Kamis, 21 Februari 2013

Sufi Melawan Terorisme


Sufi Melawan Terorisme
Said Aqil Siradj Ketua Umum PBNU
REPUBLIKA, 19 Februari 2013


Meski dikenal dunia sebagai negara berpenduduk Muslim moderat, belakangan Indonesia mengalami gelombang pasang in toleransi akibat radikalisme dan terorisme. Fakta ini yang menjadikan ancaman teroris masih terus menggelinding. Tindakan tegas oleh Densus 88 juga sudah dilakukan. Bahkan, tindakan ini sempat menuai kritik karena dianggap terlalu keras dengan menembak mati teroris, tanpa mempertimbangkan azas praduga tak bersalah. 

Tampaknya antara kekalapan teroris dan ketegasan aparat berwajib akan terus saling berhadapan. Seolah kekerasan dilawan dengan kekerasan. Secara lahiriah, kekerasan memang perlu ditindak, tetapi tetap harus berada dalam koridor hukum yang berlaku. Sementara, secara batiniah, perlu adanya perlawanan dengan upaya untuk mengembalikan kesadaran keberagamaan pada sisi esoteris, yakni kedalaman kalbu manusia dalam menangkap pesan-pesan ilahiah. Dan, ini kita bisa menengok tentang sufisme. 

Batiniah versus Lahiriah

Kumpulan teroris lazimnya berpema- haman agama secara lahiriah. Mereka terhipnosis oleh doktrin keagamaan yang lebih mementingkan aspek lahiriah atau harfi ah dari ajaran agama. Ini akan menjadi semacam `api dalam sekam' yang akan mudah tersulut manakala melihat perbedaan atau hal-hal yang dipandang bertentangan dengan pemahaman mereka. Bila saat ini negeri kita dilihat tengah `panen' radikalisme dan terorisme, sebenarnya kita perlu melihat juga fakta lain. 

Ya, fakta bahwa negeri kita juga `panen' komunitas sufi . Indonesia boleh dibilang surga sufi. Beragam aliran berkembang dengan berjuta-juta pengikut.

Para pemerhati dan pelaku sufisme ini enggan bicara soal perbedaan mazhab atau saling menyesatkan. Mereka lebih fokus memilih bercakap-cakap soal cinta kasih sembari mencari titik-titik temu antarberagam keyakinan. Hal ini mudah dipahami lantaran pengikut sufisme memang lebih mengedepankan batin dalam mendekati Tuhan. 

Dalam pandangan sufistik, ketika seseorang mendalami dimensi batin agama, dia akan `bertemu' dengan keyakinan-keyakinan lain. Dengan pemahaman isyari dan ta'wili itu, sufisme menjadi sangat toleran terhadap perbedaan keyakinan karena sufisme lebih melihat pada dimensi batin agama. Begitulah, kemudian sufisme melahirkan cara pandang yang inklusif. 

Sementara, kelompok-kelompok puritan-radikal fokusnya adalah pada hal-hal yang lahiriah. Kewajiban melaksanakan hukum agama dipahami dalam bentuk yang sangat lahiriah sehingga menghasilkan pikiran dan perilaku yang `kaku'. Pemahaman keagamaan `distandardisasi' secara tekstual, tanpa hirau pada hal-hal yang sifatnya batiniah. Karena itu, tidak heran mereka dengan tegas menolak sufisme. Mereka beranggapan bahwa sufi sme sebagai bentuk berlebihan dalam beragama. Bahkan, dalam ungkapan mereka, sufisme dipandang sebagai bid'ah dan juga syirik. Fakta di lapangan menunjukkan bagaimana kelompok-kelompok puritan ini kerap kali konflik dengan masyarakat yang menjadi sasaran dakwah mereka. 

Sejarah Islam memang telah mengungkapkan betapa sufisme selalu berbenturan dengan kelompok puritan dan radikal. Konflik berdarah-darah pun tak jarang terjadi. Kelompok puritan dan radikal sangat antipati terhadap sufisme.

Seturut itu, kelompok sufisme juga menentang kelompok puritan-radikal dengan menganggapnya sebagai kelompok yang terlampau picik dalam memahami semesta ajaran Islam. Ibnu Athaillah, seorang sufi kenamaan Mesir, menyebut Ibnu Taimiyah sebagai `ulama lahiriah'. Kedua tokoh itu pernah melakukan dialog walau akhirnya tetap pada pendirian masing-masing. Pandangan sufistik, khususnya di negeri kita, tampaknya jarang terekspos di hadapan publik. Padahal, sudah banyak pengikut sufisme atau minimal mereka yang punya cara pandang sufistik. Potret yang mungkin tepat untuk menggambarkan keadaan itu adalah pengikut sufi sme telah menjadi bagian dari silent majority di masyarakat Muslim. 

Bila kita berhitung soal `risiko' dalam pemahaman keagamaan, sejatinya sufisme sangat efektif untuk menandingi doktrin-doktrin di dalam Islam yang bersifar ekstrem. Banyak pihak mengung- kapkan bahwa Islam masuk melalui sufisme. Wali Songo ketika pertama kali memperkenalkan Islam lebih banyak bicara soal nilai-nilai budi pekerti atau akhlak yang berbasiskan pada nilai-nilai tasawuf. 

Watak Sufistik

Kaum sufi -kata Abul Husein al-Nuri- adalah manusia yang paling bijak di antara seluruh umat manusia. Ketika banyak orang memburu karunia Tuhan, sang sufi justru merindukan keintiman dengan Tuhan. Ketika banyak orang me nampilkan kekuatannya, sang sufi menyendiri seraya berdoa, memohon kasih bagi mereka. Ketika banyak orang berlomba untuk dipuji, sang sufi justru melahiriahkan keburukan dirinya (malamatiyah). 

Bagi kaum sufi , tersinggung adalah sifat egosentris sedangkan sufi adalah `tanpa ego'. Jadi, barang siapa yang kesal dan melakukan kekerasan, ia mesti sadar bahwa identitas dirinya terpisah dari Tuhan. Lebih jauh, ia malah orang yang menyekutukan yang lain dengan Tuhan, bukannya seorang yang bertauhid. Dalam tradisi kesufian terdapat doktrin tentang etika spiritual atau futuwwah, yakni seperangkat kualitas positif dari kepribadian manusia, seperti kejujuran, kesantunan, dan kejernihan pikiran. Etika ini tidak menyebabkan sakit hati, membiarkan diri congkak, memandang orang lain hina, membuat hati jauh dari kedengkian, tidak pernah merusak diri dengan perbuatan salah, serta berharap dunia damai. Jelaslah, sufisme telah menunjukkan gerak aktivisme melawan segala bentuk ekstremitas. Sufisme bergerak menandingi praktik-praktik kepicikan pemahaman keagamaan yang berwujud pada peminggiran terhadap kemanusiaan. 

Walhasil, watak sufisme perlu digalakkan kemasyarakat sebagai bagian dari transfer pemahaman keagamaan yang toleran dan inklusif. Watak `lahiriah'
dalam pemahaman keagamaan kelompok puritan-radikal tidak lantas semata-mata dilawan dengan `tindakan lahiriah', tetapi butuh penguatan pemahaman batiniah. Maka, deradikalisasi sesungguhnya adalah mengembalikan pemahaman keagamaan pada watak sufistik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar