Senin, 24 November 2014

Lingkaran Kebencian

                                               Lingkaran Kebencian

Trias Kuncahyono  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  22 November 2014

                                                                                                                       


INILAH ironinya: Jerusalem disebut sebagai ”kota damai”, tetapi yang hidup di dalamnya adalah kebencian. Kebencian sudah beranak pinak di kota itu.

Mengapa di kota yang pernah dikaruniai begitu banyak nabi itu hingga kini justru menjadi pusat konflik dunia? Justru menjadi tempat kebencian, dendam, dan keinginan saling menghancurkan hidup demikian subur? Siapa yang telah memasukkan kejahatan ke kota Jerusalem? Siapa yang meletakkan kebencian, kejahatan, dan balas dendam di tanah Palestina, sebentang tanah yang disebut-sebut mengalirkan susu dan madu?

Lihatlah, apa yang terjadi setelah tiga remaja Israel usia belasan tahun dikabarkan hilang dan ditemukan tewas di Tepi Barat pada Juni lalu. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memerintahkan untuk melakukan ”aksi balas dendam”.

Setelah perintah itu keluar, dilancarkan operasi militer yang diberi nama sandi Operation Protective Edge di Jalur Gaza. Perang berkobar selama berpekan-pekan. Hasilnya? Hampir 2.000 orang Palestina, termasuk 1.407 penduduk sipil—448 orang di antaranya anak-anak—tewas! Israel hanya kehilangan 3 warga sipil dan 64 tentara.

Sebelumnya, ketika pecah Perang Gaza akhir 2008 hingga awal 2009, yang oleh Israel disebut Operation Cast Lead, sebagai jawaban penembakan rudal oleh Hamas ke wilayah Israel, 1.400 orang Palestina tewas. Adapun Israel hanya kehilangan empat orang. Dari 1.400 orang Palestina yang tewas itu, 345 orang adalah anak-anak (The Christian Science Monitor, Juli 2014).

Masih soal korban tewas. Dari tahun 2000 hingga 2007—termasuk selama berkobar Intifada Kedua, 26 September 2000 hingga 8 Februari 2005—tercatat 4.228 orang Palestina tewas dan Israel kehilangan 1.024 orang. Dari jumlah korban sebanyak itu, baik Israel maupun Palestina, 971 orang di antara mereka adalah anak-anak. Dari 971 anak-anak korban perang, 854 orang adalah anak-anak Palestina.

Lalu, apa yang ingin dikatakan dengan kenyataan seperti itu? Apalagi, kini berkobar lagi kekerasan dan kekejaman di Jerusalem. Dua orang Palestina bersenjata menyerang sebuah sinagoga di Jerusalem timur, menewaskan empat orang Israel, termasuk tiga rabi. Jawaban Israel? Netanyahu memerintahkan pembalasan, antara lain menghancurkan rumah orang-orang Palestina yang dicuriga, didakwa, sebagai pelaku.

Benar bahwa Israel dan Palestina sudah terjerat dalam lingkaran kebencian dan keputusasaan. Dalam kondisi seperti itu, peluang untuk terciptanya perdamaian yang permanen tampaknya semakin tidak mungkin.

Perang memang sudah menjadi bagian dari sejarah umat manusia. Sepertinya sulit untuk memutus mata rantai peperangan itu. Padahal, semua tahu bahwa perang adalah suatu pembunuhan dan hasil yang dibuahkan adalah kerusakan dan kebencian. Karena itu, perang tidak akan mampu menghasilkan solusi bagi pemecahan konflik, bahkan cenderung memperluas.

Namun, ”Bagaimana mungkin ada perdamaian kalau tidak ada keadilan,” demikian pernah dikatakan oleh Yesaya atau Ysya’yahu atau Asya’yaa, seorang nabi yang hidup pada abad ke-8 sebelum Masehi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar