Minggu, 23 November 2014

Data Penduduk Miskin

                                             Data Penduduk Miskin

Masri Hanus  ;   Lulusan Pasacasarjana University of Malaya, Kuala Lumpur,
Kini Widyaiswara Madya Kementerian Sosial
KORAN JAKARTA,  20 November 2014

                                                                                                                       


Pengentasan kemiskinan tidak mungkin berlangsung dengan baik tanpa dukungan data penduduk yang valid tentang jumlah riil penduduk miskin. Data penduduk miskin saat ini menggunakan standar data Badan Pusat Statistik (BPS) berdasar pengeluaran 80 sen dollar AS/orang/hari. Apakah ukuran tersebut masih relevan?

Sementara Bank Dunia menetapkan batas garis kemiskinan dengan standar pengeluaran dua dollar AS/orang/hari. Standar Indonesia ini membuat jumlah penduduk miskin yang dipublikasikan BPS jauh lebih kecil ketimbang riilnya.

Pada survei kemiskinan Maret 2014, BPS mendasarkan garis kemiskinan pada tingkat nasional dengan standar pengeluaran  10.000 rupiah/o/h atau 302. 375 rupiah /orang/bulan. Sementara rata-rata indikator kemiskinan di perkotaan ditetapkan berdasar pengeluaran 318.514rupiah/o/b, sedangkan indikator kemiskinan di perdesaan berdasar pada pengeluaran 286.097 rupiah/o/b.

Berangkat dari indikator itu, kondisi Maret 2014, jumlah penduduk miskin 28,28 juta jiwa (11,25 persen total penduduk). Jumlah penduduk miskin tersebut diklaim oleh pemerintahan SBY makin berkurang ketimbang tahun 2009 (32,53 juta jiwa atau 14,1 persen penduduk).

Presiden Joko Widodo ketika kampanye berjanji menurunkan jumlah penduduk miskin 5–6 persen dari 28,28 jiwa. Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa, menyasar 40 persen penduduk miskin dalam program pengentasan kemiskinan. Dia yakin jika indikator garis kemiskinan dinaikkan dari standar pengeluaran 80 sen dolar AS/o/h menjadi 1,5 dollar AS/o/h, jumlahnya mencapai 40 persen atau sekitar 100 juta jiwa, bukan 28,28 juta jiwa.

Angka ini akan mempersulit pemenuhan menurukan orang miskin sampai lima persen atau lima atau enam juta sampai 2019. Jika menggunakan angka BPS (28,28) lima persennya “hanya” satu setengah jutaan.

Membandingkan data jumlah penduduk miskin pemerintahan SBY yang ditampilkan BPS sebanyak 28,28 juta jiwa dengan milik Kementerian Sosial sekitar 100 juta penduduk miskin, jauh sekali. Publik mengharapkan agar pemerintahan Jokowi-JK berani menetapkan standar baru garis kemiskinan agar bisa diketahui jumlah riil orang miskin. Jumlah penduduk miskin dikatakan berkurang, tetapi dengan kasatmata masih kelihatan jutaan orang masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar karena daya beli rendah.

Jumlah gelandangan dan pengemis di perkotaan masih marak. Jumlah TKI yang mencari penghasilan di luar negeri terus meningkat. Pekerja anak di berbagai sektor tambah banyak karena orang tua tidak mampu membiayai pendidikan. Bahkan, anak diharuskan membantu mencari penghasilan keluarga. Semua itu merupakan sinyal bahwa pemerintah perlu secara transparan menampilkan data jumlah penduduk miskin secara nyata (riil), bukan  demi pencitraan.

Indeks kemiskinan manusia/IKM (Human poverty index/HPI) Indonesia masih lebih tinggi ketimbang Muangthai, Malaysia, apalagi Singapura. IKM merupakan himpunan atau gabungan berbagai faktor seperti berat badan ketika melahirkan, usia “batita” di bawah normal, usia harapan hidup, pendidikan, kesehatan masih rendah, dan kesulitan akses memperoleh air bersih.

Indek Pembangunan Manusia/IPM (Human development index/HDI) juga masih tinggi tahun 2014 dari 187 negara, Indonesia berada pada ranking 108. Walaupun IPM Indonesia mulai membaik ketimbang tahun 2013, tapi masih bertengger pada ranking 121 dari 186 negara. Ini berarti Indonesia berada pada tingkat medium human development.

Peluang

IPM yang mulai membaik antara lain ditopang pendapatan per kapita yang kini mencapai 4.000 dollar AS. Ini peluang pemerintahan Jokowi-JK meninjau kembali atau memperbarui indikator garis kemiskinan yang masih menggunakan standar pengeluaran hanya sekitar 10.000/o/h. Bagi Indonesia masih terlalu tinggi untuk saat ini menggunakan ukuran Bank Dunia untuk batas garis kemiskinan dengan standar dua dollar AS/o/h. Tetapi, cukup objektif jika pemerintahan Jokowi-JK menggunakan standar moderat 1,5 dollar AS/o/h (18.150 rupiah) menjadi 544.500/o/b dengan kurs 12.100 rupiah untuk 1 dollar AS.

Konsekuensi batas garis kemiskinan baru, jumlah orang miskin seperti sasaran Kementerian Sosial sekitar 100 juta. Angka 100 juta tidak terlalu “jomplang” dengan jumlah penerima bantuan iuran (PBI) dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS kesehatan yaitu sebanyak 86,6 juta PBI. Ini berati tiga kali lipat data jumlah penduduk miskin versi BPS Maret 2014 (28,28 juta). Data PBI pun belum seluruh penduduk miskin di berbagai pelosok.

Patut dicatat, masih terdengar banyak orang miskin saat sakit tidak bisa berobat ke puskemas atau rumah sakit penyelenggara BPJS Kesehatan. Artinya, nama mereka tidak terdata sebagai PBI BPJS kesehatan. Rakyat miskin yang belum tercatat sebagai PBI atau anak miskin, tapi belum masuk sebagai penerima bantuan siswa miskin (BSM) juga warga Indonesia. Nama mereka harus masuk dan dicatatkan sebagai penerima KIS dan KIP dalam program jaminan sosial serta perlindungan sosial pemerintahan sekarang.

Beban berat harus dipikul pemerintahan Jokowi-JK jika jumlah penduduk miskin bertambah. Apalagi APBN 2015 masih “cekak” karena harus membayar bunga utang luar negeri. Tetapi, pemerintah dituntut terbuka dan berjuang keras membantu rakyat miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar