Minggu, 23 November 2014

Ikhtiar Menegakkan Multikulturalisme

                     Ikhtiar Menegakkan Multikulturalisme

Jamal Ma’mur A  ;   Peneliti dari Fiqh Sosial Institute Staimafa Pati,
Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah
SUARA MERDEKA,  21 November 2014

                                                                                                                       


“Bangsa Indoensia terbukti mampu mempraktikkan multikulturalisme dengan penuh persaudaraan”

KEMENTERIAN Agama akan menyelenggarakan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) di Samarinda Kalimantan Timur pada 21-24 November 2014. Kegiatan bertema ’’Merespons Tantangan Masyarakat Multikultural: Kontribusi Kajian Islam Indonesia’’ itu terasa penting mengingat realitas bangsa kita terdiri atas beragam kultur terkait dengan pluralitas suku, agama, ras, dan antargolongan. Multikulturalisme adalah ideologi yang menghargai kemajemukan dan menjadikannya sebagai aset dan potensi besar pembangunan. Dalam konteks Indonesia, multikulturalisme adalah realitas yang tidak bisa diingkari (sunnatullah) demi keutuhan NKRI, sesuai dengan filosofi Bhinneka Tunggal Ika, bersatu dalam perbedaan.

Peneguhan Islam yang menghargai multikulturalisme bangsa ini seperti sudah menjadi bagian dari sejarah perjalanan Indonesia. Teks Piagam Jakarta yang diganti dari primordial dan sektarian menjadi universal dan pluralistik adalah bukti kekokohan fondasi kebangsaan dan keislaman para pendiri bangsa ini.

Keislaman dan kebangsaan adalah dua elemen yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Islam yang dianut mayoritas anak bangsa ini datang dengan misi menebarkan kasih sayang bagi seluruh rakyat, lintas sektoral, bukan sebagai agama yang melahikan disintegrasi dan disharmoni antarelemen bangsa.

Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada KH Abdul Wahab Hazbullah sebagai tokoh agama dan bangsa adalah pengakuan pemerintah terhadap kontribusi besar kalangan Islam dalam mengobarkan nasionalisme dan patriotisme untuk kemerdekaan bangsa, dan mengisinya dengan pembangunan jasmani dan rohani.

Sebelumnya, gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada KH M Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahid Hasyim. Mereka tokoh yang mengawal proses berdirinya bangsa ini dengan semangat keislaman inklusif, moderat, dan progresif. Dalam konteks ini, kita tak bisa melupakan jasa besar KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), presiden ke- 4 yang merupakan agamawan dan pejuang demokrasi, pelindung kaum minoritas, dan HAM. Gus Dur berjuang untuk membumikan Islam rahmatan lil alamin, Islam yang menebarkan perdamaian, persaudaraan, dan kasih sayang, bukan agama yang menebarkan kebencian, permusuhan, dan intoleransi kepada elemen bangsa lain.

Piagam Madinah yang dirumuskan Nabi Muhammad bersama para pemimpin lintas sektoral di Madinah membuktikan eksistensi Islam sebagai agama pemersatu, bukan agama pemecah-belah. Nabi saw mampu menyatukan pemimpin Yahudi, Nasrani, suku, dan kabilah dalam satu visi bersama, yaitu menjaga keamanan, ketertiban, dan kebebasan menjalankan agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Tidak Kontradiktif Dalam Islam ada doktrin tidak ada paksaan dalam agama (la ikraha fiddin). Agama lahir dari kesadaran paling suci dalam diri manusia, bukan karena paksaan, ancaman, dan intimidasi kekuasaan.

Pembumian Islam sebagai agama yang menghargai multikultur mengharuskan agama Islam sebagai agama mayoritas bangsa ini untuk menggali doktrin-doktrin yang mempromosikan toleransi, kolaborasi, dan moderasi dengan elemen bangsa lain. Selain itu, mereinterpretasi doktrin yang berisiko disalahpahami sekelompok orang yang mengarah pada perilaku radikal, ekstrem, dan teror. Doktrin yang perlu dipromosikan antara lain urgensi musyawarah dalam mengambil tiap keputusan, tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, menjaga hak orang lain, pertanggungjawaban amal, larangan menzalimi orang lain, dan sebagainya.

Doktrin yang eksklusif dan radikal yang harus direinterpretasi dan dikontekstualisasi supaya tidak kontradiktif dengan prinsip utama Islam adalah doktrin yang menyatakan bahwa orang Islam itu lemah lembut kepada umat Islam tapi keras kepada orang kafir, larangan bekerja sama dengan nonmuslim, larangan mengucapkan salam, dan menganggap umat lain sebagai golongan sesat, dan sebagainya.

Doktrin seperti ini harus dimaknai secara parsial yang merespons kasus tertentu saat itu sehingga bersifat tidak pasti (temporer) dan tidak bisa dimaknai secara universal. Adapun kerja sama adalah doktrin yang pasti, yang mengikat seluruh umat Islam karena bersifat universal. Dunia adalah wahana aktualisasi seluruh potensi anak manusia lintas sektoral. Karena itu, kolaborasi untuk mencapai tujuan bersama adalah keniscayaan. Negara-negara Islam banyak belajar dari negara sekuler, seperti AS, Jepang, Jerman, Australia, Rusia, Tiongkok, Inggris, Prancis, dan begitu sebaliknya.

Prinsip saling membutuhkan harus ditanamkan dan permusuhan harus dihilangkan. Dunia membutuhkan ketenteraman, keamanan, dan kebersamaan. Kasus permusuhan yang ditampakkan oleh Islamic State dan agresi Israel ke Palestina harus diakhiri karena bertentangan dengan prinsip kemanusiaan, persaudaraan, dan multikulturalisme. Indonesia harus tampil sebagai negara terdepan yang menyuarakan multikulturalisme karena bangsa ini terbukti mampu mempraktikkannya dengan penuh persaudaraan sejak era prakemerdekaan hingga sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar