Selasa, 25 November 2014

Merenungi Epistemologi Bencana

                              Merenungi Epistemologi Bencana

Eko Yulianto  ;   Peneliti Paleotsunami dan Kebencanaan LIPI
KOMPAS,  24 November 2014

                                                                                                                       


MESKI tak menyebabkan jatuhnya korban jiwa, gempa kuat dengan skala magnitudo 7,3 di Laut Maluku Utara pada 15 September 2014 kembali mengejutkan masyarakat. Media cetak, media elektronik, dan media sosial nasional berlomba-lomba memuat penjelasan para ahli dan para birokrat penanggulangan bencana tentang mengapa gempa ini bisa terjadi. Pola ini selalu terulang dalam setiap kejadian bencana. Meski mungkin menarik dari sudut pandang keilmuan, penjelasan para ahli itu justru lebih sering melahirkan ketakutan generik di masyarakat. Ini karena penjelasan-penjelasan itu sering menyebutkan secara tersamar ataupun terbuka bahwa wilayah Indonesia adalah rawan bencana. Posisi geografis dan geologis Indonesia dijadikan alasannya. Namun, apakah dengan posisi geografis dan geologis itu, bencana, khususnya yang selama ini disebut sebagai bencana alam, adalah sebuah keniscayaan di wilayah Indonesia?

Egoistik manusia

Sesungguhnya bencana bukanlah bencana alam atau bencana non-alam, atau bencana sosial seperti didefinisikan di dalam UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Kalau ini anggapan kita dan yang kita ajarkan kepada masyarakat dan anak- anak kita, ibaratnya kita sedang mengajarkan kepada mereka untuk menyalahkan kodok saat terjatuh ketika sedang berjalan. Karena, perilaku alam bersifat netral. Anggapan baik dan buruknya muncul karena pandangan egoistik manusia. Alam dikodratkan bersifat pasif sehingga hanya bisa merespons. Alam ibarat sebuah cermin yang hanya bisa memantulkan apa yang dihadapkan kepadanya. Jika kebaikan yang kita hadapkan kepadanya, kebaikan pula yang akan kita terima. Keburukan yang kita sodorkan kepadanya, keburukan pula yang kita dapatkan.

Gunung meletus, gempa bumi, longsor, banjir, tsunami, dan angin puting beliung sudah ada sejak ada bumi, jauh sebelum kehadiran manusia. Semua itu termasuk kodrat yang telah ditetapkan bagi bumi. Ada atau tidak ada manusia, bumi tetap akan berperilaku sesuai kodratnya itu. Gunung-gunungnya tetap akan meletus, gempa-gempanya tetap akan terjadi, tsunaminya tetap berulang kali melanda daratan, longsornya tetap menyambangi lereng-lereng terjal, hujan-hujan derasnya setia mengguyur wilayah-wilayah tropisnya, angin puting beliungnya akan berulang kali mengunjungi. Karena, itu semua adalah ”napas bumi”, bukti bahwa bumi ini hidup.

Sebagai gambaran nyata, tsunami Aceh pada 26 Desember 2004, yang merenggut ratusan ribu nyawa manusia, bukanlah yang pertama kali terjadi. Hasil penelitian geologi terkini memberikan bukti bahwa tsunami serupa pernah terjadi di tempat yang sama sekitar 550, 1.700, dan 2.400 tahun yang lalu.

Seandainya penelitian geologi dilakukan untuk rentang waktu yang lebih panjang, mungkin kita akan mendapatkan bukti untuk ratusan tsunami serupa yang terjadi dalam rentang waktu ribuan, ratusan ribu, atau jutaan tahun yang lalu. Yang membedakan tsunami 2004 dengan tsunami-tsunami sebelumnya adalah tsunami sebelumnya tidak mengakibatkan bencana. Karena sangat sedikit manusia atau tidak ada manusia sama sekali yang tinggal di dataran pantai saat tsunami-tsunami itu terjadi.

Gempa, bahkan dengan magnitudo terbesar sekali pun, tidak ada dan tidak akan mengakibatkan kematian. Yang menyebabkan kematian adalah robohnya bangunan, terjadinya tanah longsor, kebakaran, atau hal lain akibat guncangan gempa. Jadi, kalau kita mampu membuat bangunan dan rumah yang tahan atau ramah gempa, niscaya kita tidak akan menjadi korban gempa akibat tertimpa rumah kita sendiri. Kalau kita tidak tinggal di dataran pantai yang rawan tsunami, tetapi di atas bukit di belakangnya, niscaya kita tak akan jadi korban tsunami. Kalau kita tak membangun rumah di lereng terjal, niscaya kita tak akan menjadi korban tanah longsor. Kalau kita tidak menebangi hutan secara membabi buta, tidak tinggal di bantaran sungai, dan tidak membuang sampah di sungai, niscaya kita tidak akan kebanjiran. Kalau kita berlaku baik dan sewajarnya kepada semua orang tanpa pandang bulu, niscaya tidak akan ada kerusuhan sosial.

Pada sisi lain, mekanisme yang menghasilkan gempa-gempa inilah yang mengangkat daratan Indonesia dari dasar lautan sejak jutaan tahun lalu, membentuk pulau-pulau, bukit, dan gunung dengan segala keindahan di dalamnya. Gempa-gempa itu pula yang retakan-retakannya menjadi ruang-ruang yang saat ini ditempati oleh minyak bumi, emas, perak, tembaga, dan berbagai bahan tambang yang lain.

Gunung meletuslah yang membuat tanah-tanah menjadi subur dan air tersimpan melimpah di dalam tanahnya. Longsor dan banjirlah yang menghamparkan sedimen dan membentuk tanah-tanah datar yang subur dan nyaman ditinggali. Curah hujan yang sangat tinggilah yang menghidupkan tumbuhan setelah matinya dan menghidupi semua makhluk lainnya. Lalu, adilkah kalau kita menyalahkan perilaku-perilaku bumi sebagai penyebab terjadi bencana?

Membangkitkan kesadaran

Maka, jika kita tidak menghendaki gempa, gunung meletus, longsor, dan banjir itu karena menuduhnya sebagai biang keladi semua bencana yang terjadi selama ini, adilnya kita mesti menolak anugerah minyak, segala bahan tambang, kesuburan tanah, melimpahnya air, serta kekayaan flora dan fauna yang ada di bumi Indonesia saat ini.  Kalau hingga saat ini gempa, tsunami, tanah longsor, banjir, musim kemarau panjang, angin puting beliung, kebakaran, kerusuhan sosial, dan kegagalan teknologi masih menyebabkan banyak kerugian dan korban, semua itu terjadi karena perilaku kita. Ini berarti masih banyak perilaku kita yang harus diperbaiki. Selama perilaku kita masih belum baik kepada alam sekitar dan kepada sesama kita, niscaya bencana-bencana masih akan terus terjadi.

Banyak dari kita yang bahkan ”menyalahkan” Tuhan ketika bencana menimpa. Katanya, Tuhan sedang murka atau sedang menghukum karena perilaku buruk kita. Namun, bukankah kasih sayang-Nya jauh mendahului murka-Nya? Dia jadikan bencana itu pantulan cermin atas perilaku kita. Ia jadikan bencana itu jalan untuk membangkitkan kesadaran kita untuk segera mengubah perilaku buruk kita menjadi perilaku baik. Karena itu, cermin tersebut masih akan terus disodorkan oleh-Nya sepanjang perilaku kita kepada diri kita sendiri, lingkungan, dan sesama manusia masih buruk. Dia menginginkan manusia bisa hidup nyaman di bumi yang sejak semula diciptakan dipenuhi-Nya dengan berbagai keindahan.

Jadi, untuk bagian bumi yang saat ini disebut sebagai wilayah Indonesia, kejadian gempa, tsunami, letusan gunung api, banjir, dan tanah longsor adalah sebuah keniscayaan. Karena, begitulah kodrat bagi bumi tempat kita tinggal ini telah ditetapkan oleh-Nya. Semua fenomena itu adalah tanda-tanda bahwa ”bumi kita hidup”. Namun, bahwa kejadian-kejadian itu akan mengakibatkan bencana bagi kita, barulah sebatas kemungkinan.

Sebagai sebuah perenungan, dapatlah disampaikan bahwa bencana sesungguhnya adalah jalan Tuhan untuk membangkitkan kesadaran. Adalah tangan yang membuat seorang anak mampu merangkak dari semula duduk, lalu berdiri, berjalan tertatih dan kemudian sempurna, lalu berlari. Inti dari bencana bukanlah kerugian, kehilangan, kesakitan, kepedihan, atau penderitaan. Ia adalah sebuah cermin besar yang disediakan. Ia mestinya membangkitkan kesadaran tentang masih banyaknya noda yang mengotori wajah-wajah peradaban kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar