Papua,
Pendidikan, dan Jokowi
Amiruddin Ar-Rahaab ; Juru Bicara dan
Asisten Ahli Kepala UP4B
|
KORAN
TEMPO, 10 Juli 2014
Papua adalah wilayah Indonesia yang pertama kali menerima sinar
matahari setiap pagi. Namun manusia-manusia Papua yang terbangun oleh fajar
pagi itu kerap terlupakan. Walhasil, hal-hal yang serba kurang mudah kita
jumpai di Papua.
Pak Jokowi, pada hari pertama kampanye Anda untuk menjadi Presiden,
Anda telah menginjak tanah Papua. Melalui media, saya simak pernyataan Anda,
bahwa Anda datang bukan sekadar mencari dukungan suara, tapi juga karena
memandang tanah fajar menyingsing ini memiliki arti penting bagi Indonesia.
Anda betul Pak Jokowi. "Indonesia tanpa Papua, bukanlah Indonesia."
Kira-kira begitulah garis politik Sukarno.
Karena itu, izinkanlah saya mengemukakan beberapa catatan agar hal itu
tidak berhenti hanya sebagai slogan. Sehubungan dengan begitu banyak
kekurangan yang ada di Papua, wajah Indonesia menjadi bopeng di tengah
pergaulan internasional. Seakan republik ini tidak sedikit pun membawa
kegembiraan bagi rakyat Bumi Cenderawasih. Meski saya tahu sudah begitu
banyak yang diberikan dan dikerjakan pemerintah untuk Papua, ternyata itu
belum cukup. Rasa tidak puas selalu saja kerap membubung, dan rasa percaya
mudah runtuh dari lembah dan gunung serta pantai Papua.
Intinya adalah lemahnya komitmen. Komitmen atas apa yang dituliskan dan
yang diucapkan selalu rendah. Simaklah UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua dengan
akal-budi jika Anda ada waktu. Betapa luhur kandungan UU Otsus Papua itu.
Namun, di alam nyata, tak seberapa yang bisa direalisasi. Kalaupun ada yang
terealisasi, itu pun tidak mudah, harus bersitegang dulu. "Bara habis, nasi tak tanak,"
itulah tamsil kerja negara di Papua saat ini.
Pak Jokowi, hakikat UU Otsus Papua adalah percepatan dalam segala
bidang. Sebab, ketertinggalan Papua perlu dipacu agar bisa mengimbangi
provinsi lain. Percepatan itu hanya mungkin bisa dilaksanakan dengan jalan
memberi pengecualian dan pendampingan bagi Papua. Tanpa itu, tak mungkin.
Karena itu, simaklah sekelumit pengalaman saya ini. Awal Juni 2014,
saya sampai di Kampung Gesa, Distrik Binuki, Memberamo Raya. Di kala terik
matahari memanggang kepala, saya mampir ke SD dan SMP yang ada di situ. Kelas
kosong, meja belajar berantakan, dan bangunannya rusak. Sang guru yang
mendampingi saya menunjukkan wajah muram karena dia diberi beban mencerdaskan
anak bangsa dalam kondisi seperti itu. "Tak
ada yang peduli kami di pedalaman ini."
Di SMP Binuki, realitas yang sama juga hadir. Bagian tengah papan
tulisnya terkoyak, terlepas dari gantungan. Kursi patah dengan meja
compang-camping tak beraturan. Kelas itu seperti telah berbilang bulan tak
mengenal sapu. Kepala sekolah mengeluhkan kurangnya guru yang telaten, buku
yang tidak pernah datang, serta fasilitas yang serba kurang. Guru itu
menceritakan bahwa anak-anak akhirnya lebih senang bermain atau ikut ke kebun
karena suasana sekolah tidak menyenangkan.
Pak Jokowi, tahukah Anda, UU telah mewajibkan 30 persen uang otonomi
khusus disalurkan untuk pendidikan di Papua. Artinya, ada Rp 1 triliun
anggaran per tahun untuk memperbaiki sarana dan mutu pendidikan di Papua.
Aturan itu sudah berjalan 10 tahun. Anggaran dari Kemdikbud yang bernilai
ratusan miliar juga tercurah ke Papua setiap tahun. Namun, apa lacur, sekolah
hancur dengan mutu mundur yang kita jumpai.
Untuk memperbaiki kenyataan dan kenyamanan hidup rakyat di Papua, tidak
ada jalan selain memperbaiki mutu pendidikan di sekolah dasar dan menengah.
Seturut dengan gagasan itu, mumpung masih ada waktu, jika Anda memenangi
pacuan capres ini, tunaikanlah utang Anda yang telah terucap itu untuk
memberikan perhatian khusus bagi Papua.
Pertama, ambillah inisiatif segera untuk melakukan operasi khusus
pendidikan untuk mengatasi kekurangan guru yang sudah kronis ini dengan
memobilisasi segala sumber daya. Perbaikilah ruang-ruang kelas SD dan SMP di
pedalaman Papua yang telah membusuk itu agar anak-anak merasa nyaman belajar.
Langkah ini harus ditujukan untuk menyalakan obor pendidikan dasar 12 tahun.
Kedua, sejalan dengan langkah pertama, rekrutlah ribuan guru dari
anak-anak Papua sendiri yang telah lulus SMA dan sekolah sederajat. Siapkan
mereka sebaik mungkin. Tidak perlu berijazah S1 guru itu, yang penting bisa
mengajar setelah dilatih selama 2 tahun. Serta jadikan mereka PNS dengan
tunjangan khusus.
Ketiga, rancang langkah panjang yang elegan dengan memperbaiki
universitas negeri yang sudah ada. Tingkatkan anggaran, fasilitas, dan
sarananya. Jadikan universitas di Papua ini center of excellence di bidang
ekowisata, lingkungan, kehutanan, serta pertanian skala besar, karena itulah
masa depan Papua. Industri pertambangan ekstraktif bukanlah masa depan Papua.
Juga dirikanlah satu universitas yang hebat di wilayah pegunungan
tengah Papua. Wamena cocok untuk itu. Wamena adalah centrum dari anggota
suku-suku di pegunungan tengah Papua itu. Ilmu humaniora, seperti
antropologi, sosiologi, dan arkeologi bisa memiliki laboratorium alam terbaik
di dunia di area tersebut.
Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah amanat dalam pembukaan UUD 1945.
Jika sekolah bobrok dan anak-anak mogok bersekolah, tidakkah Pemerintah telah
berkhianat kepada hak konstitusional bocah-bocah cerdas Papua itu?
Jadi, dari catatan kecil ini, yang paling penting adalah perencanaan
dan rancangan yang bagus dalam hal pendidikan di Papua. Intinya, ada
pengecualian dan pemihakan melalui pendampingan serta pengawasan dengan
implementasi secara terus menerus. Hanya dengan itulah sumber daya manusia
terlemah di Papua bisa diperbaiki. Ucapan adalah utang, maka tunaikanlah
dengan perbuatan jika menduduki singgasana Istana itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar