Selasa, 12 Februari 2013

Saat Kepala Patung Pancoran di Samping Mobil Anda


Saat Kepala Patung Pancoran di Samping Mobil Anda
Prabham Wulung ;   Alumnus Departemen Arsitektur UI; Pencinta Kota Jakarta
KOMPAS, 12 Februari 2013


Warga kota Los Angeles pada tahun 1980-an pernah merasa begitu marah kepada orang tua dan wali kota-wali kota yang menjabat saat orangtua mereka hidup.
Mereka menyesali mengapa pendahulu mereka setuju menghancurkan jalur kereta listrik dan menggantinya dengan jalan tol. Sejarah mencatat, tahun 1930- 1970, Los Angeles (LA) sangat giat membangun jalan tol di seluruh penjuru kota. Alhasil, Los Angeles menjadi kota yang penuh jalan tol. Dari satu sudut kota ke sudut lainnya bisa dicapai dengan berkendaraan pribadi di jalan tol.

Sebuah Pembelajaran
Peter Hall dalam bukunya, Cities in Civilization (Phoenix Giant, 1999), menggambarkan Los Angeles sebagai freeways city. Oleh Hall digambarkan bagaimana penduduk LA dulu terpesona oleh dogma ”Impian Amerika” tentang rumah luas di pinggiran kota dan mobil bermesin besar yang sanggup mengantar mereka ke mana saja.

Semua berawal dari pemikiran perancang kota LA sendiri. Gordon Whitnall, sang kepala perencanaan kota LA, mengatakan, LA adalah kota modern yang menyandarkan transportasinya pada kendaraan bermotor canggih. Dengan alasan ekonomi dan rekayasa teknik, ia yakin kendaraan bermotor mampu membuat kota ini tumbuh efisien. Untuk itulah, menurut Whitnall, LA membutuhkan banyak jalan tol.

Dalam perkembangannya, semakin jalan tol dibangun semakin warga kota LA terpacu menggunakan mobil pribadi sebagai sarana berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Kemacetan yang kemudian terjadi, karena jalan tol tersebut penuh dengan kendaraan, dicarikan penyelesaiannya dengan membangun jalan tol baru. Semua area kosong, jalur kereta listrik dan trem, taman, dan pemakaman umum digusur dan dijadikan jalan tol. Ketika tak ada lagi tanah tersisa, mereka membangun jalan tol layang.

Tahun 1950-1960 adalah masa puncak pembangunan tol. Biaya tol semakin mahal 
karena biaya konstruksi kian meningkat. Pada 1980, LA sudah punya jaringan jalan bebas hambatan dalam kota sepanjang 2.505 kilometer! Praktis, LA sudah tidak lagi berwujud sebuah kota, tetapi kumpulan jalan bebas hambatan.

Kemudian LA tiba pada suatu titik di mana sudah tidak mungkin membangun jalan tol lagi dan seluruh warga kota terjebak dalam kendaraan pribadinya karena kemacetan yang mengular. Marah dalam keadaan terjebak kemacetan berjam-jam, mereka kemudian menyesalkan mengapa orangtua mereka tidak membangun jalur kereta dan trem, tapi malah membangun jalan tol.

Pada 1990, di tengah kesadaran perlunya jaringan kereta, mulailah dibangun sebuah jaringan kereta sepanjang 35 km, menghubungkan LA dan Long Beach. Ironisnya, jalur itu adalah jalur kereta listrik yang dulu pernah ada dan kemudian dihancurkan tahun 1961 (Hall, 1999:841).

Siasat yang Menyesatkan

Saat ini Kota Jakarta juga ada pada titik ingin membangun jalan tol baru di tengah kota. Inisiator pembangun jalan tol itu berkeyakinan jalan tol mampu menyelesaikan masalah kemacetan yang mengakar di kota ini. Sulitnya mendapat lahan kota untuk membangun jalan tol baru disiasati dengan tol layang.

Betulkah siasat itu? Mari kita telaah satu per satu. Pertama, pembangunan jalan tol baru di tengah kota berarti membangun pintu masuk dan keluar baru. Kita lihat kini betapa pintu masuk dan keluar jalan tol dalam kota yang sudah ada justru jadi sumber kemacetan. Awal dan akhir setiap warga bertransportasi pasti rumah, kantor, sekolah, atau pusat perbelanjaan yang letaknya bukan persis di sisi jalan tol. Jadi, jalan tol pasti berujung pada jalan biasa yang kapasitasnya terbatas. Ketika semua warga kota dipacu masuk jalan tol, pada akhirnya mereka akan terjebak di ”leher botol” saat keluar.

Kedua, secara umum yang diperlukan warga kota dalam bertransportasi sebenarnya adalah memindahkan tubuhnya, bukan kendaraan pribadinya. Dengan mengingat hal dasar ini, tentu yang diperlukan di kota yang padat seperti Jakarta adalah kereta, bus, dan monorel. Jakarta sudah memiliki modal dasar itu dengan KRL Commuter Line, Transjakarta, dan beberapa moda lain seperti yang sedang dalam penggodokan untuk segera terwujud.

Jalan tol tentu perlu, tetapi tidak untuk masuk langsung menghunjam jantung kota sambil membawa puluhan ribu mobil pribadi. Jalan tol akan lebih berfungsi bila dibangun antarkota atau melingkar melewati sebuah kota untuk pengangkutan penumpang dari satu titik langsung ke titik lain.

Ketiga, secara estetika, pembangunan jalan tol layang akan menghancurkan wajah kota. Ketika penulis mendapatkan data tentang rencana pembangunan enam jalan tol layang di tengah kota tersebut, penulis cukup terkejut betapa banyak ruas jalan yang akan terpotong dengan jalan layang baru di atasnya.

Wajah beberapa ruas seperti Jalan Sudirman-Thamrin atau Jalan Rasuna Said yang saat ini sudah tertata cukup baik akan rusak. Saat pembangunan pasti debu beterbangan. Pada saat diroperasikan, bisa dibayangkan betapa banyak polusi baru yang ditimbulkannya. Belum lagi kalau terjadi kemacetan di tol itu. Kita akan melihat sebuah ular kemacetan yang bertumpuk-tumpuk di tengah wajah kota.

Bahkan, pada ruas Pasar Minggu-Casablanca, jalan tol baru itu akan berada tepat di samping Tugu Dirgantara, yang lebih kita kenal sebagai Tugu Pancoran. Saat ini Tugu Pancoran sudah terjepit di antara jalan tol dan jalan layang non-tol. Setengah badannya tenggelam.

Saat jalan tol baru yang digagas ini jadi, ia akan berada bersisian dengan Tugu Pancoran. Bisa dibayangkan saat kita terjebak kemacetan di jalan tol layang baru itu, lalu kita menolehkan kepala karena penat: kepala Tugu Pancoran itu ada tepat di samping jendela mobil Anda.

Belajarlah dari Kesalahan

Itukah citra kota yang kita inginkan? Relakah kita melihat sebuah tugu yang pernah menjadi kebanggaan kota kemudian semakin terjepit oleh kemacetan yang mengular dan bertumpuk- tumpuk? Maukah kita melihat gambaran Kota Jakarta di masa depan dengan semua warga kotanya terjebak dalam jalan tol yang semakin banyak dan semakin menumpuk? Tak inginkah kita memiliki sebuah kota yang beradab, yang sarana transportasi umumnya seperti bus dan kereta menjadi sarana ampuh untuk bertransportasi, dan bukan jalan tol yang menggurita?

LA telah mengajarkan kepada kita, pembangunan jalan tol di tengah kota terus-menerus adalah kesalahan yang mengerikan. LA menunjukkan keberadaan jalan tol dalam kota seperti candu yang mengisap kota untuk terus membangun jalan tol lagi dan lagi sampai titik overdosis.

Kini semua kembali kepada warga Kota Jakarta: apakah ikhlas bila nanti anak cucu warga kota ini menyesali keputusan orangtua mereka untuk terus membangun enam jalan tol layang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar