Pengabaian Wilayah
Pinggiran dan Denasionalisme
Laode Ida ; Sosiolog di Departemen Sosiologi FIS UNJ
Jakarta;
Mantan wakil ketua DPD RI periode 2004–2009; 2009–2014
|
JAWA
POS, 21 November 2014
BARU-BARU
ini ada berita dari wilayah perbatasan yang sedikit mengagetkan. Dikabarkan
ribuan warga bangsa ini yang berdomisili di Kecamatan Lumbias Ogong, Nunukan,
Kalimantan Utara, telah berpindah status kewarganegaraan, eksodus ke Negara
Bagian Sabah ataupun memiliki KTP ganda (Indonesia dan Malaysia). Konon,
penyebabnya adalah faktor ekonomi, kesehatan, dan pendidikan yang tak
terlayani dengan baik.
Jika
informasi itu benar, sulit dibantah bahwa pemerintah telah gagal menjalankan tugas
konstitusi, khususnya terkait pernyataan dalam pembukaan UUD 1945: ’’…
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa …’’.
Pada
tingkat tertentu, lagi-lagi jika berita itu benar, sebenarnya pihak
penyelenggara negara yang harus dikenai sanksi, baik itu parlemen maupun
kepala negara, termasuk di dalamnya pemerintah daerah. Dalam bahasa politik
hukum, untuk presiden yang melanggar konstitusi, wajar jika dikenai
impeachment. Namun, tentu ini tak bisa dilakukan sekarang karena pemerintahan
Jokowi-JK baru mulai dan rezim sebelumnya telah berlalu.
Pertanyaannya,
adakah perasaan bersalah bagi para pemerintah pendahulu Jokowi-JK? Hanya
merekalah yang bisa menjawab. Tapi, pasti rezim masa lalu berupaya akan
selalu menghindar dari tanggung jawab ’’pelanggaran konstitusi’’ itu.
Mengapa? Jawabannya sangat kultural sosiologis, yakni karena sudah dianggap
biasa. Ya…, biasa menyaksikan penderitaan banyak orang yang terus diabaikan
dan mereka tak pernah protes. Atau, kalaupun protes, dianggap bagai angin
yang berlalu. Sementara itu, para pejabat penyelenggara negara hidup mewah
dengan berbagai fasilitas yang dibiayai dengan uang dari rakyat.
Rakyat
miskin kerap diabaikan karena dianggap tak punya kontribusi secara ekonomi,
bahkan mungkin dianggap sebagai beban sosial dan negara. Dan anehnya,
kebanyakan masyarakat miskin itu terjebak dalam kultur ’’nrimo’’ dengan
mempersepsikan pemerintah ’’serbabenar’’.
Tetapi,
kultur ’’nrimo’’ ternyata hanya bisa bertahan di dalam masyarakat yang berada
di wilayah-wilayah seperti Pulau Jawa dan atau kota-kota besar, atau di
kampung-kampung yang masih bisa secara ketat tercengkeram para patron mereka.
Nasionalisme bagi kelompok masyarakat miskin yang tak terlayani di
wilayah-wilayah seperti itu tentu masih sangat kuat. Namun, jangan terlalu
berharap banyak untuk wilayah perbatasan, apalagi yang interaksinya lebih
intens dengan saudara-saudara mereka dari negara tetangga. Apalagi, pelayanan
untuk kebutuhan primer pun diperoleh langsung dari pemerintah negara
tetangga.
Fakta
kondisi fisik ekonomi dan sosial di wilayah perbatasan dengan Malaysia memang
sangat kontras. Di pihak Indonesia terasa sangat tertinggal dari berbagai
aspek. Padahal, dua kelompok warga yang beda nasib itu bukan hanya satu
rumpun, melainkan di antara mereka banyak yang masih dalam hubungan darah
atau bersaudara.
Itulah
sebabnya, mereka tak lagi berpikir ideologis keindonesiaan, tetapi lebih
berpikir realistis-pragmatis berhadapan dengan tuntutan hidup sehari-hari.
Ini merupakan bagian dari hukum atau postulat sosial kontemporer, di mana
aspek kesejahteraan sosial menjadi faktor paling menentukan dalam membangun
kesadaran nasionalisme. Ketika itu terabaikan, pada saat yang sama akan
tumbuh semangat ’’denasionalisme’’.
Selama
sepuluh tahun saya mengabdi di DPD RI, kritik atas kebijakan seperti itu
sebenarnya sudah sering dikemukakan. Sebab, basis dan orientasi kebijakan
anggaran pembangunan adalah jumlah penduduk dan administrasi pemerintahan.
Imbasnya, perhatian terfokus pada masyarakat di Pulau Jawa dan Sumatera serta
sejumlah pulau lain yang padat penduduknya. Sementara itu, di perbatasan,
perhatian sangat minim sehingga sulit berkembang. Daerah-daerah di pinggiran
semakin tertinggal saja, masyarakatnya pun termarginalkan.
Setelah
terjadi kasus eksodusnya sebagian warga negara itu ke administrasi dan lahan
negara tetangga, baru ada sedikit perhatian. Atau, nanti ada gerakan untuk
membebaskan diri jadi negara sendiri, baru kemudian diseriusi dan sekaligus
dijadikan sebagai bagian dari ’’proyek keamanan’’. Padahal, semua itu sebagai
wujud dari upaya menjadikan diri dan keluarga mereka hidup lebih sejahtera
melalui perhatian pemerintah secara berkeadilan.
Dalam
konteks administrasi kelembagaan pembangunan di Indonesia, sebenarnya
marginalisasi daerah dan masyarakat tak perlu terjadi. Sebab, terdapat empat
lembaga administrasi eksekutif yang saling terkait mengurus perbatasan. Dua
di tingkat nasional dan dua tingkat di daerah otonom.
Di
tingkat nasional, sudah eksis dua lembaga eksekutif, yakni Kementerian PDT
(yang sekarang berubah) dan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP).
Sementara itu, di tingkat daerah otonom, ada pemerintah provinsi dan
kabupaten atau kota. Jika lembaga empat itu saja berkoordinasi untuk membuat
perencanaan pembangunan secara bersama, sebenarnya kemarginalan itu tak akan
terjadi.
Barangkali
inilah yang jadi penyebab segala peristiwa di atas. Pertama, PDT dan BNPP
tidak memiliki visi dan agenda yang jelas bagaimana membangun wilayah
tertinggal di perbatasan. Kedua, penentuan anggaran parlemen terjebak pada
basis dapilnya, di mana kawasan perbatasan tidak dilirik. Ketiga, pemerintah
daerah tidak memiliki rencana terukur untuk memajukan daerahnya dengan fokus
pada infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan sosialnya. Keempat, pihak
pemerintah pusat melalui dua lembaga yang saling terkait itu tak melakukan
koordinasi imperatif pada pemda yang berada di wilayah perbatasan, sehingga
masing-masing jalan sendiri-sendiri dengan orientasi proyek pragmatis
tahunan.
Ke depan, masalah wilayah perbatasan seharusnya dikoordinasikan serta
mengoptimalkan peran BNPP. BNPP secara khusus fokus bangun daerah perbatasan
dengan anggaran yang harus memadai mulai 2015 nanti. Pada saat yang sama,
perlu segera membangun komitmen dengan pihak swasta untuk mengembangkan
wilayah perbatasan dengan cara memberikan insentif khusus pada mereka. Dengan
cara inilah, salah satunya, bisa diwujudkan visi pembangunan Jokowi-JK dengan
tema ’’membangun Indonesia dari pinggir’’. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar