Selasa, 12 Februari 2013

Strategi Ganda Pengendalian Demokrat


Strategi Ganda Pengendalian Demokrat
Gun Gun Heryanto ;   Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute,
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
MEDIA INDONESIA, 11 Februari 2013


PARTAI Demokrat memasuki fase turbulensi politik. Terjun bebasnya elektabilitas Demokrat yang dirilis Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) memantik relasi antagonistis antarelite Demokrat di ruang publik.

Tentu, hasil riset hanyalah variabel minor dalam pembacaan dinamika konflik aktual di tubuh partai pemenang pemilu itu. Sejatinya, relasi kuasa yang mengerucut pada tumbuh kembangnya faksionalisme di tubuh Demokrat tak pernah usai sejak kongres 2010 di Bandung, Jawa Barat.

Meski para elite Demokrat selalu membangun kesan solid, fakta politik kekinian yang mengharuskan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun gunung menjadi bukti nyata retaknya kapal Demokrat. Pidato SBY tentang delapan poin solusi penyelamatan partai juga tak menghasilkan impresi memadai. Substansi wacana yang disodorkan SBY tetap memiliki sejumlah kerumitan untuk diimplementasikan, terutama terkait dengan posisi Anas sebagai nakhoda partai.

Pembonsaian Politik

Jika kita perhatikan secara saksama, 7 dari 8 poin solusi penyelamatan Demokrat secara eksplisit menegaskan otoritas Majelis Tinggi Partai dengan SBY menjadi ketuanya. Dengan balutan gaya komunikasi politik yang high context culture SBY memosisikan kata demi kata terlihat santun, aman, dan tidak terkesan verbal agresif meskipun substansinya menyuguhkan aroma korporatisme politik yang kental tak hanya pada kuasa bahasa, tetapi juga pada operasionalisasi organisasi.

Proses keluarnya delapan poin solusi itu juga menarik karena SBY memadukan antara teknik icing device yang menitikberatkan sentuhan-sentuhan emosional dan teknik fear erousener yang menekankan ancaman hukuman dan tekanan mental.

Teknik pertama, merupakan prakondisi solusi, saat SBY mengirim pesan layanan singkat (SMS) dari depan Kabah di Kota Mekah. Isi pesan tersebut membangun hubungan emosional dengan menyatakan SBY terus memohon petunjuk Allah agar Demokrat dibebaskan dari cobaan berat, sekaligus meminta agar turut didoakan untuk menemukan solusi yang tepat, bijak, dan bermartabat. Itu prakondisi khas SBY untuk membangun harmoni.

Teknik kedua fokus pada bahasa kuasa untuk pengendalian dan penegasan otoritas. SBY memulai solusi dengan menyatakan ketua majelis tinggi partai berwenang dan bertanggung jawab untuk memimpin penyelamatan dan konsolidasi partai. Meski delapan poin itu merupakan satu kesatuan utuh, yang paling inti bisa kita raba pada nomor dua saat SBY menyatakan segala keputusan, kebijakan, dan tindakan partai ditentukan dan dijalankan majelis tinggi partai.

SBY sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat akan mengambil keputusan dan arahan yang penting serta strategis. Itu mengunci beberapa poin lain seperti mekanisme pertanggungjawaban elemen-elemen utama partai, penataan, penertiban dan pembersihan partai, keputusan majelis tinggi partai yang mutlak diindahkan dan dijalankan, termasuk poin yang membahas posisi Anas Urbaningrum.

Tekanan mental bisa kita temukan dalam pernyataan SBY yang mengancam siapa pun yang tak menjalankan keputusan majelis tinggi partai akan diberi sanksi organisasi secara tegas. Bahkan SBY eksplisit mempersilakan orang Demokrat yang tak nyaman dengan kondisi elektabilitas serta misi penyelamatan partai yang dipimpinnya untuk meninggalkan partai. Hampir seluruh narasi pernyataan SBY bermuara pada strategi anxiety and uncertainty management (AUM) strategy yang tentunya dipakai untuk mengurangi ketidaknyamanan dan ketidakpastian sekaligus memosisikan SBY di puncak hierarki otoritas partai.

Dampak Lanjutan

Secara substansi, sulit menghindari tafsir politis atas posisi Anas di Demokrat sejak pernyataan SBY, Jumat (8/2). Diakui atau tidak, telah terjadi pembonsaian politik Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Secara de jure Anas tetap diposisikan sebagai ketua umum yang sah, sekaligus sebagai Wakil Ketua Umum Majelis Tinggi Partai Demokrat. Namun, secara de facto, kewenangan Anas dalam menjalankan fungsi-fungsi ketua umum dipereteli. SBY eksplisit menyatakan akan memimpin langsung gerakan penataan, pembersihan, dan penertiban partai serta mempersilakan Anas untuk fokus menghadapi dugaan masalah hukum.
Itulah langkah dua tahap (two step flow strategy) yang sangat lazim digunakan pemimpin bercorak hati-hati. SBY tentu sudah berhitung cermat kemungkinan dukungan nyata di struktur kepengurusan DPP hingga DPD dan DPC terhadap Anas sehingga tak mengambil langkah frontal menggeser atau melengserkan Anas. Jika skenarionya pelengseran Anas, tentu akan muncul geger politik di internal partai karena hingga sekarang Anas belum menjadi tersangka satu kasus hukum pun. Memaksakan kehendak pelengseran Anas akan menyebabkan zero sum game yang membuat partai luluh lantak. SBY secara halus sedang menerapkan mekanisme sirkulasi elite.
Dalam perspektif the circulation of the elite Vilfredo Pareto (dalam William D Perdue, 1986:95-103), proses sirkulasi elite itu digambarkan sebagai hubungan resiprokal dan bersifat mutual interdependence (ketergantungan bersama). Perubahan tidak berada dalam respons institusional yang dramatis, tetapi dalam tindakan dan reaksi sistem yang menunjukkan proses pengelolaan keteraturan.
Makanya, strategi pertama yang di ambil SBY ialah tetap memosisikan Anas sebagai Ketua Umum Demokrat, tetapi dibatasi, ditakar untuk tak tumbuh kembang di luar kehendak SBY. Singkatnya, itulah skenario korporatisme politik atau pembonsaian Anas di tubuh Demokrat. Strategi kedua akan sangat ditentukan status hukum Anas di KPK. Jika Anas menjadi tersangka, tentu akan menjadi the end of history dalam konstelasi politik Demokrat karena SBY tentu sudah mengantongi sejumlah nama potensial untuk didorong ke jabatan tersebut jika Anas nantinya mengundurkan diri atau dipecat partai.
Situasi Dinamis
Demokrat setelah pernyataan SBY tentang solusi partai tentu akan melahirkan sejumlah kemungkinan dampak lanjutan. Kemungkinan pertama mengukuhkan gejala groupthink di tubuh Demokrat. Situasi itu terkait dengan genealogi Demokrat itu sendiri. Partai itu lahir, tumbuh, dan berkembang hingga akhirnya menjadi pemenang dengan sebaran konstituen meyakinkan di Pemilu 2009 tak lepas dari sosok SBY. Risikonya memang politik figur yang sangat kuat itu biasanya melahirkan gejala groupthink.
Gejala itu oleh Irving Janis dalam bukunya, Groupthink: Psychological Studies of Policy Decisions and Fiascoes (1982), digambarkan sebagai kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas tinggi dan sering kali gagal mengembangkan alternatif-alternatif tindakan yang mereka ambil. Para kader rata-rata berpikir sama dan menghindari pemikiran berlawanan sehingga sangat sedikit kemungkinan munculnya ide-ide yang tak populer atau tak serupa dengan elite utamanya, dalam konteks ini ialah SBY.
Dengan demikian, sangat mungkin apa yang sudah ditetapkan SBY sebagai solusi akan diikuti meskipun tidak semua merasa happy. Terlebih SBY hingga 2014 masih mengendalikan kuasa tak hanya di internal partai, tetapi juga sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Jadi, orang-orang di lingkaran SBY, terutama di level elite, tentu akan berpikir seribu kali untuk berbeda pandangan dengan SBY, meski dinamikanya bisa saja berbeda jika SBY sudah tak lagi berkuasa.
Kedua, sangat mungkin juga muncul skenario `perlawanan' Anas dengan cara yang sama seperti dilakukan SBY. Dalam hal ini Anas dan para pendukungnya menerapkan soft strategy untuk tetap eksis mengendalikan eksekutif partai.
Anas tidak secara frontal memberi pernyataan berseberangan dengan SBY, tetapi memberi tafsir yang tidak tunggal atas pilihan kata dalam poin yang secara langsung berhubungan dengan posisinya. Misalnya pernyataan Anas di media massa tentang dirinya yang diminta fokus pada kasus hukum. Anas secara enteng menafsirkan yang dimaksud SBY itu ialah agar dirinya tidak alpa pada kasus hukum yang dituduhkan padanya sehingga tetap memungkinkan dia melakukan kerja-kerja kepartaian seperti biasanya.
Bukti tindakan show must go on itu terlihat dari pilihan aktivitas Anas untuk tetap datang ke DPC Partai Demokrat Lebak, Banten, Sabtu (9/2). Disengaja atau tidak, momentum tetap turun ke struktur bawah itu menjadi pesan dari Anas kepada publik bahwa dirinya tak terpengaruh oleh perubahan apa pun. Bahkan, bisa jadi Anas akan tetap turun ke bawah (turba) dengan kemasan kata yang sama dengan SBY, yakni atas nama konsolidasi partai. Sangat mungkin, perlawanan halus Anas itu memosisikan wacana `garang' SBY hanya pada level kesadaran diskursif, tetapi tidak kesadaran praktis saat diimplementasikan di lapangan.
Terlepas dari berbagai kemungkinan dinamika internal Partai Demokrat, satu hal yang dikhawatirkan publik ialah tersedotnya energi kreatif SBY sebagai presiden. Pernyataan SBY yang akan memimpin langsung gerakan penataan, pembersihan, dan penertiban partai tentu akan membagi fokus perhatian SBY di 1,5 tahun masa akhir kekuasaannya. Muncul paradoks, di satu sisi SBY telah meminta dengan tegas agar para menterinya yang berasal dari partai untuk tetap fokus bekerja di kabinet meski memasuki tahun politik, tetapi di sisi lain SBY justru mengambil alih peran utama konsolidasi partai Demokrat. Artinya, SBY akan berada dalam titik episentrum persoalan-persoalan internal partai sehingga sulit menghindar dari peran ganda kekuasaan.
Padahal, para pemimpin kita kerap diingatkan dengan ucapan terkenal dari mantan Presiden Filipina Manuel L Quezon (1878-1944), “Loyalitas kepada partai berakhir saat loyalitas kepada negara dimulai.“ Tentu, masyarakat akan mengkritisi jika pemimpin yang diberi mandat berkuasa lebih mendahulukan loyalitas kepada diri dan kelompoknya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar