Minggu, 23 November 2014

Memotong Habitus Konflik TNI-Polri

                       Memotong Habitus Konflik TNI-Polri

Umbu TW Pariangu  ;   Dosen Fisipol Undana, Kupang
JAWA POS,  21 November 2014

                                                                                                                       


DUA kesatuan, yakni Brimob Polda Kepri dan TNI Yonif 134 Tuah Sakti, terlibat baku tembak di Batam, Rabu (19/11). Insiden tersebut berawal dari adu pandang antar kedua oknum aparat saat mengisi bahan bakar di dekat markas Brimob. Karena tersinggung, sejumlah oknum TNI Batalyon 134 Tuah Sakti menyerang markas Brimobda Kepri di Tembesi serta melakukan perusakan barak dengan kayu dan benda-benda keras. Akibatnya, letusan senjata antar kedua kesatuan tak terelakkan. Masyarakat sekitar pun panik dan resah, satu orang dari pihak TNI dikabarkan terluka.

Ini merupakan bentrokan kedua dalam tiga bulan terakhir. Sebelumnya, bentrokan terjadi Minggu malam, 21 September 2014, ketika petugas kepolisian setempat menggerebek gudang penyimpanan BBM ilegal. Empat anggota Batalyon 134 Tuah Sakti dikabarkan mengalami luka terkena tembakan anggota Brimob.

Peristiwa tersebut tentu saja mencoreng wajah dua institusi yang seharusnya berada di garda terdepan dalam menciptakan stabilitas dan keamanan negara. Sekaligus tamparan bagi wajah kebijakan keamanan nasional yang sampai kini masih gagal menyemai rasa aman terhadap warga. Berdasar data Pusat Studi Politik dan Keamanan Unpad, konflik TNI-Polri pada 2014 sudah terjadi delapan kali. Dan, jika dihitung dalam kurun 1999–2014, jumlah insiden sudah mendekati 200 kasus dengan korban tewas 20 orang. Tak heran, sejumlah survei mengonstatasi betapa rasa aman warga terus berada di titik nadir. Repetisi kekerasan oleh aparat bisa menjadi sinyal bahwa roh pelembagaan institusi keamanan tengah bermasalah. 

Sejatinya kekhawatiran kita bukan sebatas angka insidennya, tapi lebih dari itu. Yang ditakutkan adalah terjadinya semacam fenomena bunuh diri negara yang dilegitimasi lewat habitus baru dalam menyelesaikan persoalan atau menyelamatkan kepentingan kelompok. Di mana simbol atau atribut negara atas dasar solidaritas dan arogansi sempit kesatuan dengan mudah melakukan personifikasi kekerasan dan mereproduksi keresahan-keresahan berikutnya di tengah eskalasi kekerasan rutin (perampokan, pembunuhan, dan konflik keyakinan) yang masih menganga dan belum tertangani dengan tuntas. Habitus ini harus dipotong jika tak ingin wajah negara terus babak belur di hadapan rakyat.

Menurunnya nilai kemanusiaan (devaluation of human life) dan kesabaran sosial (social temper) tidak bisa dijadikan arsenal bagi para petinggi Polri dan TNI untuk membatasi analisis penyebab konflik hanya sebatas persoalan moralitas individu. Cara ini hanya menjebak kita dalam logika simplifikatif bahwa konflik antar-aparat itu hanyalah persoalan individual/oknum, bukan korps. Padahal, dari beberan fakta sejauh ini, jatuhnya korban selalu terkait dengan gesekan konflik yang masif dengan mengikutsertakan identitas dan simbol lembaga. Oleh karena itu, kunci penyelesaian perlu dicari ke akar mendasar.

Cemburu

Seperti yang sudah sering disinggung, pemicu keributan TNI-Polri, antara lain, adanya rivalitas memperebutkan jatah pengamanan fasilitas publik (tempat-tempat hiburan) maupun perusahaan eksplorasi kekayaan alam. Secara fungsional, TNI hadir sebagai penjaga kedaulatan negara dan menjaga tanah air dari ancaman bangsa lain, sedangkan Polri bertugas menjaga keamanan dalam negeri. Namun, seiring kompleksitas tantangan dan kebutuhan di lapangan, wewenang dua institusi tersebut terdistorsi karena munculnya kecemburuan ekonomis dan praktik saling menegasi.

Dalam beberapa kasus, TNI dan Polri kerap bersaing membekingi berbagai aktivitas perusahaan, legal maupun ilegal. Intensitas gesekan dua kesatuan ini dalam mendominasi jasa sekuritas terjadi di daerah-daerah yang memiliki kekayaan alam seperti di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua dalam bentuk bisnis penjualan kayu, pengiriman bahan kebutuhan pokok masyarakat (sembako dan BBM), dan sebagainya. Ironisnya, ini seakan permisif karena didukung ’’spirit’’ membangun jiwa entrepreneurship yang dianggap sebagai syarat meningkatkan profesionalitas TNI-Polri. Padahal, jenis bisnis yang dimainkan rentan melahirkan api gesekan kepentingan, mulai kepemilikan rekening gendut hingga konflik senjata. Jika tak ada sanksi yang tegas terhadap distorsi wewenang ini, termasuk upaya menciptakan renumerasi yang layak dan adil kepada TNI-Polri, konflik serupa akan terjadi terus.

Arogansi

Selain masalah minimnya kesejahteraan, konflik TNI-Polri dipicu arogansi kelembagaan, terutama pasca pemisahan TNI dan Polri yang kemudian menempatkan Polri langsung di bawah Presiden. Posisi ini dianggap mereduksi warisan historis TNI sebagai kekuatan prominen dalam pembentukan NKRI. Akibatnya, Polri seakan memiliki kewenangan ekspansif dalam menjalankan fungsi primer pengamanannya. Contohnya bisa dilihat pada pengizinan penggunaan seragam loreng militer oleh anggota Brimob yang dianggap ’’melucuti’’ simbol ketentaraan serta munculnya wacana untuk merevisi larangan politik praktis bagi polisi sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 2 Tahun 2003 pasal 5 yang dianggap membelenggu hak berpolitik polisi. Bahkan, menurut rencana, revisi tersebut akan dimasukkan dalam program legislasi Polri pada 2015.

Jika wacana dan kebutuhan ini tak dikelola secara arif, kedua institusi tak pelak kian dikelilingi benih-benih konflik. Tak ada salahnya usulan agar kepolisian ditempatkan di bawah Kemendagri dan Depkumham dipertimbangkan sesuai dengan semangat pemerintahan Jokowi untuk menciptakan revolusi mental melalui reformasi posisi antara kekuasaan dengan institusi keamanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar