Religiusitas
Kaum Nelayan
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 21 November 2014
Suatu
hari saya terlibat diskusi kecil dengan seorang antropolog agama UIN Jakarta,
Prof Jamhari Makruf, mengapa masyarakat nelayan senang mengadakan ritual doa
disertai melepas sesaji ke laut? Menurutnya, ini bermula dari rasa cemas
ketika mereka melaut mencari ikan.
Tidak
saja cemas, mereka juga merasa dirinya sangat kecil dan takut menghadapi
kemungkinan datangnya ombak besar dan ganas yang bisa menenggelamkan mereka.
Sementara mereka tidak memiliki ladang penghasilan kecuali dari laut sehingga
mereka selalu berharap agar laut berbaik hati. Sehingga memudahkan mereka
dalam menangkap ikan yang merupakan satu-satunya sandaran kehidupannya.
Perasaan
takut menghadapi laut yang sedemikian besar, luas, dan dalam ini benar-benar
membuat seorang nelayan merasa sangat kecil dan takluk di hadapan lautan.
Karena itu, kaum nelayan lalu secara berkala mengadakan ritual dan sesaji
membujuk penguasa laut agar tidak mendatangkan malapetaka bagi mereka.
Setiap
upacara ritual yang bernuansa keagamaan selalu terdapat dua kandungan pokoknya.
Pertama , meminta pada penguasa semesta agar terhindar dari malapetaka. Kedua,
terima kasih atas kebaikan-Nya.
Secara
antropologis, kita dapat membedakan tiga kategori masyarakat dalam menyikapi
misteri alam. Pertama, mereka yang berada dalam tahap alam mistis. Mereka
berpandangan dan berkeyakinan bahwa alam sekelilingnya itu penuh kekuatan
gaib semacam dewa sehingga yang dominan adalah rasa takut.
Para
dewa ini mesti dibujuk dan diberi sesaji agar tidak marah. Bagi masyarakat
mistis, jika terjadi ombak besar, hujan lebat, gunung meletus, anak hilang di
pantai, penyakit menular, semua itu kemarahan para dewa karena kesalahan ulah
manusia. Agar tidak terulang lagi, biasanya masyarakat melakukan ruwatan,
ritual dan sesaji, serta minta ampun.
Kategori
kedua adalah cara pandang ontologis yaitu masyarakat yang mulai memandang
perilaku alam secara rasional, baik berkat pendidikan maupun pengalaman
panjang hidupnya sehingga pada fase ini masyarakat bisa memahami secara
rasional mengapa terjadi banjir, hujan lebat, dan ombak besar, serta penyakit
menular penyebabnya bukan karena dewa penguasa jagat marah, melainkan itu
kebiasaan alam yang terjadi secara berkala yang bisa dijelaskan dengan nalar.
Dalam
istilah akademis, itu hukum alam yang berlaku berdasarkan rangkaian sebab-akibat.
Yang diperlukan bagi para nelayan adalah memahami siklus alam, kapan ombak
besar, kapan musim hujan, dan bagaimana membuat saluran air yang baik serta
menjaga kebersihan agar terjauh dari penyakit.
Dalam
tahap ini posisi alam dan manusia sejajar, sedangkan dalam alam mistis
manusia merasa dikuasai alam.
Kategori
ketiga adalah masyarakat yang merasa sudah maju dalam penggunaan sains dan
teknologinya sehingga merasa mampu mengeksplorasi, merekayasa, dan menguasai
alam. Jika nelayan kecil takut pada ombak, pencari ikan yang menggunakan
kapal besar dengan peralatan teknologi canggih tak lagi takut pada ombak dan
hujan lebat. Mereka tak lagi percaya pada pertolongan sesaji dan ritual
doa-doa dalam menangkap ikan di tengah laut. Analisis dan perhitungan sains
dalam membaca cuaca dan ombak lebih penting ketimbang ritual doa-doa dan
memberikan sesaji pada penguasa laut.
Lalu,
bagaimana dengan religiusitas kaum nelayan Indonesia? Sebagian tentu masih
berada dalam kurungan alam mistis meski sebagian dari mereka telah
mendapatkan sentuhan sains dan teknologi modern serta ajaran keagamaan yang
bersumber wahyu Ilahi. Namun, mitos-mitos tentang penjaga lautan yang minta
sesaji juga masih bertahan sampai sekarang yang diceritakan dari generasi ke
generasi.
Adapun
sosok Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang berhasil membina
karier sebagai eksportir ikan tentu saja sudah berada pada tahapan fungsional. Dia bahkan
menggunakan pesawat terbang untuk ekspor ikan ke mancanegara. Secara sadar
dia ingin melindungi nelayan kecil dari desakan dan perampokan kapal asing
yang menguras ikan di perairan Indonesia.
Secara
antropologis kehadiran negara sangat diperlukan untuk melindungi nelayan
kecil yang selalu dicekam waswas dan takut, baik karena ganasnya ombak,
langkanya ikan, maupun langkanya bahan bakar minyak untuk menggerakkan
kapalnya. Secara perlahan campur tangan negara akan menggeser sikap mistis
dalam mengatasi sulitnya mencari ikan.
Mereka
mengharapkan perlindungan tidak saja pada penguasa lautan, tetapi juga uluran
tangan negara, teknologi modern, dan bantuan bahan bakar minyak. Betapapun
rajinnya nelayan berdoa dan membuat sesaji, jika tidak disertai teknologi
modern serta perlindungan negara, pasti akan kalah bersaing dengan
maling-maling asing yang lebih canggih teknologinya meski mereka belum tentu
beragama.
Alam
pikiran mistis di Nusantara ini tentu tidak akan hilang, terlebih lagi bagi
masyarakat penduduk sekitar pantai selatan yang ombaknya besar dan sering
menelan korban manusia. Namun, untuk wilayah pesisir utara masyarakatnya
lebih rasional dan terbuka.
Mungkin
dipengaruhi oleh sejarah panjang yang mempertemukan beragam penduduk,
pedagang, dan nelayan asing sehingga di daerah pesisir utara tradisi
berdagang lebih berkembang dibanding penduduk pesisir selatan. Bayangkan,
sekian hari terombang-ambing di lautan yang penuh risiko, pasti memunculkan
dorongan berdoa pada penguasa lautan.
Sikap nelayan pada lautan itu mendua. Satu sisi sangat mencintai dan
berterima kasih pada lautan, di sisi lain sangat takut akan ganasnya ombak
dan kemungkinan langkanya ikan yang hendak mereka tangkap. Ada juga ketakutan
lain yaitu mahalnya harganya bahan bakar minyak
dan kalah bersaing dengan nelayan asing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar