Minggu, 23 November 2014

Kampus Krisis Nalar Etik

                                        Kampus Krisis Nalar Etik

Mailatun Nasiroh  ;   Peneliti Utama Centre for Developing Islamic Gender
SINAR HARAPAN,  20 November 2014

                                                                                                                       


Publik sempat dibuat tidak percaya dengan derasnya pemberitaan media massa tentang keterlibatan seorang akademikus, Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, yang melakukan tindakan tidak terpuji. Ia adalah Profesor Musakkir (M), yang diringkus aparat kepolisian saat berpesta sabu-sabu bersama mahasiswinya, Nilam, di Hotel Grand Malibu, Makassar.

Dunia pendidikan tinggi, terutama kampus, kembali tercoreng akibat ulah akademikus yang bernalar etik. Biasanya, kasus-kasus yang lumrah terjadi di kalangan akademikus sejauh ini terjadi karena plagiarisme dan kasus korupsi yang melanda akademikus dengan tugas sebagai pejabat publik. Nah, kasus yang menimpa M boleh dikatakan sangat membuat prihatin dunia pendidikan sepanjang tahun ini. Tidak mengherankan jika kasus M membuat tersentak karena menjadi tamparan keras bagi dunia akademik.

Kasus yang sedang menimpa M telah mencederai korps guru besar yang sejatinya menjadi garda terdepan penjaga moral dan integritas kampus. Seharusnya, dengan basis ilmu dan integritas yang dimiliki, guru besar menjadi role model akademikus muda dalam mengembangkan keilmuan. Kita mesti ingat akan posisi seorang profesor yang menempati posisi paling paripurna nan sempurna dalam menapaki karier akademik. Ini karena tidak semua akademikus bisa meraih gelar profesor.

Apalagi, salah satu persyaratan mengajukan guru besar (profesor) adalah memublikasi penelitian di sebuah jurnal internasional. Karena itu, ketatnya persyaratan ini menjadikan guru besar lebih selektif sebagai upaya akselerasi akademik di Indonesia.
Selain itu, M telah menelanjangi kebobrokan kampus dengan perlahan-lahan membuka topengnya yang selama ini berada di menara gading. M telah membuka cara berpikir kita bahwa kampus bukan tempat para malaikat pembawa perubahan.
Berilmu namun tidak bermoral adalah hal yang sangat miris bagi kemajuan bangsa. Karena itu, menjadi manusia yang berilmu harus diimbangkan dengan ilmu spiritual dan emosional sehingga ada keseimbangan kepribadian.

Apalah arti seorang profesor jika tidak mencerminkan teladan yang baik bagi dunia, walapun secara logika perkembangan tingkat pertimbangan seseorang amat berhubungan dengan tingkat intelegensi pengetahuan tentang moral yang lebih tinggi dan kecakapan seseorang dalam memahami nilai-nilai kehidupan.

Seorang William Franklin Jr mengemukakan, “When wealth is lost, nothing is lost. When health is lost, something is lost. When character is lost, everything is lost” (Jika harta benda yang hilang, tidak ada sesuatu berarti yang hilang. Jika kesehatan yang hilang, ada sesuatu yang hilang. Jika karakter hilang, segala sesuatunya hilang).

Mengembalikan Citra Kampus
Kampus adalah ruang berdialektika untuk mencari kebenaran demi kebenaran dalam ruang lingkup personal maupun sosial kemasyarakatan. Kampus juga mempunyai visi dan nilai-nilai luhur yang dianutnya.

Kampus tidak lain sebagai ruang pengembangan keilmuan lewat tridarma perguruan tingginya; pengajaran, penelitian, dan pengabdian. Oleh sebab itu, kampus adalah ruang membentuk karakter kepribadian yang utuh sehingga nantinya dapat memosisikan diri di tengah embusan angin perubahan yang kian kencang.

Tidak bisa dimungkiri, kasus M sangat berdampak terhadap kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan kampus. Dengan kebebasan informasi, masyarakat sekitar sudah semakin pintar memilih dan memilah informasi. Secara etis, kasus M sudah membuat citra kampus dalam wajah yang tidak menguntungkan.

Kampus kehilangan fungsi vitalnya di tengah masyarakat. Kampus mulai tergerus cita-cita luhurnya sebagai kekuatan transformasi sosial, pusat agent of change bagi penerus bangsa.

Mengembalikan citra baik kampus di tengah hiruk-pikuk kasus M adalah pekerjaan yang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Paling tidak, sivitas akademika berusaha mengokohkan visi dan nilai luhur yang dianutnya.

Mengembalikan kepercayaan publik kepada kampus sebagai agen pembangunan sosial rasanya menjadi agenda penting yang harus dilakukan. Salah satunya gerakan tes urine secara temporer, mungkin bisa dilakukan untuk mengurangi penyebaran narkoba di kampus. Kita masih percaya kampus adalah pembawa perubahan bangsa ini ke arah yang lebih sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar