Ketika
seorang politikus mengambil keputusan, lazimnya orang akan patuh dan mengangguk-angguk.
Sebab, seorang politikus ialah orang yang sudah masuk-lebur ke dalam dunia
politik. Artinya, ia sudah masuk golongan yang teramat ahli dalam dunia
politik. Saking leburnya ke dalam politik, ia pun sudah ditahbiskan
menjadi sesosok figur politik. Maka itulah, kehebatannya, antara lain,
diukur pada tiap kata yang keluar dari mulutnya, disertai cara ia mendelik
dan memainkan telunjuk: saat omongannya disetel di ruang publik.
Tiap
delikannya bukan hanya bikin orang waswas di sekujur khalayak lawan politiknya,
melainkan bikin waspada banyak pihak pada kepentingan sebangsa-setanah air.
Dan jika ia menunjuk, maka yang ditunjuknya tentu bukan pohon sengon di
depan rumah, tapi pada wujud masalah dan orang yang dinilainya bisa merusak
hajat orang sebangsa-setanah air.
Dari
ukuran macam itulah, omongan politikus harus punya gema yang panjang. Meski
panjang-pendeknya itu relatif, minimal, ada ukuran yang tidak sekadar
panjang-kali-lebar di rumah politiknya sendiri. Juga, bukan hanya soal
keputusan yang dianggap angin sepoi-sepoi yang bikin kantuk belaka. Tapi,
menyangkut omongan politikus yang punya aura pada segenap orang di
sekitarnya, khususnya, para pengikutnya, para penganutnya, di banyak
jajaran dan domain kekuasaannya.
Sebab,
secara kultural, omongan politikus itu sifatnya politis. Omongannya terkait
berbagai isu, momen, dan tentu saja ke urusan berbagai publik. Di sini
tergabung antara urusan retorika dan urusan kepentingan publik. Seperti
dikatakan Ryfe (2005), omongan pemimpin itu biasanya dilabeli dengan urusan
publik dan retorika. Publik berarti orang-orang yang melulu ingin mendengar
politikusnya tidak mabuk pada urusan sendiri. Mereka tak betah jika
politikus kesukaannya hanya tergerak pada kepentingan pendek, dangkal, dan
saling gebuk. Publik politikus ialah orang-orang yang cerdas dalam mencium
omongan setengah benar setengah `janji palsu'.
Retorika
politikus, dengan demikian, terkait dengan hajat hidup sehari-hari publik.
Retorikanya punya gema yang panjang, bersahutan sampai ke banyak wilayah.
Termasuk wilayah kebangsaan. Maka itulah, retorika kebangsaan sangat
diingat rakyat dari berbagai politikus yang punya omongan menyentuh kehidupan
bangsa dengan sebenar-benarnya.
Tapi,
politikus yang sudah terkorupsi hajat kepentingan sendiri, biasanya hanya akan
menjadi pajangan buku parlementaria dari masa ke masa. Namanya hanya
menempel dalam cetakan buku proyek, bukan ingatan rakyat sepanjang masa.
Ketika media massa menghadirkannya, itu pun sebatas periode kehadirannya di
jajaran kepemimpinan, atau sebatas jatah masa duduk politisnya di parlemen,
dan seterusnya. Ini gara-gara retorika politis bernuansa tidak menyambung
dengan publik. Terkorupsi oleh teknik memanjang-manjangkan leher,
dengan urat menonjol sampai jidat, yang dianjurkan konsultan atau teman
sejawat. Omongannya seba- tas cara berkomunikasi (retorika) politis.
Semua
unsur pesannya dirancang seinformatif mungkin. Gaya penyajiannya sudah
diatur sepersuasif mungkin. Tiap pesannya dirinci hingga titik-koma atau
mimik wajah atau gerak tubuh dari ujung rambut sampai jempol
kaki. Tapi, daya rengkuhnya tidak sampai kepada kepentingan dan
kebutuhan publiknya sendiri. Publik hanya tahu dan terlibat sebatas
kepentingan dan kebutuhan si politikus. Dan Nimmo (2005) mengatakan,
gagalnya para komu nikator politik ialah karena mereka tak punya daya
pengaruh pada khalayak publiknya.
Pengaruh
ini harus disadari. Politikus yang baik sadar betul mana omongan yang
memakai `teks' kepentingan rakyat, mana omongan yang memakai setelan media.
Mana omongan dari hati nurani yang paling dalam, mana omongan pesanan
kekuasaan. Dan, kalau sudah dinilai kelewat gombal, maka jangan harap
kesetiaan masih berpihak. Psikologis kesetiaan publik pengikutnya sudah
dikorupsi oleh kepentingan si politikus itu sendiri.
Kalau
sudah begini, berbagai imbauan `kampanye' pun akan menjadi basi.
Imbauan untuk mendukung gagasan politikus dianggap tak layak dapat
tempat.
Suara publik pengikutnya mulai berpindah chanel. Suara mereka mencari
saluran yang lebih afdal mengabarkan iklim politik yang
sebenar-benarnya.
Mereka mencari kabar harga kursi politik yang sesuai anggaran belanja
pendapatan politikus. Mereka mengikuti kabar kemacetan politik yang bisa
bikin mereka terjebak, tak bisa maju tak mungkin mundur. Mereka tentu tidak
mau terjebak banjir masalah bikinan si politikus.
Para
pengikutnya mulai arif memerankan posisi `diam itu emas', atau penggembos
tak kelihatan, karena dianggap lebih rasional seperti dianjurkan demokrasi.
Perilaku politik para pengikutnya mulai menyosialisasikan diri ke ruang
kelas yang dipimpin kepala sekolah politik yang baru. Para pengikutnya pun
mulai mengincar tempat duduk yang tengah dirancang setelan dan modelnya
oleh calon pemimpin yang baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar