Demokrasi
Otentik
Benni Setiawan ; Dosen di UNY, Peneliti IndoStrategi
|
KORAN
TEMPO, 09 Juli 2014
Demokrasi otentik adalah upaya seseorang atau sekelompok orang
menggerakkan politik agar lebih memiliki makna kebebasan, penghargaan
terhadap keberagamaan, dan solidaritas antarwarga. Demokrasi otentik mengarah
pada pemaknaan kehidupan berbasis kemanusiaan dan ini hanya mampu diemban
oleh mereka yang mempunyai visi kemanusiaan.
Dalam demokrasi ini, kepemimpinan layaknya air yang menghadirkan
manfaat bagi rakyat. Kepemimpinan hadir dan omni present menjawab
permasalahan rakyat akan memantik harapan dan memupus segala antipati
terhadap pemerintahan.
Seorang pemimpin selayaknya mengejawantahkan pengabdian kepada
masyarakat dengan semangat pamong (pelayan). Ia bukan pemimpin berwatak
penguasa. Melalui program kerja prorakyat, ia memberikan pelayanan yang menyenangkan
untuk rakyatnya. Program kerja tersebut pun lahir dari keresahan masyarakat.
Dengan demikian, langkah kerja seorang pemimpin tertata dan benar dibutuhkan
oleh masyarakat, bukan program penuh kemunafikan (pencitraan).
Ia memimpin dengan etika yang akan mendorong kesadaran baru aparatur
yang humanis, yaitu aparatur sipil negara yang bertindak atas nama
kemanusiaan, mendorong meritokrasi (penghargaan atas prestasi), dan
akuntabilitas pelayanan publik. Ia melakukan inovasi dan terobosan-terobosan
dalam membangun sebuah peradaban. Melalui inovasi, keterbukaan, kerendahan
hati, dan gagasan membangun yang bersinergi dengan kekuatan masyarakat.
Pemimpin pun merupakan pembelajar sejati. Belajar sepanjang hayat
merupakan modal utama yang harus dimiliki oleh setiap individu. Sekolah yang
paling nyata adalah kehidupan itu sendiri, yang dapat diperoleh dengan
merefleksikan pengalaman. Pembelajaran sejati adalah proses memimpin
setidaknya dalam lima tahun masa kepemimpinannya.
Melalui hal itu, pemimpin pun selalu memotivasi rakyatnya untuk bangkit
dari keterpurukan kemalasan dan kebodohan. Hingga akhirnya rakyat perlahan
bangkit menatap masa depan cerah.
Keberhasilan ini tak terlepas dari sentuhan cinta kasih tanpa batas. Ia
senantiasa menyapa warga dan memompa semangat untuk bangkit. Sentuhan tanpa
menggurui berbekal pengalaman hidup inilah yang kemudian mengantarkan menjadi
pemimpin masyarakat. Pemimpin yang melayani dengan kesederhanaan dan cinta.
Medium pembebasan politik ala Hannah Arendt pun mewujud melalui gerak
tanggap calon presiden dalam membangun sistem berkeadaban. Perwujudan sistem
berkeadaban pun muncul berbarengan dengan sinergi program kerja berbasis
kearifan lokal. Kearifan lokal menjadi warna yang semakin menghiasi keadaban
publik. Kearifan lokal bukan hanya menjadi bumbu penyedap, tapi juga menjadi
roh dalam setiap gerak dan langkah.
Dengan demikian, pemilihan presiden merupakan medium mencari, memilah,
dan memilih calon pemimpin nasional yang mengerti kehendak rakyat. Kehendak
rakyat bukanlah kehendak tuan. Kehendak rakyat ialah impian dan cita-cita
besar bangsa sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.
Pada akhirnya, mari menggunakan waktu yang tak lama untuk merenungkan
dan memantapkan pilihan kepada salah satu capres untuk memimpin Indonesia
dengan demokrasi otentik. Demokrasi sebagai bangunan politik
berperikemanusiaan dan berkeadaban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar