Minggu, 23 November 2014

Penaikan Harga BBM dan Kemiskinan

                      Penaikan Harga BBM dan Kemiskinan

Posman Sibuea  ;   Guru Besar Universitas Katolik Santo Thomas Sumatra Utara
MEDIA INDONESIA,  20 November 2014

                                                                                                                       


PRESIDEN Joko Widodo akhirnya memutuskan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi yang berlaku mulai 18 November 2014. Jokowi mengakui bahwa kebijakan itu merupakan kebijakan yang berat sebagai sebuah bangsa. Harga premium ditetapkan dari Rp6.500 menjadi Rp8.500. Harga solar ditetapkan dari Rp5.500 menjadi Rp7.500.

Keputusan penaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi menjadi hal dilematis bagi pemerintah. Persoalan harga BBM saling terkait dengan berbagai aspek kehidupan sehingga sulit dipecahkan. BBM sebagai sumber energi utama tidak hanya untuk transportasi, tetapi juga untuk industri. Jika harga BBM dinaikkan, hal itu akan mendongkrak biaya transportasi barang-barang kebutuhan yang pada akhirnya ditanggung konsumen dalam bentuk harga produk yang semakin mahal. Maka, seiring dengan itu pemerintah telah mencanangkan gerakan hemat BBM bersubsidi dan mengeluarkan kebijakan untuk membantu masyarakat miskin lewat tiga kartu sakti, yakni Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).

Kian menggelembung

Konsekuensi logis penaikan harga BBM guna mengurangi subsidi, secara otomatis akan berdampak langsung terhadap harga kebutuhan pokok dan inflasi kian menggelembung. Yang pada gilirannya akan menggiring jutaan penduduk Indonesia yang semula berada di sekitar garis kemiskinan menjadi miskin dan yang berada di bawah garis kemiskinan menjadi semakin miskin (the depth of poverty).

Penduduk miskin di Indonesia saat ini jumlahnya sekitar 30 juta orang. Namun, jika harga BBM dinaikkan, jumlah kemiskinan bertambah secara bermakna. Proses pemiskinan akan dialami sekitar 18,5 juta rumah tangga yang identik dengan 74 juta jiwa.

Secara kuantitatif, dari hasil simulasi, tambahan orang miskin baru jika harga BBM dinaikkan bisa mencapai 2 sampai 3 kali lipat dari sebelumnya, pengangguran terbuka baru bisa mencapai 20 juta jiwa, dan kenaikan harga barang bisa mencapai 30%.

Ketiga kenyataan itu ialah indikator makro yang menunjukkan betapa dahsyatnya implikasi penaikan harga BBM terhadap ekonomi masyarakat jika tanpa diimbangi dengan kompensasi yang memadai.Akar masalah masih besarnya subsidi BBM sebenarnya ialah rendahnya daya beli sebagian besar masyarakat karena mereka hidup dalam lingkaran kemiskinan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa salah jika peme rintah menyubsidi harga BBM.Yang benar ialah menyubsidi orang (yang berhak menerima BBM) secara langsung. Jadi, masalahnya bagaimana bisa memberlakukan harga BBM yang tak lagi disubsidi, tetapi tetap bisa memberikan subsidi (dalam bentuk jaminan sosial atau pemberdayaan ekonomi yang padat karya dan berkelanjutan) kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkannya secara tepat sasaran.

Desakan masyarakat untuk tidak menaikkan harga BBM bersubsidi di tengah fluktuasi harga minyak mentah dunia menjadi `pil pahit' bagi penyelenggara negara. Pemerintah harus mampu mengendalikan konsumsi BBM dan listrik agar tidak melebihi pagu anggaran subsidi energi pada APBN. Jika harga BBM tidak dinaikkan, pemerintah harus menutup besaran subsidi dari pos lain. 
Opsinya melakukan penghematan dan efisiensi anggaran pada semua kegiatan. 
Namun, kebijakan penghematan anggaran dapat berdampak kontraproduktif terhadap perekonomian. Sejatinya fungsi belanja pemerintah ialah untuk menstimulus perekonomian nasional.

Untuk mencegah membengkaknya subsidi energi sekaligus menyelamatkan APBN, pemerintah harus melakukan pembatasan sekaligus pengawasan ketat konsumsi BBM bersubsidi dan listrik. Penggunaan premium harus diperketat dengan mekanisme yang bisa diandalkan sehingga penggunaan BBM bersubsidi bisa dikurangi dan pemanfaatannya berhasil.

Pilihan sulit

Saat ini, pemerintah memang menghadapi pilihan sulit. Penaikan harga BBM ialah isu paling sensitif yang bisa merembet ke masalah sosial dan memicu gejolak yang tidak sehat, apalagi waktunya baru saja Jokowi dilantik menjadi presiden.

Peningkatan daya beli masyarakat ekonomi lemah dan pengembangan energi alternatif ialah satu paket solusi yang harus sungguh-sungguh dilakukan secara berkelanjutan. Selain itu, satu hal yang lebih penting dari momen krisis energi kali ini dapat dijadikan sebagai tendangan bola pertama untuk melakukan gerakan hemat energi dalam segala aspek kehidupan.

Revitalisasi gerakan hemat energi ialah roh penyelamat bagi anggaran negara agar tidak jebol menahan beban subsidi BBM yang kelewat besar. Meminta masyarakat untuk berhemat ialah tindakan yang baik dan bijaksana.Namun, lebih bijaksana kalau para pemimpinnya memberi contoh untuk berhemat mulai dari hal-hal kecil. Tanpa teladan, mustahil ajakan gerakan hemat energi akan berhasil.Mengubah kebiasaan masyarakat penggunaan energi dalam waktu singkat sama sulitnya dengan mengubah kebiasaan para pejabat dalam kasus yang sama.

Urusan berhemat sebenarnya menjadi tugas utama para pengelola negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah.Di tingkat pusat, para pejabat eksekutif dan legislatif harus berperan sebagai mesin untuk memutar roda hemat energi.Belanja kebutuhan kementerian yang kurang penting bisa ditunda atau jika perlu harus dipangkas. Anggaran yang tidak memiliki relevansi terhadap kesejahteraan, seperti biaya perjalanan dinas ke luar negeri harus dinolkan.

Di daerah, para pejabat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) harus berani mengevaluasi pos-pos anggaran yang tidak berdampak bagi kemaslahatan kehidupan warga dan pelayanan rakyat. Kebiasaan lama yang harus menghabiskan anggaran di akhir tahun untuk sejumlah kegiatan yang tampaknya asal jadi dan dibuatbuat harus ditiadakan. Pengadaan barang dan fasilitas para pejabat serta fasilitas kantor yang tidak tepat sasaran harus dihilangkan.

Gerakan dan kampanye hemat energi yang dilakukan baik di tataran para menteri maupun pejabat di bawahnya akan bermakna manakala diimbangi dengan empati dan kepedulian yang berasal dari seluruh pejabat di berbagai kementerian. Implikasinya, bukan masyarakat semata yang diminta mengerti kesulitan pemerintah. Sebaliknya, pemerintah harus mengerti keinginan masyarakat. Bila perlu, setelah mengumumkan kebijakan itu para pejabat sudah harus mengumumkan bahwa mereka pun sudah hemat habis-habisan.

Kita sangat merindukan teladan dari para pejabat yang hidup sederhana dan berempati dengan kondisi rakyatnya.Untuk itulah, jika pemerintah dalam hal ini presiden mengajak berhemat, harus ditunjukkan dengan bentuk-bentuk teladan yang bisa dicontoh rakyatnya. Justru yang selama ini dipertontonkan kepada rakyat ialah sikap-sikap hedonis para pejabat baik dari kalangan eksekutif maupun legislatif.

Mereka sering menghamburkan uang rakyat hanya untuk menambah fasilitas para pejabat dari tingkat pusat hingga di daerah. Belum lagi sejumlah penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara.Kasus-kasus korupsi dengan jumlah uang yang begitu besar telah menjadi kebiasaan para pejabat publik dan elite politik di republik ini.

Di tengah berbagai perilaku buruk sebagian besar para elite politik, dapatkah ajakan Presiden Joko Widodo untuk berhemat itu bisa punya makna? Ajakan berhemat harus dimulai dari para pejabat dan petinggi di republik ini.

Oleh karena itu, dalam kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi yang sudah diberlakukan, presiden diharapkan patut mengeluarkan instruksi penting. Untuk menyelamatkan postur APBN agar tidak defisit, maka gaji menteri, kepala daerah, anggota DPR/ DPRD dan pejabat eselon I, II, dan III dipotong 20%. Segala fasilitas berupa uang transpor, uang pulsa, uang listrik, dan tunjangan lainnya dikurangi hingga 50%. Jika hal ini bisa diwujudkan secara baik, gerakan hemat energi bukan sekadar retorika belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar