Senin, 24 November 2014

Pertarungan Kepentingan di Laut

                             Pertarungan Kepentingan di Laut

Koesworo Setiawan  ;   Peneliti Reading Indonesia Project
(Ripro) Universitas Paramadina
KOMPAS,  22 November 2014

                                                                                                                       


DALAM pidato pelantikannya, Presiden Joko Widodo berjanji menempatkan samudra, laut, selat, dan teluk sebagai beranda depan. Presiden mengusung jargon ”tol laut” untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan transportasi, selain mendorong konektivitas antarwilayah. Sebagai bukti keseriusannya, Presiden menempatkan seorang Menteri Koordinator Kemaritiman yang khusus mengurus sektor kelautan.

Pilihan menempatkan laut sebagai peradaban Indonesia mendatang sangat masuk akal. Salah satu alasannya, kekayaan laut kita luar biasa melimpah. Pakar kelautan Rokhmin Dahuri mencatat, Indonesia memiliki 11 sektor ekonomi kelautan dengan nilai total diperkirakan 1,2 triliun dollar AS, sedikit lebih besar daripada produk domestik bruto. Laut juga sanggup menyediakan lapangan kerja bagi 40 juta orang (Dahuri, 2014).

Namun, butuh cucuran keringat agar kekayaan itu benar-benar membawa kemakmuran bagi rakyat. Presiden dan para pembantunya harus sanggup mengatasi permasalahan laut yang teramat pelik dan multidimensional. Dari aspek penegakan hukum, keamanan, dan keselamatan pelayaran, laut kita menjadi arena berlangsungnya berbagai jenis tindak kejahatan, di antaranya perompakan, pencurian ikan, pengapalan kayu dan bahan tambang ilegal. Laut juga menjadi jalur penyelundupan bahan kebutuhan pokok, senjata, narkoba, human trafficking, people smuggling, dan jalur lintas teroris. Kecelakaan pelayaran juga masih jadi momok. Merujuk data Komite Nasional Keselamatan Transportasi 2007-2012, rata-rata kecelakaan kapal setiap tahun mencapai lima kejadian. Total korban tewas selama lima tahun terakhir sebanyak 671 jiwa atau lebih dari 55 jiwa per tahun.

Kondisi ini bukan karena laut kita tak bertuan. Setidaknya 15 instansi pemerintah memiliki kewenangan mengurus laut, tujuh di antaranya memiliki satuan tugas patroli. Tak kurang pula  23 regulasi yang mengatur laut. Kenyataannya, benang kusut di sektor maritim tetap sulit diurai.

Aparat kedodoran menjaga 5,8 juta kilometer persegi luas laut kita. Dalam derajat tertentu, keberadaan instansi maritim justru menjadi bagian dari masalah. Asosiasi Perusahaan Pelayaran Indonesia (INSA) mengaku, sebuah kapal bisa diperiksa beberapa kali oleh aparat dari instansi berbeda. Dengan dalih  memeriksa muatan dan dokumen kapal, ujung-ujungnya mereka minta uang.

Penyebab paling mendasar dari berbagai masalah di atas adalah kuatnya kepentingan sektoral setiap instansi. Tak jarang kuatnya kepentingan sektoral itu mereduksi kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan bangsa.

Ambil contoh, untuk menangani pencurian ikan, ada tiga instansi yang memiliki kewenangan, yakni TNI Angkatan Laut, Polisi Perairan, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Untuk mengatasi masalah, solusi yang kerap dipilih biasanya dengan menambah kapal patroli sehingga tak terhindarkan ada jorjoran pengadaan kapal patroli di antara mereka. Di lapangan, mereka menentukan sendiri wilayah laut yang menjadi target operasi. Koordinasi dan sinergi menjadi barang mewah.

Di lain pihak, tidak jarang terjadi dua instansi atau lebih menangani tindak pidana di laut, di waktu dan zona yang sama. Kasus-kasus benturan kepentingan antarinstansi keamanan di laut kerap terjadi. Hal ini diperburuk oleh tata regulasi sektor maritim yang menciptakan overlapping dan ego sektoral.  Regulasi membentuk cara berpikir dan bersikap eksklusif.

Semua merasa menjadi raja. Permintaan peminjaman kapal untuk operasi bersama kerap dijawab: ”Kapal tidak ada, dipakai untuk operasi sendiri.”  Tingginya ego sektoral membuat oknum aparat nakal leluasa mengeruk keuntungan pribadi—termasuk dengan pungutan liar—karena mereka mengawasi diri sendiri.

Inilah pekerjaan rumah besar salah satu sektor maritim yang harus diselesaikan apabila pemerintah serius menjadikan laut sebagai pilar peradaban. Agenda krusialnya adalah menata ulang atau jika perlu memangkas kewenangan ”para raja” yang menguasai laut di atas sehingga ego sektoral tereduksi. Pemerintah harus siap dan berani menghadapi resistensi. Pembentukan sea and coast guard, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, mendesak untuk segera diwujudkan. Dengan begitu, sinergitas kinerja instansi maritim bisa tercipta di bawah struktur komando yang jelas. Jalesveva jayamahe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar