka hidup lebih sejahtera melalui perhatian pemerintah secara berkeadilan.

Dalam konteks administrasi kelembagaan pembangunan di Indonesia, sebenarnya marginalisasi daerah dan masyarakat tak perlu terjadi. Sebab, terdapat empat lembaga administrasi eksekutif yang saling terkait mengurus perbatasan. Dua di tingkat nasional dan dua tingkat di daerah otonom.

Di tingkat nasional, sudah eksis dua lembaga eksekutif, yakni Kementerian PDT (yang sekarang berubah) dan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP). Sementara itu, di tingkat daerah otonom, ada pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota. Jika lembaga empat itu saja berkoordinasi untuk membuat perencanaan pembangunan secara bersama, sebenarnya kemarginalan itu tak akan terjadi.

Barangkali inilah yang jadi penyebab segala peristiwa di atas. Pertama, PDT dan BNPP tidak memiliki visi dan agenda yang jelas bagaimana membangun wilayah tertinggal di perbatasan. Kedua, penentuan anggaran parlemen terjebak pada basis dapilnya, di mana kawasan perbatasan tidak dilirik. Ketiga, pemerintah daerah tidak memiliki rencana terukur untuk memajukan daerahnya dengan fokus pada infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan sosialnya. Keempat, pihak pemerintah pusat melalui dua lembaga yang saling terkait itu tak melakukan koordinasi imperatif pada pemda yang berada di wilayah perbatasan, sehingga masing-masing jalan sendiri-sendiri dengan orientasi proyek pragmatis tahunan.

Ke depan, masalah wilayah perbatasan seharusnya dikoordinasikan serta mengoptimalkan peran BNPP. BNPP secara khusus fokus bangun daerah perbatasan dengan anggaran yang harus memadai mulai 2015 nanti. Pada saat yang sama, perlu segera membangun komitmen dengan pihak swasta untuk mengembangkan wilayah perbatasan dengan cara memberikan insentif khusus pada mereka. Dengan cara inilah, salah satunya, bisa diwujudkan visi pembangunan Jokowi-JK dengan tema ’’membangun Indonesia dari pinggir’’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar