Memotong
Habitus Konflik TNI-Polri
Umbu TW Pariangu ; Dosen Fisipol Undana, Kupang
|
JAWA
POS, 21 November 2014
DUA
kesatuan, yakni Brimob Polda Kepri dan TNI Yonif 134 Tuah Sakti, terlibat
baku tembak di Batam, Rabu (19/11). Insiden tersebut berawal dari adu pandang
antar kedua oknum aparat saat mengisi bahan bakar di dekat markas Brimob.
Karena tersinggung, sejumlah oknum TNI Batalyon 134 Tuah Sakti menyerang
markas Brimobda Kepri di Tembesi serta melakukan perusakan barak dengan kayu
dan benda-benda keras. Akibatnya, letusan senjata antar kedua kesatuan tak
terelakkan. Masyarakat sekitar pun panik dan resah, satu orang dari pihak TNI
dikabarkan terluka.
Ini
merupakan bentrokan kedua dalam tiga bulan terakhir. Sebelumnya, bentrokan
terjadi Minggu malam, 21 September 2014, ketika petugas kepolisian setempat
menggerebek gudang penyimpanan BBM ilegal. Empat anggota Batalyon 134 Tuah
Sakti dikabarkan mengalami luka terkena tembakan anggota Brimob.
Peristiwa
tersebut tentu saja mencoreng wajah dua institusi yang seharusnya berada di
garda terdepan dalam menciptakan stabilitas dan keamanan negara. Sekaligus
tamparan bagi wajah kebijakan keamanan nasional yang sampai kini masih gagal
menyemai rasa aman terhadap warga. Berdasar data Pusat Studi Politik dan
Keamanan Unpad, konflik TNI-Polri pada 2014 sudah terjadi delapan kali. Dan,
jika dihitung dalam kurun 1999–2014, jumlah insiden sudah mendekati 200 kasus
dengan korban tewas 20 orang. Tak heran, sejumlah survei mengonstatasi betapa
rasa aman warga terus berada di titik nadir. Repetisi kekerasan oleh aparat
bisa menjadi sinyal bahwa roh pelembagaan institusi keamanan tengah
bermasalah.
Sejatinya
kekhawatiran kita bukan sebatas angka insidennya, tapi lebih dari itu. Yang
ditakutkan adalah terjadinya semacam fenomena bunuh diri negara yang
dilegitimasi lewat habitus baru dalam menyelesaikan persoalan atau
menyelamatkan kepentingan kelompok. Di mana simbol atau atribut negara atas dasar
solidaritas dan arogansi sempit kesatuan dengan mudah melakukan personifikasi
kekerasan dan mereproduksi keresahan-keresahan berikutnya di tengah eskalasi
kekerasan rutin (perampokan, pembunuhan, dan konflik keyakinan) yang masih
menganga dan belum tertangani dengan tuntas. Habitus ini harus dipotong jika
tak ingin wajah negara terus babak belur di hadapan rakyat.
Menurunnya
nilai kemanusiaan (devaluation of human
life) dan kesabaran sosial (social
temper) tidak bisa dijadikan arsenal bagi para petinggi Polri dan TNI
untuk membatasi analisis penyebab konflik hanya sebatas persoalan moralitas
individu. Cara ini hanya menjebak kita dalam logika simplifikatif bahwa
konflik antar-aparat itu hanyalah persoalan individual/oknum, bukan korps.
Padahal, dari beberan fakta sejauh ini, jatuhnya korban selalu terkait dengan
gesekan konflik yang masif dengan mengikutsertakan identitas dan simbol
lembaga. Oleh karena itu, kunci penyelesaian perlu dicari ke akar mendasar.
Cemburu
Seperti
yang sudah sering disinggung, pemicu keributan TNI-Polri, antara lain, adanya
rivalitas memperebutkan jatah pengamanan fasilitas publik (tempat-tempat
hiburan) maupun perusahaan eksplorasi kekayaan alam. Secara fungsional, TNI
hadir sebagai penjaga kedaulatan negara dan menjaga tanah air dari ancaman
bangsa lain, sedangkan Polri bertugas menjaga keamanan dalam negeri. Namun,
seiring kompleksitas tantangan dan kebutuhan di lapangan, wewenang dua
institusi tersebut terdistorsi karena munculnya kecemburuan ekonomis dan
praktik saling menegasi.
Dalam
beberapa kasus, TNI dan Polri kerap bersaing membekingi berbagai aktivitas
perusahaan, legal maupun ilegal. Intensitas gesekan dua kesatuan ini dalam
mendominasi jasa sekuritas terjadi di daerah-daerah yang memiliki kekayaan
alam seperti di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua dalam bentuk bisnis
penjualan kayu, pengiriman bahan kebutuhan pokok masyarakat (sembako dan
BBM), dan sebagainya. Ironisnya, ini seakan permisif karena didukung
’’spirit’’ membangun jiwa entrepreneurship
yang dianggap sebagai syarat meningkatkan profesionalitas TNI-Polri. Padahal,
jenis bisnis yang dimainkan rentan melahirkan api gesekan kepentingan, mulai
kepemilikan rekening gendut hingga konflik senjata. Jika tak ada sanksi yang
tegas terhadap distorsi wewenang ini, termasuk upaya menciptakan renumerasi
yang layak dan adil kepada TNI-Polri, konflik serupa akan terjadi terus.
Arogansi
Selain
masalah minimnya kesejahteraan, konflik TNI-Polri dipicu arogansi
kelembagaan, terutama pasca pemisahan TNI dan Polri yang kemudian menempatkan
Polri langsung di bawah Presiden. Posisi ini dianggap mereduksi warisan
historis TNI sebagai kekuatan prominen dalam pembentukan NKRI. Akibatnya,
Polri seakan memiliki kewenangan ekspansif dalam menjalankan fungsi primer pengamanannya.
Contohnya bisa dilihat pada pengizinan penggunaan seragam loreng militer oleh
anggota Brimob yang dianggap ’’melucuti’’ simbol ketentaraan serta munculnya
wacana untuk merevisi larangan politik praktis bagi polisi sebagaimana
tertuang dalam PP Nomor 2 Tahun 2003 pasal 5 yang dianggap membelenggu hak
berpolitik polisi. Bahkan, menurut rencana, revisi tersebut akan dimasukkan
dalam program legislasi Polri pada 2015.
Jika wacana dan kebutuhan ini tak dikelola secara arif, kedua institusi
tak pelak kian dikelilingi benih-benih konflik. Tak ada salahnya usulan agar
kepolisian ditempatkan di bawah Kemendagri dan Depkumham
dipertimbangkan sesuai dengan semangat pemerintahan Jokowi untuk menciptakan
revolusi mental melalui reformasi posisi antara kekuasaan dengan institusi
keamanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar