Selasa, 12 Februari 2013

Pilihan Politik 2013


Pilihan Politik 2013
Hifdzil Alim ;   Peneliti pada PUKAT Korupsi FH-UGM
KOMPAS, 12 Februari 2013


Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, menggelar pidato dan mengumumkan hasil pertemuan dengan beberapa petinggi partainya di Cikeas, Bogor, Jumat (8/2). Pidato itu setidaknya memuat dua substansi.

Pertama, meminta Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Anas Urbaningrum fokus menghadapi dugaan keterlibatan dirinya atas kasus korupsi yang sedang ditangani KPK. Kedua, SBY akan memimpin sendiri gerakan pembersihan partai dari korupsi.

Akhirnya, Ketua Dewan Pembina PD bersuara setelah kisruh internal partai bergejolak. Dua kubu di dalam PD yang sebelumnya saling serang, mungkin pasca-pidato SBY, sudah menemukan sikap jelas. Siapa pun yang sedang bermasalah dengan korupsi harus menyelesaikan dulu masalahnya agar kapal partai tak karam.

Setelah pengumuman Yudhoyono, apakah kasus korupsi yang santer diberitakan menjerat Anas akan cepat ditangani KPK? Ataukah KPK punya jalan sendiri dalam menangani kasusnya?

Independensi KPK

Sebagai institusi negara yang memiliki fungsi utama pemberantasan korupsi, KPK dibekali seperangkat kekuatan. Satu contoh, UU Nomor 30 Tahun 2002 yang menjadi baju hukum KPK menentukan, lembaga antikorupsi ini tak berwenang menerbitkan surat penghentian pemeriksaan dan penuntutan (SP3) kasus korupsi yang ditangani (Pasal 40 UU KPK).

Perangkat non-SP3 itu mengharuskan KPK serius dan benar-benar tidak boleh salah langkah dalam menentukan tahap pemeriksaan kasus korupsi. Sederhananya, jika dalam tahap penyelidikan KPK tak bisa atau tak mampu menemukan suatu peristiwa yang mengarah ke tindak pidana korupsi, ia tidak akan meningkatkannya ke penyidikan.

Sebab, jika ternyata pada tahap penyidikan tidak ditemukan bukti keterlibatan seseorang dalam kasus korupsi, padahal di sisi yang lain ia tak boleh menerbitkan SP3, habislah riwayatnya. Cemooh bakal diterima. Lebih parah lagi, kepercayaan publik terhadap KPK terancam kikis.

Di sekeliling perangkat non-SP3 berdiri tegak tembok independensi. Tembok independensi dijamin hukum sebagai dasar bagi KPK mengatur sendiri strategi dan taktik pemberantasan korupsi. Pasal 3 UU 30 Tahun 2002 berkata, ”KPK adalah lembaga negara yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.” KPK harus steril dari penyakit intervensi kekuasaan.

Artinya, pidato SBY seharusnya juga tak mampu menembus benteng independensi. KPK bukan institusi yang didesain untuk menuruti syahwat penguasa. Bukan karena pentolan PD bicara, terus KPK berubah jadi ”kerbau dicocok hidungnya”, mengiyakan kemauan elite politik untuk utak-atik teka-teki kasus korupsi. Jika kasus yang sedang ditangani belum cukup alat bukti, KPK tidak perlu gegabah meningkatkan status pemeriksaan ke tingkat penyidikan. Sebab, ranah KPK bukan di area politik, tetapi di wilayah hukum.

Menentukan Sikap

Meskipun demikian, tidak berarti KPK dapat santai di dalam benteng independensinya. KPK harus menentukan sikap dalam pemberantasan korupsi. KPK perlu dan wajib memiliki pilihan politik yang dapat dibaca secara terang-benderang agar tidak memunculkan multitafsir.

Kasus penahanan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq atas dugaan keterlibatan korupsi impor daging sapi oleh sebagian politisi dibanding-bandingkan dengan tidak ditahannya Andi Mallarangeng, tersangka kasus korupsi Hambalang. Dua fakta ini tidak ayal menyeret KPK dalam pusaran politik para elite. Lembaga pimpinan Abraham Samad itu dinilai menjadi pisau partai biru. Ditambah lagi, penetapan tersangka Gubernur Riau Rusli Zainal atas dugaan keterlibatan kasus korupsi PON Riau makin menguatkan pandangan miring terhadap KPK. Badan antikorupsi ini seakan terbaca sebagai ”anjing penjaga” penguasa.

Walau tuduhan bahwa KPK yang ngeblok ke penguasa itu pupus dengan bukti diprosesnya semua politisi korup dari berbagai partai, tetap saja tuduhan itu menyudutkan posisi KPK. Pada bagian ini, penting bagi KPK untuk mengambil pilihan politiknya sendiri. Suatu sikap politik yang keluar dari fatsun oknum elite dan politisi busuk. Pilihan kebijakan untuk menahan semua tersangka korupsi tanpa terkecuali, misalnya, akan mengamankan KPK dari serbuan elite politik.

Pilihan politik KPK adalah pilihan politik rakyat, yakni politik pemberantasan korupsi, politik yang bertujuan membersihkan negeri ini dari korupsi. Minimal ada tiga sikap politik yang harus diusung KPK. Pertama, menyatakan diri bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun sebagaimana dimaktubkan dalam baju hukumnya. Belakangan langkah ini sudah dinyatakan sebagaimana disampaikan juru bicaranya. KPK sudah mulai masuk ke jalur yang benar, tidak terjerembap dalam lika-liku kemauan elite.

Kedua, KPK tidak perlu menggubris eskalasi politik yang hadir di arena luar. KPK harus fokus pada ranah hukum. Dalam ketentuan acara pidana, bila didapat dua alat bukti atas dugaan kasus korupsi, peningkatan status pemeriksaan janganlah ditunda-tunda. Hal ini berlaku untuk semua dugaan kasus korupsi. Hambatan langkah ini mungkin terletak pada sifat bekerjanya pimpinan KPK dan mekanisme pengambilan keputusan yang kolektif. Kalau satu saja pimpinan KPK tidak sepakat dengan status sebuah kasus, pemeriksaan tidak dapat dilanjutkan.

Maka, pilihan politik KPK yang ketiga adalah khusus ditujukan kepada orang per orang pimpinan KPK. Para komisioner tak perlu merasa berutang budi kepada politisi atau partai di Senayan yang dulu memilih mereka. Pun tidak perlu sungkan dengan Istana. Bukankah dalam pola demokrasi perwakilan, sebenarnya yang memilih para pimpinan KPK adalah rakyat melalui suara yang dititipkan ke anggota dewan dan presiden dalam pemilihan umum?

Pilihan politik KPK yang ketiga itu menegaskan, utang pimpinan KPK adalah kepada rakyat, bukan kepada para politisi, partai, atau presiden. Andai ada perasaan utang budi kepada selain rakyat, bahkan sebiji zarah perasaan itu, niscaya akan mengganggu stabilitas politik KPK, membunuh politik pemberantasan korupsi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar