Minggu, 23 November 2014

E-KTP Dicengkeram Asing

                                       E-KTP Dicengkeram Asing

Hemat Dwi Nuryanto  ;   Lulusan UPS Toulouse, Prancis
KORAN JAKARTA,  19 November 2014

                                                                                                                       


Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, untuk sementara menghentikan pembuatan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) karena kecerobohan pemerintahan yang lalu. Diduga proyek e-KTP tersebut sarat penyimpangan. E-KTP bisa dikatakan dalam cengkeraman pihak asing. Ada sejumlah fakta yang sangat merugikan dan bisa membahayakan bangsa Indonesia, di antaranya dugaan kuat terjadi korupsi dalam proyek itu. Server yang digunakan e-KTP ternyata milik negara lain sehingga database sebagai rahasia negara rentan diakses asing untuk komersial dan politik yang dapat melemahkan bangsa.

Kemudian, pihak vendor e-KTP tidak menggunakan perangkat lunak sumber terbuka (open source). Akibatnya Kemendagri tidak bisa mengembangkan lebih lanjut sistem tersebut. Demikian juga dengan pemeliharaan yang selalu tergantung vendor asing sepanjang waktu. Masih banyak kesalahan database terkait kolom isian dalam e-KTP.

Proyek ini sangat amburadul dan amat merugikan negara. Maka, mestinya segera diusut tuntas oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Begitu juga Polri harus sigap mengusut kasus data kependudukan yang kini dalam cengkeraman asing. Padahal, data tersebut jelas-jelas rahasia negara yang tidak boleh diumbar begitu saja.

Perangkat lunak dalam e-KTP saat ini sangat bertentangan dengan kebijakan dasar tentang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang tertuang dalam Indonesia Go Open Source (IGOS). Kebijakan TIK nasional mengarah untuk menggunakan dan mengembangkan perangkat lunak sumber terbuka. IGOS dideklarasikan Kementerian Ristek, Kementerian Kominfo, Kementerian Hukum-HAM, Kementerian PAN-RB, dan Kementerian Pendidikan.

Gerakan IGOS melibatkan seluruh stakeholder TIK seperti akademisi, sektor bisnis, pemerintah, dan masyarakat lain. Hal itu dimulai dengan program menggunakan perangkat lunak sumber terbuka di lingkungan instansi pemerintah. Sistem dan perangkat e-KTP mestinya tidak boleh melalui pengadaan nasional yang monopolistik dan beraroma kolusi oleh vendor asing. Mereka memakai samaran pengusaha nasional dan lembaga pemerintah. Mestinya megaproyek e-KTP senilai 6,6 triliun rupiah itu melibatkan sebanyak mungkin pengembang dan perusahaan dalam negeri.

Proyek e-KTP hanya terkait dengan sistem business intelegent, data base, dan analisis kependudukan untuk pembangunan serta kondisi darurat. Dengan situasi yang terlanjur amburadul seperti sekarang, kesalahan pemilihan teknologi e-KTP mengakibatkan negara tersandera vendor asing.

Harus ada audit total atau investigative audit megaproyek e-KTP, baik terkait dengan pembiayaan ataupun teknologi. Tingginya komponen impor dalam proyek e-KTP juga sangat menyedihkan. Padahal, realitas industri elektronika di negeri kini hidup segan mati tak mau.

Mestinya pemerintah menjadikan SIAK aplikasi terpusat (centralized application) yang bisa diakses dari tempat perekaman data penduduk (TPDP) yang berbasis di kecamatan. Aplikasi tersebut hendaknya tidak bersifat konformitas dan monopoli dari segi teknologi.

Sistem SIAK mestinya tidak menggunakan database dan application server yang mahal dan bersifat dedicated ke vendor asing. Apalagi para pengembang dalam negeri saat ini telah mampu membuat beberapa aplikasi, di antaranya untuk modul pendaftaran penduduk berupa administrasi biodata, KK, dan KTP. Dalam modul ini juga dimungkinkan perekaman data dan pencetakan dokumen KTP dan KK. Ada juga modul pencatatan sipil berupa administrasi pendataan kelahiran, kematian, perkawinan, dan perceraian.

Modul ini juga berfungsi sebagai pencetakan akta kelahiran, kematian, perkawinan, maupun perceraian dan perekaman data. Lalu modul pelaporan yang berisi data rekapitulasi administrasi kependudukan seperti buku induk penduduk dan rekapitulasi penduduk.

Selama ini, pembuatan e-KTP mendapat sorotan tajam. Banyak pertanyaan, sejauh mana manfaat e-KTP untuk meningkatkan tata kelola kependudukan dan kesejahteraaan sosial. Apa manfaat nyata e-KTP bagi rakyat? Ironisnya, e-KTP juga belum menjadi pendukung andal penyelenggaraan pemilu.

Kabur

Dalam pandangan masyarakat awam, e-KTP memang berhenti kepada wujud blangko yang materialnya terbuat dari bahan polyethylene yang di dalamnya tertanam chip. Dia dirancang dengan keamanan pencetakan dengan hologram. Awam tidak memahami nilai tambah blangko e-KTP yang kelewat mahal itu.

Fungsi e-KTP dalam konteks global menjadi minimalis dan bernuasa pemborosan luar biasa. Hingga kini fungsi strategis e-KTP masih kabur. Kalau cuma untuk membuat nomor kependudukan tunggal dan mendukung daftar pemilih tetap (DPT) pemilu, bukan manfaat esensial.

Fungsi manfaat pasti e-KTP terkait hak kesejahteraan dan terkelolanya aspek kependudukan secara efektif yang multiguna. Fungsi lainnya proses pembangunan di segala bidang memiliki tingkat akurasi, transparasi, dan analisis bagus karena berbasis data kependudukan real time.

Spesifikasi perangkat keras dan lunak e-KTP terdiri dari chip, reader, atau writer chip pada blangko. Kemudian Automated Fingerprint Identification System (AFIS) yang terdiri dari perangkat server, klien, sistem AFIS, pemindai sidik jari (fingerprint scanner) dan aplikasi, ternyata tidak memiliki utilisasi signifikan terkait kebutuhan tahapan pemilu. AFIS juga belum tentu bersifat kompatibel dengan sistem informasi pemilu yang antara lain untuk menentukan akurasi DPT dan bebas dari manipulasi pemilih.

Perangkat e-KTP diimpor mahal dengan spesifikasi teknis yang berlebihan, 6,6 triliun rupiah, tapi belum bisa mengonsolidasi database yang cerdas untuk lintas bidang bernegara (sosial, demokrasi, ekonomi, pendidikan, dan hankam). Padahal perkembangan teknologi web service saat ini mestinya bisa mewujudkan intelligence kependudukan yang diterapkan dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai kecamatan.

Kejanggalan megaproyek e-KTP juga terlihat dari keputusan yang memilih interface nirkontak (contactless) pada chip. Keputusan yang kurang logis tersebut bisa membengkakkan anggaran. Ada selisih biaya sekitar 1 dollar AS per blangko. Padahal, dalam dunia perbankan yang memiliki prinsip kehati-hatian sangat tinggi saja tidak perlu menggunakan interface nirkontak untuk kartu kredit dan ATM.

Meskipun sudah memakan anggaran sangat besar, e-KTP masih sebatas sebagai alat identitas diri. Dia belum terintegerasi secara cerdas dengan aspek lain seperti medical record, rekening bank, dan lainnya. Bandingkan dengan kartu di Malaysia, MyKad (elektonik ID Malaysia). Dia sebagai kartu identitas dan SIM. Dia juga berfungsi sebagai basic medical data, public key infrastructure, e-Cash, dan transit.

Padahal, UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan telah mengatur chip dalam e-KTP mestinya menyimpan data peristiwa kelahiran, kematian, perkawinan, dan perceraian. Data lain adalah pengakuan, pengesahan, dan pengangkatan anak. Di sini termasuk juga perubahan nama dan status kewarganegaraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar