Minggu, 23 November 2014

Mental Subsidi

                                                         Mental Subsidi

Musyafak  ;   Staf di Balai Litbang Agama Semarang
KORAN TEMPO,  21 November 2014

                                                                                                                       


Kegaduhan selalu terjadi saban harga BBM dinaikkan. Ketika Presiden Joko Widodo menaikkan harga BBM bersubsidi, pro dan kontra pun terjadi di kalangan elite politikus, akademikus, hingga kalangan rakyat biasa. Di dalam gaduhnya kritik, dukungan, harapan, bahkan cemoohan itu, kelas menengah dan orang kaya termasuk kalangan yang nyinyir terhadap kenaikan BBM bersubsidi. Media sosial menjadi arena untuk menumpahkan kritik bernada kesal dan cemoohan.

Nyinyirnya orang-orang kaya mengenai naiknya harga BBM bersubsidi itu membuat seorang guru besar geregetan. Dalam linimasa Twitternya, sang profesor menulis: "Jangan pura-pura miskin. Berapa harga handphone kamu? Berapa ongkos Internetmu? Berapa harga air yang kau minum? Kau bayar kepada asing?" Sang profesor itu tentu salah satu dari sekian orang yang mengkritik balik orang-orang kaya yang mengeluhkan kenaikan harga Premium dan solar. Sepantasnya orang-orang kaya membeli Pertamax yang notabene BBM tanpa subsidi.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran. Subsidi sejatinya disasarkan untuk orang miskin yang daya belinya rendah terhadap BBM, namun justru lebih banyak dinikmati orang-orang kaya. Konsumsi bahan bakar di kalangan masyarakat kelas bawah yang menggunakan alat transportasi umum atau memakai sepeda motor kuantitasnya sedikit. Sebaliknya, banyak orang kaya bermobil, bahkan punya mobil lebih dari satu, "menggerogoti" subsidi Premium. Besaran konsumsi solar di kalangan nelayan kecil juga tidak seberapa jika dibandingkan dengan konsumsi truk-truk trailer milik perusahaan besar yang omzetnya miliaran rupiah per bulan.

Mental kelas menengah yang doyan menjilat subsidi bagi rakyat miskin itu barangkali tidak salah jika disebut sebagai "mental subsidi". Fenomena "bancakan" subsidi negara memang sudah mengental di masyarakat. Taruhlah beras untuk orang miskin pada prakteknya banyak yang dibagi rata demi menghindari kecemburuan sosial. Pada mental subsidi ini tertanam watak cemburu buta. Watak yang senantiasa menuntut diperlakukan sama.

Dalam sektor apa pun, tak terkecuali energi (BBM), sebenarnya tidak ada yang keliru dari program subsidi. Upaya penyelamatan pemerintah terhadap kalangan bawah dilakukan dengan pemberian subsidi langsung untuk pembelian BBM. Namun hal klise dalam hal kenaikan harga BBM bersubsidi selalu terulang ketika anggaran negara jebol. Kenaikan harga BBM selalu menjadi solusi untuk menyelamatkan kas negara.

Selagi orang-orang kaya bermobil tidak malu membeli 5-10 liter Premium per hari, kenaikan harga BBM bersubsidi akan terus terulang. Belum lagi jika masyarakat tidak mau berhemat dalam konsumsi BBM. Untuk itu, persoalan BBM bersubsidi merupakan problem mental masyarakat yang tidak bisa terus dibiarkan. Orang-orang kaya harus diinsyafkan agar tidak "menjilat" subsidi BBM yang bukan untuknya.

Ada pelajaran mental yang besar di balik kenaikan harga BBM. Presiden Joko Widodo yang menggelorakan revolusi mental semestinya punya perhatian lebih untuk merombak mental subsidi yang sekian lama mengakar di masyarakat. Siasat pemerintah untuk mengamankan kas negara tidak cukup hanya dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Presiden harus mengamankan subsidi dari para pengerat yang tanpa malu menggerogotinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar