Penaikan
Harga BBM dan Kemiskinan
Posman Sibuea ; Guru Besar Universitas Katolik Santo Thomas
Sumatra Utara
|
MEDIA
INDONESIA, 20 November 2014
PRESIDEN Joko Widodo akhirnya memutuskan
untuk menaikkan harga BBM bersubsidi yang berlaku mulai 18 November 2014.
Jokowi mengakui bahwa kebijakan itu merupakan kebijakan yang berat sebagai
sebuah bangsa. Harga premium ditetapkan dari Rp6.500 menjadi Rp8.500. Harga
solar ditetapkan dari Rp5.500 menjadi Rp7.500.
Keputusan penaikan harga bahan
bakar minyak bersubsidi menjadi hal dilematis bagi pemerintah. Persoalan
harga BBM saling terkait dengan berbagai aspek kehidupan sehingga sulit
dipecahkan. BBM sebagai sumber energi utama tidak hanya untuk transportasi,
tetapi juga untuk industri. Jika harga BBM dinaikkan, hal itu akan
mendongkrak biaya transportasi barang-barang kebutuhan yang pada akhirnya
ditanggung konsumen dalam bentuk harga produk yang semakin mahal. Maka,
seiring dengan itu pemerintah telah mencanangkan gerakan hemat BBM bersubsidi
dan mengeluarkan kebijakan untuk membantu masyarakat miskin lewat tiga kartu
sakti, yakni Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan
Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
Kian menggelembung
Konsekuensi logis penaikan harga
BBM guna mengurangi subsidi, secara otomatis akan berdampak langsung terhadap
harga kebutuhan pokok dan inflasi kian menggelembung. Yang pada gilirannya
akan menggiring jutaan penduduk Indonesia yang semula berada di sekitar garis
kemiskinan menjadi miskin dan yang berada di bawah garis kemiskinan menjadi
semakin miskin (the depth of poverty).
Penduduk miskin di Indonesia
saat ini jumlahnya sekitar 30 juta orang. Namun, jika harga BBM dinaikkan,
jumlah kemiskinan bertambah secara bermakna. Proses pemiskinan akan dialami
sekitar 18,5 juta rumah tangga yang identik dengan 74 juta jiwa.
Secara kuantitatif, dari hasil
simulasi, tambahan orang miskin baru jika harga BBM dinaikkan bisa mencapai 2
sampai 3 kali lipat dari sebelumnya, pengangguran terbuka baru bisa mencapai
20 juta jiwa, dan kenaikan harga barang bisa mencapai 30%.
Ketiga kenyataan itu ialah
indikator makro yang menunjukkan betapa dahsyatnya implikasi penaikan harga
BBM terhadap ekonomi masyarakat jika tanpa diimbangi dengan kompensasi yang
memadai.Akar masalah masih besarnya subsidi BBM sebenarnya ialah rendahnya
daya beli sebagian besar masyarakat karena mereka hidup dalam lingkaran
kemiskinan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa
salah jika peme rintah menyubsidi harga BBM.Yang benar ialah menyubsidi orang
(yang berhak menerima BBM) secara langsung. Jadi, masalahnya bagaimana bisa
memberlakukan harga BBM yang tak lagi disubsidi, tetapi tetap bisa memberikan
subsidi (dalam bentuk jaminan sosial atau pemberdayaan ekonomi yang padat
karya dan berkelanjutan) kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkannya
secara tepat sasaran.
Desakan masyarakat untuk tidak
menaikkan harga BBM bersubsidi di tengah fluktuasi harga minyak mentah dunia
menjadi `pil pahit' bagi penyelenggara negara. Pemerintah harus mampu
mengendalikan konsumsi BBM dan listrik agar tidak melebihi pagu anggaran
subsidi energi pada APBN. Jika harga BBM tidak dinaikkan, pemerintah harus
menutup besaran subsidi dari pos lain.
Opsinya melakukan penghematan dan
efisiensi anggaran pada semua kegiatan.
Namun, kebijakan penghematan anggaran
dapat berdampak kontraproduktif terhadap perekonomian. Sejatinya fungsi
belanja pemerintah ialah untuk menstimulus perekonomian nasional.
Untuk mencegah membengkaknya
subsidi energi sekaligus menyelamatkan APBN, pemerintah harus melakukan
pembatasan sekaligus pengawasan ketat konsumsi BBM bersubsidi dan listrik.
Penggunaan premium harus diperketat dengan mekanisme yang bisa diandalkan
sehingga penggunaan BBM bersubsidi bisa dikurangi dan pemanfaatannya
berhasil.
Pilihan sulit
Saat ini, pemerintah memang
menghadapi pilihan sulit. Penaikan harga BBM ialah isu paling sensitif yang
bisa merembet ke masalah sosial dan memicu gejolak yang tidak sehat, apalagi
waktunya baru saja Jokowi dilantik menjadi presiden.
Peningkatan daya beli masyarakat
ekonomi lemah dan pengembangan energi alternatif ialah satu paket solusi yang
harus sungguh-sungguh dilakukan secara berkelanjutan. Selain itu, satu hal
yang lebih penting dari momen krisis energi kali ini dapat dijadikan sebagai
tendangan bola pertama untuk melakukan gerakan hemat energi dalam segala
aspek kehidupan.
Revitalisasi gerakan hemat
energi ialah roh penyelamat bagi anggaran negara agar tidak jebol menahan
beban subsidi BBM yang kelewat besar. Meminta masyarakat untuk berhemat ialah
tindakan yang baik dan bijaksana.Namun, lebih bijaksana kalau para
pemimpinnya memberi contoh untuk berhemat mulai dari hal-hal kecil. Tanpa
teladan, mustahil ajakan gerakan hemat energi akan berhasil.Mengubah
kebiasaan masyarakat penggunaan energi dalam waktu singkat sama sulitnya
dengan mengubah kebiasaan para pejabat dalam kasus yang sama.
Urusan berhemat sebenarnya
menjadi tugas utama para pengelola negara, baik di tingkat pusat maupun di
daerah.Di tingkat pusat, para pejabat eksekutif dan legislatif harus berperan
sebagai mesin untuk memutar roda hemat energi.Belanja kebutuhan kementerian
yang kurang penting bisa ditunda atau jika perlu harus dipangkas. Anggaran
yang tidak memiliki relevansi terhadap kesejahteraan, seperti biaya
perjalanan dinas ke luar negeri harus dinolkan.
Di daerah, para pejabat Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) harus berani mengevaluasi pos-pos anggaran yang
tidak berdampak bagi kemaslahatan kehidupan warga dan pelayanan rakyat. Kebiasaan
lama yang harus menghabiskan anggaran di akhir tahun untuk sejumlah kegiatan
yang tampaknya asal jadi dan dibuatbuat harus ditiadakan. Pengadaan barang
dan fasilitas para pejabat serta fasilitas kantor yang tidak tepat sasaran
harus dihilangkan.
Gerakan dan kampanye hemat
energi yang dilakukan baik di tataran para menteri maupun pejabat di bawahnya
akan bermakna manakala diimbangi dengan empati dan kepedulian yang berasal
dari seluruh pejabat di berbagai kementerian. Implikasinya, bukan masyarakat
semata yang diminta mengerti kesulitan pemerintah. Sebaliknya, pemerintah
harus mengerti keinginan masyarakat. Bila perlu, setelah mengumumkan
kebijakan itu para pejabat sudah harus mengumumkan bahwa mereka pun sudah
hemat habis-habisan.
Kita sangat merindukan teladan
dari para pejabat yang hidup sederhana dan berempati dengan kondisi
rakyatnya.Untuk itulah, jika pemerintah dalam hal ini presiden mengajak
berhemat, harus ditunjukkan dengan bentuk-bentuk teladan yang bisa dicontoh
rakyatnya. Justru yang selama ini dipertontonkan kepada rakyat ialah
sikap-sikap hedonis para pejabat baik dari kalangan eksekutif maupun
legislatif.
Mereka sering menghamburkan uang
rakyat hanya untuk menambah fasilitas para pejabat dari tingkat pusat hingga
di daerah. Belum lagi sejumlah penyimpangan dalam pengelolaan keuangan
negara.Kasus-kasus korupsi dengan jumlah uang yang begitu besar telah menjadi
kebiasaan para pejabat publik dan elite politik di republik ini.
Di tengah berbagai perilaku
buruk sebagian besar para elite politik, dapatkah ajakan Presiden Joko Widodo
untuk berhemat itu bisa punya makna? Ajakan berhemat harus dimulai dari para
pejabat dan petinggi di republik ini.
Oleh
karena itu, dalam kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi yang sudah
diberlakukan, presiden diharapkan patut mengeluarkan instruksi penting. Untuk
menyelamatkan postur APBN agar tidak defisit, maka gaji menteri, kepala
daerah, anggota DPR/ DPRD dan pejabat eselon I, II, dan III dipotong 20%.
Segala fasilitas berupa uang transpor, uang pulsa, uang listrik, dan
tunjangan lainnya dikurangi hingga 50%. Jika hal ini bisa diwujudkan secara
baik, gerakan hemat energi bukan sekadar retorika belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar