Presiden
Bandung Mawardi ; Esais
|
KORAN
TEMPO, 10 Juli 2014
Sebutan presiden sudah berlaku dalam partai politik dan hukum sejak awal abad ke-20. Para tokoh
pergerakan politik kebangsaan dan jurnalis akrab dengan istilah
presiden-biasa diucapkan dan dituliskan tanpa "beban pengertian"
bakal menjadi julukan mentereng bagi tokoh besar bernama Sukarno. Sutan
Mohammad Zain, dalam Kamus Moderen Bahasa Indonesia (1952), mengartikan presiden
sebagai "ketua, kepala jang tertinggi, ketua pengadilan, kepala republik
jang tertinggi."
Ingat, 18 Agustus 1945, UUD 1945 telah memuat istilah presiden,
pengesahan sebutan dalam sistem politik di Indonesia. Sukarno mengenang: "Satu hal jang disajangkan ialah,
bahwa kami tidak mempunjai perkataan asli untuk menjebut presiden. Presiden
adalah perkataan Inggris. Oleh karena orang menganggap bahwa peraktaan ini
tjotjok, maka kami terpaksa meng-Indonesia-kannja. Huruf 't'-nja
dihilangkan" (Adams, 1966). Sukarno mendapat predikat presiden meski
gamang dalam urusan bahasa.
Di Indonesia, pengisahan orang menjadi presiden jarang dramatis.
Sukarno mengisahkan diri sesaat setelah resmi menjadi presiden: "Di djalanan, ia bertemu dengan
tukang sate. Lalu, Paduka Jang Mulia Presiden Republik Indonesia memanggil
pendjadja jang kaki-ajam dan tidak berbaju itu, mengeluarkan perintah
pelaksanaannja jang pertama, 'Sate ajam lima puluh tusuk.' Aku djongkok di
sana dekat selokan dan kotoran. Kumakan sateku dengan lahap dan inilah
seluruh pesta atas pengangkatan sebagai kepala negara." Kita tak
mendapati pesta berlebihan atau peristiwa akbar. Selebrasi menjadi presiden
adalah adegan makan sate di pinggir jalan.
Pengisahan Sukarno menjadi presiden memang berlatar situasi tak keruan.
Sukarno tak mungkin membuat panggung megah, mengundang ribuan orang, berpesta
makanan karena gejolak perang belum usai. Puluhan tahun sejak peristiwa makan
sate di pinggir jalan, Soeharto muncul sebagai presiden menggantikan Sukarno.
Dalam Sidang MPRS pada 27 Maret 1968, upacara berlangsung selama 45 menit,
yang mengesahkan Soeharto menjadi presiden. Soeharto berkata, "Prinsip jang selalu kami pegang
teguh dalam melaksanakan tugas MPRS kepada kami adalah menegakkan hukum,
menegakkan konstitusi, dan menegakkan demokrasi…" Janji Soeharto
memang manis dan muluk-muluk. O.G. Roeder (1969) memberi deskripsi saat
Soeharto meninggalkan ruang sidang: "…hampir
tengah malam, tanpa keangkuhan seorang pemenang jang djaja. Ia tidak lagi
seorang djenderal jang selalu tersenjum, tetapi seorang presiden dengan
tanggung djawab jang berat."
Sekarang, 9 Juli 2014, jutaan orang memilih presiden baru. Mereka
berhak berimajinasi tentang peristiwa saat tokoh pujaannya berhasil
diresmikan menjadi presiden. Kita menduga bakal ada selebrasi dramatis.
Predikat agung tentu diartikan melalui pengumpulan massa, doa bersama,
upacara, pidato, berfoto, dan makan. Ikhtiar untuk berpredikat presiden
memerlukan keringat, kata, uang, tempat, siasat, doa, serta iklan. Selebrasi
menjadi presiden adalah representasi mentalitas dan identitas tokoh.
Kita menginginkan selebrasi beradab tanpa menghamburkan uang. Kita
menolak dramatisasi picisan jika bertujuan untuk pengultusan tokoh. Peristiwa
sekejap di bilik suara tak perlu dibalas pesta berlebihan saat tokoh di
kertas suara diresmikan menjadi presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar