Jokowi
Memilih Jaksa Agung dari Politisi
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45,
Makassar
|
KORAN
SINDO, 21 November 2014
Setelah
hampir satu bulan Kabinet Kerja dilantik barulah Presiden Joko Widodo
(Jokowi) memilih jaksa agung. Seharusnya posisi jaksa agung selaku jabatan
yang setingkat menteri dipilih dan dilantik bersamaan dengan kabinet.
Presiden
Jokowi menetapkan pilihannya kepada politisi NasDem, HM Prasetyo. Lagilagi
politisi mengisi pejabat hukum setelah menteri hukum dan hak asasi manusia
(HAM) dari politisi PDIP. Meski sudah mundur dari kepengurusan partainya,
pilihan Presiden Jokowi tetap menimbulkan sorotan di tengah harapan publik
akan pentingnya memilih sosok pejabat hukum yang tidak berpotensi terikat dan
terpengaruh pada partai tertentu.
Setidaknya
ada dua pandangan yang mengemuka atas penempatan kader partai politik pada
Kementerian Hukum dan HAM serta Kejaksaan Agung. Pertama , ada kesan Presiden
Jokowi takluk terhadap tekanan partai yang mengusungnya sampai duduk di kursi
presiden.
Sepertinya
partai belum puas pada pembagian jatah menteri sebab yang menjadi soal bukan
semata pada orangnya, melainkan yang terpenting pada integritas dan
independensinya saat melaksanakan amanah penegakan hukum.
Nuansa Politisasi
Negeri
yang korupsinya sudah masih tahap kronis tentu butuh sosok jaksa agung yang
profesional, berintegritas, sekaligus pemberani. Publik belum melihat
tanda-tanda keberanian di kejaksaan seperti yang ditunjukkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam membongkar korupsi kelas kakap.
Padahal,
jaksa penuntut yang ada di KPK berasal dari kejaksaan sehingga timbul
pertanyaan di benak publik: kenapa jaksa yang masuk di KPK begitu profesional
dan berani membawa terdakwa korupsi sekelas menteri aktif, anggota DPR, dan
ketua umum partai?
Kedua ,
jangan-jangan Presiden Jokowi terjebak pada kepentingan politis untuk
mengimbangi kekuatan Koalisi Merah Putih (KMP) yang mayoritas di parlemen.
Seteru di parlemen antara KMP dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dalam
memperebutkan pimpinan DPR dan pimpinan alat kelengkapan Dewan, boleh jadi
membuat Presiden Jokowi mencari keseimbangan pola lain dengan menempatkan
kader partai pada dua institusi penegak hukum.
Nuansa
politisasi jabatan jaksa agung terlihat setelah hampir sebulan jabatan jaksa
agung kosong dengan memainkan hak prerogatifnya yang dibalut pertimbangan
politis. Nuansa politis juga terlihat setelah sehari menteri hukum dan HAM
dilantik, tiba-tiba mengesahkan perubahan susunan kepengurusan Dewan Pimpinan
Pusat PPP kubu Romy hasil Muktamar Surabaya.
Tetapi,
gugatan kubu Djan Faridz hasil Muktamar Jakarta ke Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) dimenangkan pada 6 November 2014. Putusan tersebut menyatakan
agar kubu Romy tidak melakukan tindakan-tindakan pejabat tata usaha negara
lainnya yang berhubungan dengan sengketa tersebut. Termasuk larangan
menerbitkan surat keputusan sampai ada islah di antara para elite PPP yang
bersengketa.
Menjawab
pertanyaan publik tentang ”mengapa” terjadi tarik-menarik kepentingan dalam
menentukan sosok jaksa agung, kiranya sudah bisa dibaca dari dua sisi.
Pertama , dari sisi kompetensi dan keberanian untuk pendobrak penegakan hukum
yang belum membawa perubahan mendasar di tubuh kejaksaan, khususnya kasus
korupsi.
Untuk
memenuhi itu, syarat integritas dari rekam jejak merupakan dasar mutlak. Maka
itu, ada pandangan agar jaksa agung berasal dari eksternal bisa dipahami dengan
pertimbangan meminimalkan kemungkinan jaksa agung terkontaminasi dengan
kondisi internal yang suram di kejaksaan.
Kedua,
lambannya penentuan jaksa agung justru menimbulkan dugaan bukan sekadar
keinginan yang dibalut kepentingan politis, melainkan juga untuk mengamankan
kebijakan yang potensial melabrak peraturan perundangundangan.
Itu
terbaca dengan empat sosok calon jaksa agung yang mencuat di media, dua dari
internal, satu praktisi, dan satu praktisi politik. Lewat polemik yang
panjang, akhirnya Presiden memilih kalangan politisi sehingga publik
menangkap berbagai manuver itu tak lebih dari pertarungan kepentingan elite
politik. Apalagi berbagai kasus korupsi selalu melibatkan orang-orang
penting, bahkan elite politik.
Semangat Antikorupsi
Jalan
pikiran konspiratifnya juga bisa diduga lantaran KPK tidak akan mungkin bisa
diintervensi. Untuk menentukan siapa yang menangani perkara korupsi,
didasarkan pada siapa yang lebih dahulu melakukan penyidikan.
Masuk
akal jika ada keinginan bagaimana akses pusat kekuasaan setidaknya dapat
memengaruhi proses hukum misalnya menekankan perlombaan menangani kasus
korupsi yang terkait elite kekuasaan. Dugaan ini tentu masih butuh
pembuktian, bahkan amat susah dibuktikan, tetapi tidak bisa dinafikan sebagai
bagian dari refleksi skeptisme penegakan hukum, terutama pada pemberantasan
korupsi.
Wajah
parlemen ke depan dengan perdamaian KMP dan KIH sangat diharapkan untuk
menjadi lokomotif yang mendorong tercipta atmosfer budaya antikorupsi dan
penegakan hukum yang konsisten. KMP plus Fraksi Partai Demokrat selaku
penyeimbang yang akan melaksanakan checks and balances harus memulai hal baru
dalam menata pemerintahan dan penegakan hukum.
Pembahasan
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan tidak boleh lagi tercermin
sikap solidaritas lantaran menjadi pengusung pemerintah. Penentuan jaksa
agung memang selalu berada dalam dilema ketika harus memilih antara calon
internal atau eksternal. Pengalaman selama ini, selalu ada plusminus yang
pasti menyertai sang calon.
Pada
titik inilah, pilihan Presiden Jokowi dari kalangan partai politik akan kita
lihat pada hasil kinerjanya. Memilih jaksa agung sebagai hak prerogatif
presiden harus tetap menopang komitmennya dalam memberantas korupsi. Tetapi,
ketika Presiden terjebak pada kepentingan politis, rasanya sulit mengharapkan
muncul terobosan baru.
Perlu
mengingat adagium hukum Prof Taverne bahwa ”berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, dengan hukum yang buruk
pun saya dapat membuat putusan yang baik”. Sudah cukup lama kita
memimpikan jaksa agung yang memiliki personalitas kuat dan pemberani seperti
Baharuddin Lopa.
Semoga jaksa agung baru mampu melakukan terobosan untuk membangun efek
kuat dalam penegakan hukum. Masih ada kebekuan dan iklim ketidakpercayaan publik
pada kejaksaan membongkar kasus korupsi kelas kakap harus dibaca jaksa agung
sebagai pesan nyaring yang membutuhkan jawaban kuat pula. Jangan terpengaruh
pada manuver politik sebab semangat antikorupsi dan keberanian jaksa agung
sudah pasti akan didukung rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar