Senin, 24 November 2014

Nasib PSC dan Masa Depan Industri Hulu Migas

       Nasib PSC dan Masa Depan Industri Hulu Migas

M Hakim Nasution  ;   Managing Partner of Hakim dan Rekan Law Office, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  20 November 2014

                                                                                                                       


TIDAK ada yang akan menyangkal jika Indonesia dikatakan kaya akan sumber daya alam termasuk sumber daya energi. Namun, untuk mendapatkan manfaat sebesarbesarnya atas kekayaan alam tersebut, bukanlah pekerjaan gampang. Perlu dilakukan kegiatan-kegiatan eksplorasi juga produksi minyak dan gas (migas) yang memerlukan dana tidak sedikit, teknologi yang mahal, serta berisiko tinggi.

Indonesia ditengarai masih memiliki potensi cadangan migas baru sebesar 43,7 miliar barel. Tentunya, potensi migas itu masih perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan eksplorasi lanjutan untuk menjadikannya sebagai cadangan migas yang terbukti. Mengingat bahwa saat ini potensi cadangan migas umumnya terletak di wilayah laut dalam atau di daerah yang sangat minim infrastruktur. Hal tersebut tentu berdampak pada tingginya kebutuhan biaya dan teknologi bagi siapa pun yang akan melakukan kegiatan eksplorasi.

Dalam hal itu, pemerintah Indonesia tidak mau mengambil risiko yang sedemikian besar itu sendirian. Oleh karena itu, bermitra dengan pihak swasta baik nasional maupun asing merupakan satu-satunya pilihan agar pemerintah Indonesia mampu mengembangkan sumber daya migas dengan risiko yang minim serta memberikan manfaat yang optimal.

Dalam mengelola sektor migas pemerintah Indonesia menggunakan sistem kerja sama bagi hasil atau yang dikenal sebagai Production Sharing Contract (PSC). Sistem kerja sama ini pertama kali diperke nalkan Ibnu Sutowo pada 1956, namun PSC baru benar-benar diterapkan pada 1966.

Syarat dan ketentuan PSC ditetapkan pemerintah semata-mata untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Model PSC itu telah digunakan lebih dari 72 negara di dunia yang tersebar di Afrika Utara, Asia, Timur Tengah, Amerika Utara, dan Amerika Selatan.

Kepercayaan perusahaan migas atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan komitmen pemerintah Indonesia dalam menjalankan PSC secara utuh telah mampu mendorong kegiatan eksplorasi yang diperlukan untuk menambah cadangan dan produksi nasional selama puluhan tahun.Meskipun tidak semua kegiatan eksplorasi memberikan hasil yang diharapkan bahkan menimbulkan kerugian puluhan triliun rupiah bagi KKKS, namun hal tersebut tidak mengurangi komitmen KKKS untuk menemukan cadangan migas dan peluang-peluang baru.

Sayangnya, masih banyak masyarakat yang menduga bahwa pembagian produksi migas berdasarkan PSC telah merugikan negara. Padahal, selama ini sistem kerja sama PSC telah berhasil memberikan manfaat yang besar bagi pemerintah Indonesia dalam menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

Dalam PSC, KKKS harus menanggung semua risiko dan biaya yang dikeluarkan sampai ditemukannya cadangan migas bernilai komersial menurut pemerintah Indonesia. Apabila dalam proses nantinya tidak ditemukan cadangan migas yang memiliki nilai komersial, KKKS tidak berhak mendapatkan pengembalian biaya yang telah dikeluarkannya.

Ketika ditemukan cadangan migas yang memiliki nilai komersial, maka hasil produksi migas (dalam bentuk minyak atau gas) akan dibagi antara pemerintah Indonesia dan KKKS dengan kisaran pembagian minyak bumi 85% untuk pemerintah Indonesia dan KKKS 15%, sementara untuk gas pemerintah Indonesia menerima 65% ,sedangkan KKKS 35%.

Saat ini kegiatan eksplorasi migas menjadi sangat relevan untuk dilakukan di tengahtengah kondisi penurunan cadangan migas Indonesia yang diperkirakan hanya tersisa sekitar 3,9 miliar barel sementara konsumsi harian masyarakat terus meningkat mencapai 1,5 juta barel. Dengan konsumsi harian sebesar itu cadangan migas tersebut diperkirakan akan habis dalam kurun waktu beberapa puluh tahun mendatang sehingga kegiatan eksplorasi harus segera dilakukan.

Selain itu, penerimaan negara untuk APBN dari sektor migas masih dominan setelah pajak. Bahkan, realisasi penerimaan migas pada 2013 melebihi target yang ditetapkan, yaitu sebesar Rp305,57 triliun dari target yang ditetapkan sebesar Rp267,12 triliun. Hal itu memperlihatkan bahwa investasi di sektor hulu migas masih berperan penting untuk meningkatkan penerimaan negara dan oleh karenanya investasi sektor hulu migas perlu ditingkatkan.

Terkait dengan hal itu, pemerintahan Jokowi-JK dan jajarannya perlu memastikan bahwa PSC yang menjadi komponen utama dalam menarik investasi di sektor hulu migas dapat terus dijalankan secara utuh dan konsisten. Menurut data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga April 2014, investasi di sektor hulu migas mencapai US$6,88 miliar, sedangkan target investasi di 2014 sebesar US$25,44 miliar. Tidak mungkin kita berharap investasi di sektor hulu migas akan terus bertambah jika tidak ada kepastian hukum dan jaminan bagi investor bahwa kontrak yang telah disepakati akan dihormati sampai berakhirnya jangka waktu kontrak.

Sayangnya, mendung tebal saat ini sedang bergelayut di industri hulu migas Indonesia, menyusul keputusan bersalah dari Mahkamah Agung (MA) atas kasus hukum yang menimpa karyawan dan kontraktor PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) terkait program bioremediasi. Menurut kontrak PSC, semestinya setiap isu atau persoalan dalam proyek hulu migas termasuk bioremediasi itu dapat diselesaikan dengan mekanisme penyelesaian perdata yang sudah diatur dalam PSC. Putusan MA kepada karyawan CPI menimbulkan kecemasan bagi KKKS yang merasa tidak adanya kepastian dan perlindungan serta konsistensi hukum.

Keputusan MA terkait kegiatan bioremediasi sebetulnya menunjukkan ketidakpahaman aparatur penegak hukum di Indonesia terhadap PSC. Kekeliruan proses hukum itu pada akhirnya dapat berbuah pahit bagi rakyat Indonesia karena industri hulu migas merupakan penyumbang APBN terbesar.
Ketiadaan upaya hukum melawan putusan kasasi akan melemahkan posisi PSC sebagai dasar dilaksanakannya operasi hulu migas. Hal itu berarti semakin sulit bagi para investor untuk mengambil keputusan investasi di sektor hulu migas dan artinya perkembangan industri hulu migas terancam mengalami kemunduran

Kini tinggal menunggu langkah nyata Jokowi-JK untuk meluruskan kembali arah penegakan hukum dan kepatuhan atas ketentuan PSC dalam industri hulu migas nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar