Mental
Subsidi
Musyafak ; Staf di Balai Litbang Agama Semarang
|
KORAN
TEMPO, 21 November 2014
Kegaduhan
selalu terjadi saban harga BBM dinaikkan. Ketika Presiden Joko Widodo menaikkan
harga BBM bersubsidi, pro dan kontra pun terjadi di kalangan elite politikus,
akademikus, hingga kalangan rakyat biasa. Di dalam gaduhnya kritik, dukungan,
harapan, bahkan cemoohan itu, kelas menengah dan orang kaya termasuk kalangan
yang nyinyir terhadap kenaikan BBM bersubsidi. Media sosial menjadi arena
untuk menumpahkan kritik bernada kesal dan cemoohan.
Nyinyirnya
orang-orang kaya mengenai naiknya harga BBM bersubsidi itu membuat seorang
guru besar geregetan. Dalam linimasa Twitternya, sang profesor menulis:
"Jangan pura-pura miskin. Berapa harga handphone kamu? Berapa ongkos
Internetmu? Berapa harga air yang kau minum? Kau bayar kepada asing?"
Sang profesor itu tentu salah satu dari sekian orang yang mengkritik balik
orang-orang kaya yang mengeluhkan kenaikan harga Premium dan solar.
Sepantasnya orang-orang kaya membeli Pertamax yang notabene BBM tanpa
subsidi.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran. Subsidi sejatinya
disasarkan untuk orang miskin yang daya belinya rendah terhadap BBM, namun
justru lebih banyak dinikmati orang-orang kaya. Konsumsi bahan bakar di
kalangan masyarakat kelas bawah yang menggunakan alat transportasi umum atau
memakai sepeda motor kuantitasnya sedikit. Sebaliknya, banyak orang kaya
bermobil, bahkan punya mobil lebih dari satu, "menggerogoti"
subsidi Premium. Besaran konsumsi solar di kalangan nelayan kecil juga tidak
seberapa jika dibandingkan dengan konsumsi truk-truk trailer milik perusahaan
besar yang omzetnya miliaran rupiah per bulan.
Mental
kelas menengah yang doyan menjilat subsidi bagi rakyat miskin itu barangkali
tidak salah jika disebut sebagai "mental subsidi". Fenomena
"bancakan" subsidi negara memang sudah mengental di masyarakat.
Taruhlah beras untuk orang miskin pada prakteknya banyak yang dibagi rata
demi menghindari kecemburuan sosial. Pada mental subsidi ini tertanam watak
cemburu buta. Watak yang senantiasa menuntut diperlakukan sama.
Dalam
sektor apa pun, tak terkecuali energi (BBM), sebenarnya tidak ada yang keliru
dari program subsidi. Upaya penyelamatan pemerintah terhadap kalangan bawah
dilakukan dengan pemberian subsidi langsung untuk pembelian BBM. Namun hal
klise dalam hal kenaikan harga BBM bersubsidi selalu terulang ketika anggaran
negara jebol. Kenaikan harga BBM selalu menjadi solusi untuk menyelamatkan
kas negara.
Selagi
orang-orang kaya bermobil tidak malu membeli 5-10 liter Premium per hari,
kenaikan harga BBM bersubsidi akan terus terulang. Belum lagi jika masyarakat
tidak mau berhemat dalam konsumsi BBM. Untuk itu, persoalan BBM bersubsidi
merupakan problem mental masyarakat yang tidak bisa terus dibiarkan.
Orang-orang kaya harus diinsyafkan agar tidak "menjilat" subsidi
BBM yang bukan untuknya.
Ada pelajaran mental yang besar di balik kenaikan harga BBM. Presiden
Joko Widodo yang menggelorakan revolusi mental semestinya punya perhatian
lebih untuk merombak mental subsidi yang sekian lama mengakar di masyarakat.
Siasat pemerintah untuk mengamankan kas negara tidak cukup hanya dengan
menaikkan harga BBM bersubsidi. Presiden harus mengamankan subsidi dari para
pengerat yang tanpa malu menggerogotinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar