Minggu, 23 November 2014

Jokowi Memilih Jaksa Agung dari Politisi

                 Jokowi Memilih Jaksa Agung dari Politisi

Marwan Mas  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
KORAN SINDO,  21 November 2014

                                                                                                                       


Setelah hampir satu bulan Kabinet Kerja dilantik barulah Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih jaksa agung. Seharusnya posisi jaksa agung selaku jabatan yang setingkat menteri dipilih dan dilantik bersamaan dengan kabinet.

Presiden Jokowi menetapkan pilihannya kepada politisi NasDem, HM Prasetyo. Lagilagi politisi mengisi pejabat hukum setelah menteri hukum dan hak asasi manusia (HAM) dari politisi PDIP. Meski sudah mundur dari kepengurusan partainya, pilihan Presiden Jokowi tetap menimbulkan sorotan di tengah harapan publik akan pentingnya memilih sosok pejabat hukum yang tidak berpotensi terikat dan terpengaruh pada partai tertentu.

Setidaknya ada dua pandangan yang mengemuka atas penempatan kader partai politik pada Kementerian Hukum dan HAM serta Kejaksaan Agung. Pertama , ada kesan Presiden Jokowi takluk terhadap tekanan partai yang mengusungnya sampai duduk di kursi presiden.

Sepertinya partai belum puas pada pembagian jatah menteri sebab yang menjadi soal bukan semata pada orangnya, melainkan yang terpenting pada integritas dan independensinya saat melaksanakan amanah penegakan hukum.

Nuansa Politisasi

Negeri yang korupsinya sudah masih tahap kronis tentu butuh sosok jaksa agung yang profesional, berintegritas, sekaligus pemberani. Publik belum melihat tanda-tanda keberanian di kejaksaan seperti yang ditunjukkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam membongkar korupsi kelas kakap.

Padahal, jaksa penuntut yang ada di KPK berasal dari kejaksaan sehingga timbul pertanyaan di benak publik: kenapa jaksa yang masuk di KPK begitu profesional dan berani membawa terdakwa korupsi sekelas menteri aktif, anggota DPR, dan ketua umum partai?

Kedua , jangan-jangan Presiden Jokowi terjebak pada kepentingan politis untuk mengimbangi kekuatan Koalisi Merah Putih (KMP) yang mayoritas di parlemen. Seteru di parlemen antara KMP dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dalam memperebutkan pimpinan DPR dan pimpinan alat kelengkapan Dewan, boleh jadi membuat Presiden Jokowi mencari keseimbangan pola lain dengan menempatkan kader partai pada dua institusi penegak hukum.

Nuansa politisasi jabatan jaksa agung terlihat setelah hampir sebulan jabatan jaksa agung kosong dengan memainkan hak prerogatifnya yang dibalut pertimbangan politis. Nuansa politis juga terlihat setelah sehari menteri hukum dan HAM dilantik, tiba-tiba mengesahkan perubahan susunan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat PPP kubu Romy hasil Muktamar Surabaya.

Tetapi, gugatan kubu Djan Faridz hasil Muktamar Jakarta ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dimenangkan pada 6 November 2014. Putusan tersebut menyatakan agar kubu Romy tidak melakukan tindakan-tindakan pejabat tata usaha negara lainnya yang berhubungan dengan sengketa tersebut. Termasuk larangan menerbitkan surat keputusan sampai ada islah di antara para elite PPP yang bersengketa.

Menjawab pertanyaan publik tentang ”mengapa” terjadi tarik-menarik kepentingan dalam menentukan sosok jaksa agung, kiranya sudah bisa dibaca dari dua sisi. Pertama , dari sisi kompetensi dan keberanian untuk pendobrak penegakan hukum yang belum membawa perubahan mendasar di tubuh kejaksaan, khususnya kasus korupsi.

Untuk memenuhi itu, syarat integritas dari rekam jejak merupakan dasar mutlak. Maka itu, ada pandangan agar jaksa agung berasal dari eksternal bisa dipahami dengan pertimbangan meminimalkan kemungkinan jaksa agung terkontaminasi dengan kondisi internal yang suram di kejaksaan.

Kedua, lambannya penentuan jaksa agung justru menimbulkan dugaan bukan sekadar keinginan yang dibalut kepentingan politis, melainkan juga untuk mengamankan kebijakan yang potensial melabrak peraturan perundangundangan.

Itu terbaca dengan empat sosok calon jaksa agung yang mencuat di media, dua dari internal, satu praktisi, dan satu praktisi politik. Lewat polemik yang panjang, akhirnya Presiden memilih kalangan politisi sehingga publik menangkap berbagai manuver itu tak lebih dari pertarungan kepentingan elite politik. Apalagi berbagai kasus korupsi selalu melibatkan orang-orang penting, bahkan elite politik.

Semangat Antikorupsi

Jalan pikiran konspiratifnya juga bisa diduga lantaran KPK tidak akan mungkin bisa diintervensi. Untuk menentukan siapa yang menangani perkara korupsi, didasarkan pada siapa yang lebih dahulu melakukan penyidikan.

Masuk akal jika ada keinginan bagaimana akses pusat kekuasaan setidaknya dapat memengaruhi proses hukum misalnya menekankan perlombaan menangani kasus korupsi yang terkait elite kekuasaan. Dugaan ini tentu masih butuh pembuktian, bahkan amat susah dibuktikan, tetapi tidak bisa dinafikan sebagai bagian dari refleksi skeptisme penegakan hukum, terutama pada pemberantasan korupsi.

Wajah parlemen ke depan dengan perdamaian KMP dan KIH sangat diharapkan untuk menjadi lokomotif yang mendorong tercipta atmosfer budaya antikorupsi dan penegakan hukum yang konsisten. KMP plus Fraksi Partai Demokrat selaku penyeimbang yang akan melaksanakan checks and balances harus memulai hal baru dalam menata pemerintahan dan penegakan hukum.

Pembahasan legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan tidak boleh lagi tercermin sikap solidaritas lantaran menjadi pengusung pemerintah. Penentuan jaksa agung memang selalu berada dalam dilema ketika harus memilih antara calon internal atau eksternal. Pengalaman selama ini, selalu ada plusminus yang pasti menyertai sang calon.

Pada titik inilah, pilihan Presiden Jokowi dari kalangan partai politik akan kita lihat pada hasil kinerjanya. Memilih jaksa agung sebagai hak prerogatif presiden harus tetap menopang komitmennya dalam memberantas korupsi. Tetapi, ketika Presiden terjebak pada kepentingan politis, rasanya sulit mengharapkan muncul terobosan baru.

Perlu mengingat adagium hukum Prof Taverne bahwa ”berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, dengan hukum yang buruk pun saya dapat membuat putusan yang baik”. Sudah cukup lama kita memimpikan jaksa agung yang memiliki personalitas kuat dan pemberani seperti Baharuddin Lopa.

Semoga jaksa agung baru mampu melakukan terobosan untuk membangun efek kuat dalam penegakan hukum. Masih ada kebekuan dan iklim ketidakpercayaan publik pada kejaksaan membongkar kasus korupsi kelas kakap harus dibaca jaksa agung sebagai pesan nyaring yang membutuhkan jawaban kuat pula. Jangan terpengaruh pada manuver politik sebab semangat antikorupsi dan keberanian jaksa agung sudah pasti akan didukung rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar